PWMU.CO – Anwar Abbas dukung mata uang tunggal dunia Islam agar Amerika nertekuk lutut. Hal ini dia sampaikan pada Webinar Pra-Musyawarah Cabang (Muscab) I PCIM Maroko, Rabu (9/6/21) malam.
Dari komunikasi yang pernah Anwar Abbas lakukan dengan Mahathir Mohammad—Perdana Menteri Malaysia ke- 4 dan ke- 7—Anwar menemukan mereka punya kesamaan pemikiran. Anwar sangat setuju dengan ide Mahathir untuk membuat mata uang tunggal dunia Islam.
Ide Mahathir Buat Mata Uang
Sampai pada pertemuan itu, dia mengaku kepada Mahathir bahwa Mahathir jadi sosok kedua yang dia kagumi setelah Soeharto.
Dengan yakin Anwar menyatakan, seandainya mata uang tunggal dunia Islam itu dibuat, maka bisa membuat Amerika bertekuk lutut tanpa melepas peluru sedikit pun. Karena, akan terjadi supply dolar tetap, tapi permintaanya menurun. Akibatnya, harga dolar akan ambruk.
“Saya yakin dan percaya, Amerika akan datang ke Kuala Lumpur menemui Mahathir Mohammad,” ujarnya, jika pembuatan mata uang itu benar-benar dilakukan.
Saat Anwar bertanya ke Mahathir kenapa mengundurkan diri padahal idenya belum terwujud, Mahathir menjawab, “Kalau saya tidak mengundurkan diri, saya mati.”
Demikian pula menurutnya yang Saddam Hussein dan Muammar Khadafi alami selama ini.
Bisnis Tingkatkan Ekonomi Umat
Pada pertemuan yang pernah Anwar lakukan itu, dia juga bertanya kepada Mahathir, “Ketika Bapak menjadi perdana menteri, berapa nilai ekonomi yang ada di tangan umat?” Mengingat, komposisi penduduk di Malaysia terdiri dari 60 persen Melayu, 40 persen Cina dan India.
Ternyata, nilai ekonomi penduduk Melayu (umat Islam) hanya sekitar 5 persen. Setelah 23 tahun Mahathir menjadi perdana menteri, ternyata naik jadi 20 persen. Sehingga bisa dia simpulkan hanya naik sekitar 15 persen.
Saat Anwar bertanya apa kiat yang harus dilakukan supaya menjadi umat yang kuat dan menjadi negara yang maju, Mahathir menjawab harus kembali ke bandar (kota). Maksudnya, umat Islam harus kembali ke dunia bisnis.
Value Umat Islam terhadap Bisnis
Kemudian belajar dari asal daerahnya, Padang, yang dulunya banyak pebisnis, kini lebih banyak yang menjadi CEO (presiden direktur). Padahal, Anwar mengingatkan, CEO itu orang yang diupah, mentalitasnya employee (pegawai).
Jadi persoalan dan dilema yang umat Islam di Indonesia hadapi yaitu value (nilai). “Mereka lebih menghargai pekerjaan sebagai pegawai ketimbang pekerjaan sebagai pengusaha,” ujarnya.
Dengan alasan, menjadi pengusaha pendapatannya tidak jelas. Bisa dikatakan, sangat mengedepankan zona nyaman. “Berpikir in box, tidak out of the box,” komentarnya.
Dia lalu berharap kepada para peserta yang sedang kuliah di Maroko, agar memperhatikan masalah ekonomi. Dia menyimpulkan, “Selama ekonomi belum di tangan umat Islam, maka umat Islam Indonesia tidak akan menjadi penentu.”
Partai Politik dan Politisi Indonesia Tertawan Kapital
Saat mendapat amanah menjadi Sekjen Majelis Ulama Indonesia dan sowan setahun kemudian ke rumah KH Ali Yafie, ada sebuah pesan yang hingga kini Anwar ingat.
Ali Yafie saat itu mengutip ucapan orang arif yang disampaikan kepada , “Jika engkau memberi kepada orang yang engkau kehendaki, maka engkau akan bisa memerintah mereka. Jika engkau meminta-minta kepada orang yang engkau kehendaki, maka engkau akan menjadi tawanannya.”
Matan ucapan itu menurutnya perlu jadi perhatian. Karena, di Indonesia menurutnya tidak ada partai politik dan politisi-politisi menonjol yang tidak dikasih uang oleh pemilik kapital. Mungkin, menurutnya, tidak ada pula partai politik dan politisi yang tidak meminta-minta kepada pemilik kapital.
Kemudian Anwar menyimpulkan, partai politik dan politisi kita sudah disuruh-suruh atau dikendalikan oleh pemilik kapital. Sebab, sudah tertawan.
Tanpa menyebut siapa pelakunya, Anwar Abbas mencontohkan, pemilik kapital tidak menggerogoti APBN. Jadi kalau seandainya pemilik kapital itu dicari kesalahannya melalui APBN, tidak akan ketemu.
Anwar mengungkap, ternyata mereka mencari uang dan mengembalikan modal dengan mendapat konsesi: hutan, tambang, lahan di suatu kota di sebuah ibukota provinsi yang sangat strategis. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni