PWMU.CO– Sikap PWPM (Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah) Jawa Timur terkait RUU revisi UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menolak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako dan pendidikan.
Pernyataan sikap PWPM Jatim disampaikan oleh Ainul Muttaqin, Wakil Ketua Bidang Hikmah dan Hubungan Antar Lembaga, Sabtu (12/6/2021).
Ainul Muttaqin mengatakan, sangat tidak tepat jika pendidikan, sembako, dan barang kebutuhan dasar masyarakat masuk dalam pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
”Soal pendidikan telah diatur dalam konstitusi pasal 31 UUD 1945 seharusnya pemerintah memastikan anggaran 20 persen untuk pendidikan, bukan menarik pajak sebagai penerimaan negara,” katanya.
Menurut dia, pengumpulan dan pengelolaan pajak harus dilakukan secara transparan, tepat sasaran, dan akuntabel. Jangan sampai utang negara, beban keuangan negara, hingga APBN yang digarong oleh koruptor lantas seluruh masyarakat menerima beban lewat pungutan pajak.
”Pemerintah harusnya membuat pola koordinasi dan komunikasi yang baik dan rapi agar negara tidak diurus secara amatiran semacam ini. Sering gaduh, tidak produktif bahkan cenderung menyebabkan kekacauan,” tuturnya.
Pemerintah, sambung dia, diminta lebih kreatif meningkatkan pendapatan negara. Tidak salah jika ada anggapan presiden salah memilih para pembatunya. Minim inovasi dan jarang punya terobosan.
Dalam kondisi yang berat karena pandemi, kata dia, kalau kebijakan itu disahkan, jelas sudah bahwa pemerintah kita kehilangan nalar sehat dan rasa empati.
”Kalau sudah begini, semua lapisan masyarakat harus bergerak untuk melawan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat,” tandasnya menegaskan suara PWPM Jatim.
Sebelumnya diberitakan, Muhammadiyah menolak rencana penerapan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk bidang pendidikan karena bertentangan dengan konstitusi pasal 31 dan Pancasila.
Ketua Umum PP Muhamamdiyah Haedar Nashir dalam pernyataannya mengatakan, Ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, Kristen, Katholik, dan sebagainya, justru meringankan beban dan membantu pemerintah yang semestinya diberi reward atau penghargaan, bukan malah ditindak dan dibebani pajak yang pasti memberatkan.
Jika kebijakan PPN jasa pendidikan itu dipaksakan untuk diterapkan, kata Haedar, maka yang mampu menyelenggarakan pendidikan selain negara yang memiliki APBN, justru para pemilik modal mendominasi. Sehingga pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan.
”Lantas mau dibawa ke mana pendidikan nasional yang oleh para pendiri bangsa ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal saat ini beban pendidikan Indonesia sangatlah tinggi dan berat, lebih-lebih di era pandemi Covid-19,” papar Haedar yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. (*)
Editor Sugeng Purwanto