PWMU.CO– Labelling pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan adalah perilaku yang tidak adil. Pemberantas korupsi dilabeli tidak Pancasilais. Mestinya koruptor yang labelling negatif.
Demikian dikatakan Dr Rinikso Kartono, Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam Diskusi Publik bertajuk Gonjang-Ganjing KPK: Analisis Kritis KPK dari Perspektif Politik dan Hukum, Kamis (10/6/2021).
Menurut dia, labelling pegawai KPK itu serangan untuk memudarkan KPK. ”Serangan balik dari koruptor yang terjadi juga memengaruhi semua elemen di masyarakat. Instrumen kebaikan menjadi pudar dan instrumen yang kuat belakangan ini adalah uang,” ujar Rinikso.
Pembicara lainnya Dr Busyro Muqoddas, mantan wakil ketua KPK, menyatakan, ada hubungan timbal balik antara demokrasi dan korupsi. Di era Presiden Jokowi, ada faktor determinan oligarki politik dan oligarki taipan terhadap produk politik.
”Terjadi penurunan indeks persepsi demokrasi pararel dengan turunnya tiga digit indeks prestasi korupsi di era Jokowi. Hal ini menjadi indikasi pembusukan demokrasi sekaligus makin naiknya tingkat korupsi,” ujarnya.
Menurutnya, demokrasi yang terjadi di Indonesia juga merupakan transaksi nasional yang memerlukan prasyarat. Pertama adalah floating mass, yakni masyarakat diambangkan, dibuat terombang-ambing dalam ketidakjelasan terkait isu-isu korupsi, bisnis narkoba dan isu lainnya.
”Pembunuhan KPK dan SDM menuju Pemilu 2024 adalah prasyarat berikutnya bagi demokrasi transaksional ini. Selain itu intensitas represivitas keamanan seperti teror, hoaks radikalisme, isu intoleran dan gerilya buzzer adalah indikasi berikutnya,” tuturnya.
Aktivis hukum Feri Amsari MH LLM menambahkan, setiap tahun KPK diserang oleh koruptor. Ini merupakan indikasi sederhana yang positif berarti KPK masih berada di jalurnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas ini juga membahas ketidakjelasan posisi KPK, mengingat Indonesia hanya ada tiga jenis lembaga. Di antaranya eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Menurut Feri Amsari, upaya pengubahan Undang-Undang (UU) KPK baru terjadi di era Jokowi. ”Dalam perspektif Hukum Tata Negara, jika ada perubahan UU KPK berlangsung dengan cepat, maka bisa dipastikan adanya keterlibatan presiden dalam perubahan tersebut secara serius,” tambahnya.
Pembicara dari UIN Jakarta, Prof Dr Azyumardi Azra menuturkan, gonjang-ganjing KPK menjadi salah satu pertanda buruk atau negative legacy dalam pemerintahan Jokowi. Seharusnya pada periode kedua, Jokowi bisa menguatkan positive legacy.
Menurutnya, kebebasan berekspresi semakin hilang belakangan ini. Selain itu terjadi sejumlah penangkapan beberapa tokoh yang vokal. Ia mengatakan, jika presiden Jokowi ingin menguatkan demokrasi, salah satu jalannya yakni membebaskan orang-orang yang mengkritik.
Guru besar peraih gelar Commander of the Order of British Empire ini menjelaskan, Indonesia harus dibangun oleh kebebasan berekspresi, bebas menyampaikan kritik, bukan saja oleh orang-orang yang selalu setuju dengan pemerintah.
”Yang bisa kita lakukan adalah menyalakan harapan, walaupun saya melihat tidak ada perubahan atau perbaikan pada KPK ini. Presiden Jokowi juga tidak merespon suara dari 75 guru besar yang mengkritisi kasus KPK. Saya juga tidak melihat KPK akan dipulihkan kekuatannya. Walaupun kondisinya pahit, ya biarkan saja. Sembari menunggu harapan baru pada tahun 2024,” tuturnya. (*)
Penulis Maharina Novi Editor Sugeng Purwanto