Capres dan Permainan Politik oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Jelang Pilpres 2024, figur calon presiden dan wakil presiden telah bermunculan. Ada pasangan Anies-AHY, Anies-Airlangga, Prabowo-Puan, Rizal Ramli-Gatot Nurmantyo.
Ada survei yang hasilnya mengangkat figur Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, kader PDIP. Nama Anies, Prabowo, dan Ganjar selalu dibuat tiga besar. Akibat survei ini Ganjar dilipat oleh orang-orang PDIP karena tak selaras dengan kepentingan partai. Ganjar dianggap kemajon mendahului partai. Padahal partai menginginkan Puan Maharani, sang Princess.
Jokowi yang tampaknya belum pernah menyinggung capres 2024 bisa saja berpihak ke Ganjar supaya kepentingan politiknya tak terputus. Jaga-jaga juga kalau kampanye pendukungnya untuk tiga periode gagal.
Ganjar untuk saat ini gejalanya tidak bakal didukung PDIP maju menjadi capres. Kecuali kalau dia mendapatkan situasi seperti detik-detik akhir Jokowi menerima restu Godmother tahun 2014. Bahwa namanya berpeluang besar untuk menang.
Itupun kalau dia mau menerima statusnya sebagai petugas partai. Bahwa kekuasaannya sebagai presiden di bawah Godmother.
Karena itu menarik dicermati kenapa Presiden Jokowi tak hadir di acara pengukuhan Megawati sebagai guru besar kehormatan di Universitas Pertahanan, Jumat, 11 Juni 2021 lalu. Presiden Jokowi memilih meninjau jalan tol Semarang-Demak. Tentu saja di acara jalan tol ini bertemu dengan Ganjar Pranowo. Jurus menghindar seperti ini dua kali dilakukan Jokowi.
Joko Mania (Joman) terang-terangan sudah mulai menyatakan dukungan pada Ganjar Pranowo. Hal ini sebagai sinyal bahwa Jokowi menginginkan Ganjar untuk terus menggelinding dan menjadi kepanjangan tangannya.
Jokowi perlu memilih koalisi demi kepentingan mengamankan dinastinya di Solo. Perjalanan politik Gibran, Walikota Solo, adalah proses kaderisasi. Harus bisa mengikuti jejaknya. Ganjar, sang Gubernur, adalah orang yang bisa dipercaya menjadi mentor anaknya. Simbiosis mutualisme politik. Semua dapat untung.
Walaupun begitu realitas politik bisa berubah pada hitungan detik akhir. Deal politik bisa dibuang setelah mendapat deal politik yang menguntungkan. Karena itu beberapa skenario yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi atau implikasi dari menarik Ganjar ini, yaitu
Pertama, mengingat popularitas Ganjar meningkat menempel Prabowo atau Anies dan semakin jauh dari Puan, maka Megawati “menyerah” dan akhirnya siap mendukung Ganjar untuk Capres. Dengan amanat penguatan status sebagai petugas partai dibuat kalkulasi dan ekspektasi menang dengan segala cara.
Kedua, konflik adu kuat dukungan PDIP antara Puan dengan Ganjar semakin menajam. Ganjar dipecat oleh partai. Ganjar benar-benar ditarik Jokowi. Berimbas pada konflik Mega dengan Jokowi makin tajam. Bereskalasi terus hingga Mega dan Jokowi harus berpisah. Jokowi dijatuhkan sebelum 2024 melalui penggalangan PDIP. Alasan rasional adalah krisis multi dimensional atau menangkap aspirasi rakyat.
Ketiga, baik Jokowi maupun Ganjar gagal di ujung saat mencari kendaraan. Kesulitan mendapatkan partai atau gabungan partai politik yang memenuhi Presidential Threshold 20 persen. Partai-partai politik terpolarisasi pada dukungan Capres lain.
Mengingat beratnya bagi Jokowi untuk “memperpanjang umur” politiknya, maka di samping mengupayakan berhasilnya skenario pertama juga harus berjuang untuk menggolkan penurunan angka Presidential Threshold agar lebih mudah mencarikan kendaraan politik untuk Ganjar Pranowo.
Jokowi sendiri secara perorangan tidak memiliki kekuatan jika tanpa dukungan pemilik modal inner circle yang selama ini mendukungnya. Karenanya pertimbangan lingkaran oligarki ini turut menjadi penentu.
Bisa saja pengendali menganggap sudah tidak perlu lagi memikirkan nasib Jokowi. Jokowi’s power is over now. (*)
Bandung, 14 Juni 2021
Editor Sugeng Purwanto