Peran Muhammadiyah Menghadang Pemurtadan oleh Prof Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Alwi Shihab dalam disertasi doktornya menyatakan Muhammadiyah berperan penting dalam membendung kristenisasi. Caranya sangat elegan; tidak dengan cara kekerasan, tapi dengan membantu masyarakat untuk meningkatkan tarap hidupnya agar tidak rentan terhadap pemurtadan. Memang, gerakan pemurtadan harus ditandingi dengan pencerahan melalui dakwah, pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial.
Untuk mengembangkan itu, Muhammadiyah melakukan kerja sama dengan siapa pun, termasuk non-Muslim yang memiliki perhatian yang sama. Karena itu, tidak aneh bahwa dahulu ada dokter Belanda yang membantu rumah sakit Muhammadiyah untuk tujuan kemanusiaan bukan untuk pemurtadan. Semangatnya adalah kemanusian, dampaknya adalah membendung pemurtadan
Setelah 108 tahun bekerja sejak berdirinya November tahun 1912, Muhammadiyah tetap memiliki tantangan. Islam adalah agama dakwah yang harus menebar keunggulan dan kemanfaatan. Karena itu, berdakwah adalah fardu ain. Soal hidayah, itu urusan Allah SWT. Kewajiban umat adalah berusaha.
Seorang sahabat non-Muslim di Amerika Serikat pernah mengatakan, “Yang saya suka dari Muhammadiyah adalah gerakan dakwahnya yang tidak pernah surut, tetapi pada saat yang sama siap untuk hidup berdampingan dengan kelompok lain.”
Muslim Global Naik, Indonesia Turun
Menurut sebuah survei, jumlah umat Islam di dunia terus berkembang; bahkan tercepat dibanding dengan umat lain. Menurut proyeksi Pew Research, pada sekitar tahun 2050 nanti akan terjadi paritas antara Muslim (2,8 miliar, atau 30 persen dari pendudduk bumi) dan Kristen (2,9 miliar, atau 31persen dari penduduk bumi). Ini akan menjadi sejarah pertama di dunia. Jika tren itu berlanjut, maka pada 2070 jumlah Muslim menjadi terbesar.
Hampir di semua benua persentase Muslim mengalami kenaikan. Yang paling tinggi terjadi di Sub-Sahara Afrika. Di wilayah itu, jumlah Muslim adalah 15,5 persen pada 2010, dan nanti akan menjadi 24,3 persen pada 2050. Yang paling parah adalah Asia- Pasifik.
Di kawasan ini, Muslim merupakan 61,7 persen pada 2010, dan nanti turun menjadi 52,8 persen pada 2050. Jumlah angka Muslim memang akan terus bertambah, tetapi persentasenya turun. Artinya, jumlah non-Muslim lebih cepat bertambah. Itulah gambaran di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia.
Angka-angka seperti itu tidak boleh dipahami secara absolut; tapi itu diperlukan untuk melihat tren atau kecenderungan. Indonesia termasuk Kawasan Asia-Pasifik yang persentase Muslimnya turun itu. Sebagai negara penyumbang angka dan persentase terbesar, tentu Indonesia menjadi perhatian.
Coba lihat persentase penganut Islam di Indonesia sebagai berikut. Dari 97 persen (tahun 1950), turun menjadi 90 persen (1980-an); turun lagi menjadi 87,6 persen (1990); dan kemudian menjadi 85,1 persen (2010). Belum tahu berapa persen nanti proyeksi tahun 2050.
Tren turunnya persentase Muslim itu dibarengi dengan naiknya presentasi non-Muslim. Sebuah laporan menyebutkan bahwa sejak tahun 1980-an setiap tahunnya laju pertumbuhan umat Katolik: 4,6 persen; Protestan 4,5 persen; Hindu 3,3 persen; Budha 3,1 persen; dan Islam hanya 2,75 persen.
Ketika persentase umat Islam dunia terus meningkat, di Indonesia sebaliknya, terus menurun. Jika kecenderungan itu berlanjut, maka suatu saat nanti umat Islam bisa menjadi minoritas.
Sejarah negara tetangga, seperti Thailand, Philipina, dan Myanmar, perlu menjadi pelajaran. Persoalannya bukan pada angka-angka tetapi pada komplikasi persoalan yang mungkin muncul kemudian. Ada persoalan keadilan, ada persoalan hak-hak keagamaan, ada persoalan marginalisasi.
Tentu data tersebut di atas bukan untuk menakut-nakuti. Tujuannya sekedar mengingatkan seluruh lapisan umat akan kewajiban agama yang sangat mulia. Selama bergaul dengan tokoh-tokoh berbagai agama, saya mendapatkan kesan bahwa tidak semua memiliki niat memarginalkan Islam. Memang ada di sebagian kelompok.
Di kalangan gereja, misalnya, terdapat lebih dari seratus aliran, yang tergabung dalam lebih dari 10 asosiasi. Masing-masing punya karakter tersendiri, dari yang ektrem kiri, ekstrem kanan, dan yang moderat. Ada juga gerakan pemurtadan dengan segala cara. Masing-masing saling mengecam baik atas alasan teologi maupun hubungan sosial.
Hubungan antarumat beragama tidak hanya berdimensi teologis. Di sana ada implikasi sosial, ekonomi dan politik. Gerakan pemurtadan terjadi di berbagai daerah dengan nyata. Beberapa brosur teologis dan sosial tersebar di mana-mana; kegiatan-kegiatan sosial juga dilakukan dengan tujuan pemurtadan terselubung. Itulah tantangan dakwah yang memerlukan strategi yang dirancang dan dilakukan secara rapih dan canggih.
Sejatinya saya berusaha untuk menggunakan diksi yang elegan dan bermarwah untuk menggambarkan tantangan umat. Sebutan kristenisasi atau pemurtadan terdengar tidak nyaman. Tapi, untuk menemukan gantinya agak susah. Baiklah mari kita berdakwah dan selamatkan umat kita dengan santun dan bermartabat, dan selalu menjaga hubungan yang baik dengan penganut agama apapun.
Tentu komitmen seperti itu tidak bisa sepihak, bertepuk sebelah tangan, melainkan harus menjadi tekad semuanya. Ibarat permainan sepak bola, semua pemain harus bersikap sportif, wasitnya juga bisa berbuat adil, dan tidak ada agenda politik untuk memarjinalkan umat Islam yang mayoritas ini. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel berjudul asli Pemrutadan ini dikutip dari buku Makna di Balik Peristiwa karya Prof Syafiq A. Mughni (Penerbit Hikmah Press, Surabaya, Novembert 2020).
Untuk mendapatkan buku tersebut bisa menghubungi Anifaul Asfiyah 0811 3342 663.