PWMU.CO– Melanggar UUD dan Pancasila, Muhammadiyah tegas menolak dan sangat berkeberatan atas rencana penerapan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk bidang pendidikan.
Demikian disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam pernyataannya yang diterima Sabtu (12/6/2021).
Pernyataannya itu mengomentari rencana PPN jasa pendidikan sebagaimana tertulis dalam draf Rancangan Undang-Undang Revisi UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dinilai melanggar UUD 1945.
”Bukankah pemerintah yang harus paling bertanggung jawab dan berkewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk penyediaan anggaran 20 persen,” tegas Haedar Nashir.
Ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, Kristen, Katholik, dan sebagainya, sambung dia, justru meringankan beban dan membantu pemerintah yang semestinya diberi reward atau penghargaan, bukan malah ditindak dan dibebani pajak yang pasti memberatkan.
Menurut dia, kebijakan PPN bidang pendidikan melanggar UUD 1945 dan Pancasila karena itu tidak boleh diteruskan.
Dia menunjukkan isi UUD 1945 pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan mengandung perintah
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
”Pemerintah, termasuk Kemenkeu, dan DPR mestinya mendukung dan memberi kemudahan bagi organisasi kemasyarakatan yang menyelenggarakan pendidikan secara sukarela dan berdasarkan semangat pengabdian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” tuturnya merujuk pasal 31 UUD 1945.
Pejabat Tak Bermoral
Pemerintah dan DPR, tegas dia, seharusnya tidak memberatkan organisasi kemasyarakatan penggerak pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat dengan perpajakan yang nantinya akan mematikan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini banyak membantu rakyat kecil.
”Semesti pemerintah yang berkewajiban penuh menyelenggarakan pendidikan dan kebudayaan bagi seluruh rakyat sebagaimana perintah konstitusi. Jika tidak menunaikan secara optimal sama dengan mengabaikan konstitusi,” tandasnya.
Jika kebijakan PPN itu dipaksakan untuk diterapkan, kata Haedar, maka yang mampu menyelenggarakan pendidikan selain negara yang memiliki APBN, justru para pemilik modal mendominasi. Sehingga pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan.
”Lantas mau dibawa ke mana pendidikan nasional yang oleh para pendiri bangsa ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal saat ini beban pendidikan Indonesia sangatlah tinggi dan berat, lebih-lebih di era pandemi Covid-19,” papar Haedar yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dijelaskan, di daerah-daerah 3T bahkan pendidikan masih tertatih-tatih menghadapi segala kendala dan tantangan yang belum terdapat pemerataan oleh pemerintah.
Pendidikan Indonesia juga semakin berat menghadapi tantangan persaingan dengan negara-negara lain. Di tingkat ASEAN saja masih kalah dan berada di bawah. Kini mau ditambah beban dengan PPN yang sangat berat.
”Di mana letak moral pertanggungjawaban negara atau pemerintah dengan penerapan PPN yang memberatkan itu?” tanya Haedar.
Liberalisme Absolut
Menurut Haedar, konsep pajak progresif lebih-lebih di bidang pendidikan secara ideologis menganut paham liberalisme absolut, sehingga perlu ditinjau ulang karena tidak sejalan dengan jiwa Pancasila dan kepribadian bangsa Indonesia yang mengandung spirit gotong royong.
”Apakah Indonesia akan semakin dibawa pada liberalisme ekonomi yang mencerabut Pancasila dan nilai-nilai kebersamaan yang hidup di Indonesia? Masalah ini agar direnungkan secara mendalam oleh para elite di pemerintahan,” tegas Haedar.
Dia menyatakan, para perumus konsep kebijakan dan pengambil kebijakan di Republik ini semestinya menghayati, memahami, dan membumi dalam realitas kebudayaan bangsa Indonesia. Jangan bawa Indonesia ini menjadi semakin menganut rezim ideologi liberalisme dan kapitalisme yang bertentangan dengan konstitusi, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Para anggota DPR dan elite partai politik diminta menunjukkan komitmen kebangsaan yang tinggi dengan bersatu menolak draf PPN di bidang pendidikan sebagai wujud komitmen pada Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai luhur bangsa, persatuan, dan masa depan pendidikan Indonesia.
”Lupakan polarisasi politik dan kepentingan politik lainnya demi menyelamatkan pendidikan Indonesia yang saat ini sarat beban, sekaligus menyelamatkan Indonesia dari ideologi liberalisme dan kapitalisme yang mendistorsi konstitusi, Pancasila, dan nilai luhur keindonesiaan,” ucapnya.
Ditegaskan, para perumus dan pembuat kebijakan di negeri ini semestinya menjiwai konstitusi, Pancasila, dan denyut nadi perjuangan bangsa Indonesia termasuk peran kesejarahan Muhammadiyah dan organisasi kemasyarakatan yang sudah menyelenggarakan pendidikan dan perjuangan bangsa jauh sebelum Republik ini berdiri. (*)
Editor Sugeng Purwanto