PWMU.CO – Islam ramah dan Islam marah bukan dua hal yang dipisahkan dan dihadap-hadapkan. Kapan harus ramah dan kapan juga harus marah. Demikian Dr Saad Ibrahim, MA dalam pengajian bulanan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Jumat (18/3).
Dalam pengajian yang bertema “Islam Ramah versus Islam Marah”, Saad menjelaskan bahwa persoalannya bukan pada ramah atau marahnya. Yang penting apa yang memotivasi orang jadi ramah atau marah. “Kalau ramah untuk hal-hal yang kecil itu tak ada artinya apa-apa. Demikian juga marah untuk hal-hal kecil,” kata dosen UIN Malang ini.
(Baca juga: Inilah Empat Syarat Dakwah yang Ramah)
Saad lalu memberi contoh Kisah Ali bin Abi Thalib yang akan membunuh lawan dalam sebuah peperangan, kemudian calon korban meludahi Ali. “Sebelum diludahi, Ali sudah bersiap untuk membunuh musuhnya itu. Namun, setelah diludahi, ia malah meninggalkan si musuh. Ia tidak jadi membunuhnya. Karena ia khawatir tindakannya dalam membunuh musuh tidak didasari untuk mendapatkan ridha Allah. Tapi, karena kemarahannya diludahi oleh musuhnya itu,” ceritanya.
Menurut Saad, dalam konteks tertentu, Islam dibolehkan untuk marah. “Nabi pernah marah besar kepada Yahudi yang berkhianat. Padahal sudah ada perjanjian sebelumnya. Nabi juga pernah marah kepada orang-orang yang ingin terus-menerus berpuasa, tidak mau kawin, dan tidak tidur untuk selalu shalat malam,” ujarnya. (fatoni/ilmi)