Titik Kritis Kesejahteraan Hewan ketika Kurban, oleh Dr H Syamsudin MAg, Doseen UINSA Surabaya; Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Pendahuluan
Isu animal welfare atau kesejahteraan hewan mulai diperbincangkan sejak awal abad ke-15 sebagai bentuk kedekatan manusia dengan hewan, kemudian terus bergulir. Di beberapa negara seperti Amerika Utara dan Irlandia, undang-undang yang mengatur perlindungan hewan telah disahkan.
Pada tahun 1967, seorang petani asal inggris dan seorang aktivis animal welfare, Peter Robert, memprotes dan melawan tindakan kekerasan pada hewan dengan membentuk Compassion in World Farming. Tindakan Peter itu dilatarbelakangi oleh peternakan intensif broiler yang tidak memperhatikan kesejahteraan hewan (Hamzah Alfarisi: 2021).
Animal welfare adalah suatu keadaan fisik dan psikologi hewan sebagai usaha untuk mengatasi lingkungannya. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2009, animal welfare adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.
Animal Welfare juga meliputi ekspresi yang berkenaan dengan moril, sehingga semua manusia bertanggung jawab terhadap masing-masing binatang yang dipelihara atau yang bebas di alam. Dijelaskan lebih lanjut dalam teori kesejahteraan binatang ada ajaran tentang kepedulian dan perlakuan manusia terhadap masing-masing hewan dan bagaimana masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidup hewan itu.
Setiap jenis satwa liar dan hewan harus dibiarkan hidup bebas di alam atau hidup yang berkualitas di lingkungan yang disesuaikan dengan pola perilaku, kebutuhan serta karakteristik habitat alamnya di kandang. Lagi pula, manusialah yang bertanggungjawab untuk mewujudkannya (Indah Triatuti: 2015).
Lima Kebebasan Hewan
Pada tahun 2004, Office International des Epizooties (OIE) atau Organisasi Kesehatan Hewan Dunia mengeluarkan standar-standar animal welfare yang mengatur kondisi hewan di bawah pengaturan manusia. standar-standar tersebut disebut dengan Five of Freedom atau Lima Kebebasan, yaitu:
- Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus). Dengan prinsip ini, hewan wajib dipenuhi mutu pakan dan minum, wajib diperhatikan jenis dan jumlah pakan dan minum, wajib diperhatikan menu dan cara penyajian pakan dan minumnya.
- Freedom from thermal and physical discomfort (bebas dari cuaca panas dan ketidaknyamanan lingkungan.
Dengan prinsip ini tempat tinggal disesuaikan dengan habitat alami, perlindungan dari kondisi cuaca buruk, ketersediaan udara segar, tempat yang teduh dan hangat serta terjangkau dari sinar matahari jika memang diperlukan, ketersediaan lorong bawah tanah bagi satwa yang suka menggali tanah, serta ketersediaan kualitas air. - Freedom from injury, disease, and pain (bebas dari luka, penyakit, dan rasa sakit). Hewan memperoleh perawatan kesehatan dari dokter hewan dan paramedik untuk hewan.
- Freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut dan rasa tertekan). Hewan bebas dari intimidasi satwa yang hidup dalam kelompok sosial yang berlebihan, ancaman predator dari luar, fruktuasi dan kebosanan, kegaduhan dan kebisingan.
- Freedom to express most normal pattern of behavior (bebas mengekspresikan perilaku normal dan alamiahnya), (Indah Triastuti: 2015).
Konsep Islam tentang Kesejahteraan Hewan
Agama Islam lahir pada awal abad ke-7 M, dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Al-Quran, kitab suci umat Islam, menyatakan di dalamnya terkandung segala macam aturan, tidak ada satu pun yang terlewatkan (al-An’am 38). Al-Qur’an juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW, diutus untuk semua manusia (Saba’ 28). Juga diutus untuk memberikan kasih sayang kepada semesta alam (al-Anbiya’: 107).
Yang dimaksudkan dengan semesta alam pada ayat ini adalah segala sesuatu selain Allah, yang meliputi jin, manusia, hewan, tumbuhan, mikroba, virus, dan makhluk Allah yang lain. Islam menjunjung tinggi kesejahteraan hewan sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama makhluk Allah. Islam memandang hewan dan makhluk hidup lain sebagai hamba Allah yang sama-sama beribadah kepada-Nya. Seperti dalam surah Al-An’am ayat 38:
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّا اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ
“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.”
Karena agama Islam merupakan agama yang memberi tuntunan kepada pemeluknya untuk segala hal yang ada dalam kehidupan dunia ini, maka juga memiliki konsep yang khas dalam hal memperlakukan binatang sebagai sesama makhluk Allah. Manusia memiliki hak untuk memanfaatkan hewan, namun manusia juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan kesejahteraannya.
Islam memandang hewan sebagai bagian dari ciptaan Allah yang secara umum diciptakan untuk kepentingan manusia, berbeda dengan pendirian animal right yang melarang bentuk pemanfaatan hewan seperti untuk konsumsi, pakaian, objek penelitian, dan pembebanan dalam suatu pekerjaan. Islam melegalkan bentuk pemanfaatan hewan seperti untuk tujuan konsumsi, untuk kendaraan, atau untuk tujuan-tujuan lain. Hal Ini berdasarkan firman Allah al-Baqarah: 29.
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Demikian pula dalam Ghofir 79-80: “Allah-lah yang menjadikan hewan ternak untukmu, sebagian untuk kamu kendarai dan sebagian lagi kamu makan (79). Dan bagi kamu (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain padanya (hewan ternak itu) dan agar kamu mencapai suatu keperluan (tujuan) yang tersimpan dalam hatimu (dengan mengendarainya). Dan dengan mengendarai binatang-binatang itu, dan di atas kapal mereka diangkut (80).”
Nabi Muhammad SAW menunjukkan sifat kepedulian yang tinggi terhadap kesejahteraan hewan, seperti yang dijelaskan dalam banyak riwayat hadist, di mana beliau mengasihi hewan-hewan.
Dari Hisyam bin Zaid, ia berkata: Aku bersama Anas menemui al-Hakam bin Ayyub, kemudian ia melihat beberapa pemuda atau anak-anak yang memasang ayam dan mereka melemparinya. Kemudian Anas berkata: Rasulullah saw telah melarang dari menjadikan hewan sebagai sasaran. (Sunan Abu Daud, hadis nomor 2433).
Ulama Islam tentang Hak-Hak Hewan
Pada abad ke-12, jauh sebelum muncul isu animal welfare di barat, seorang ulama dengan gelar Sulthanul Ulama Syaikh Izzuddin Bin Abdissalam telah merumuskan dan memerinci hak-hak hewan yang harus dipenuhi oleh manusia bila memeliharanya.
Sebagaimana beliau tulis dalam kitab Qawaaid al-Ahkam fi Mashaalih al-Anam, juz 1 halaman 167:
ﺣﻘﻮﻕ البهائم ﻭاﻟﺤﻴﻮاﻥ ﻋﻠﻰ اﻹﻧﺴﺎﻥ، ﻭﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻳﻨﻔﻖ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻧﻔﻘﺔ ﻣﺜﻠﻬﺎ ﻭﻟﻮ ﺯﻣﻨﺖ ﺃﻭ ﻣﺮﺿﺖ ﺑﺤﻴﺚ ﻻ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻬﺎ، ﻭﺃﻻ ﻳﺤﻤﻠﻬﺎ ﻣﺎ ﻻ ﺗﻄﻴﻖ ﻭﻻ ﻳﺠﻤﻊ ﺑﻴﻨﻬﺎ ﻭﺑﻴﻦ ﻣﺎ ﻳﺆﺫﻳﻬﺎ ﻣﻦ ﺟﻨﺴﻬﺎ ﺃﻭ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺟﻨﺴﻬﺎ ﺑﻜﺴﺮ ﺃﻭ ﻧﻄﺢ ﺃﻭ ﺟﺮﺡ، ﻭﺃﻥ ﻳﺤﺴﻦ ﺫﺑﺤﻬﺎ ﺇﺫا ﺫﺑﺤﻬﺎ ﻭﻻ ﻳﻤﺰﻕ ﺟﻠﺪﻫﺎ ﻭﻻ ﻳﻜﺴﺮ ﻋﻈﻤﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﺗﺒﺮﺩ ﻭﺗﺰﻭﻝ ﺣﻴﺎﺗﻬﺎ ﻭﺃﻻ ﻳﺬﺑﺢ ﺃﻭﻻﺩﻫﺎ ﺑﻤﺮﺃﻯ ﻣﻨﻬﺎ، ﻭﺃﻥ ﻳﻔﺮﺩﻫﺎ ﻭﻳﺤﺴﻦ ﻣﺒﺎﺭﻛﻬﺎ ﻭﺃﻋﻄﺎﻧﻬﺎ، ﻭﺃﻥ ﻳﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ ﺫﻛﻮﺭﻫﺎ ﻭﺇﻧﺎﺛﻬﺎ ﻓﻲ ﺇﺑﺎﻥ ﺇﺗﻴﺎﻧﻬﺎ، ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﺤﺬﻑ ﺻﻴﺪﻫﺎ ﻭﻻ ﻳﺮﻣﻴﻪ ﺑﻤﺎ ﻳﻜﺴﺮ ﻋﻈﻤﻪ ﺃﻭ ﻳﺮﺩﻳﻪ ﺑﻤﺎ ﻻ ﻳﺤﻠﻞ ﻟﺤﻤﻪ.
Hak-hak hewan ternak atas manusia adalah:
- Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari jenis hewan-hewan tersebut, walaupun hewan-hewan tersebut telah menua atau sakit yang tidak dapat diambil manfaatnya.
- Tidak membebani hewan-hewan tersebut melebihi batas kemampuannya.
- Tidak mengumpulkan di antara hewan tersebut atau antara hal-hal yang membuat hewan tersebut terluka, baik dari jenisnya atau selain dari jenisnya dengan mematahkan tulangnya, menusuk, atau melukainya.
- Menyembelihnya dengan baik jika menyembelihnya, tidak menguliti kulitnya dan tidak pula mematahkan tulang hingga hewan tersebut menjadi dingin dan hilang hidupnya, tidak menyembelih anak hewan tersebut di depannya, namun mengisolasinya.
- Membuat nyaman kandang dan tempat minumnya.
- Menyatukan antara jantan dan betina bila telah datang musim kawin.
- Tidak membuang buruannya.
- Tidak menembak dengan apapaun yang mematahkan tulangnya atau membunuhnya dengan benda-benda yang menyebabkan tidak halal dagingnya.
Korelasi animal welfare dan syariat Islam. Dalam five of freedom dengan nash-nash dalam al-qur’an, hadist, atupun hukum fikih pada uraian di atas tidak bertentangan. Keduanya sejalan dalam konteks memerlakukan hewan.
Bahkan syariat Islam memberi tuntunan kepada pemeluknya untuk memperlakukan binatang sebagai sesama makhluk Allah. Selain memiliki hak untuk memanfaatkan, manusia juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesejahteraan dan kelestariannya.
Titik Kritis Kesejahteraan Hewan saat Kurban
Idul Adha atau sering kita sebut Idul Kurban merupakan perhelatan akbar bagi umat Islam di dunia. Di dalamnya ada perintah untuk menyembelih hewan kurban seperti kambing, domba, sapi, kerbau, dan unta. Menyembelih hewan kurban selain merupakan ibadah kepada Tuhan juga merupakan tanggung jawab sosial kepada masyarakat sehingga Idul Kurban ini memberikan makna yang luas bagi mereka yang mendalaminya.
Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia sudah barang tentu dalam pelaksanaan Idul Kurban semarak dan berskala besar. Besarnya minat berkurban penduduk Muslim di Indonesia telah memunculkan tempat-tempat penjagalan hewan yang baru seperti halaman masjid, halaman sekolah, pingir jalan, lapangan, dan tempat-tempat terbuka lainnya.
Selain itu juga memunculkan tukang jagal-tukang jagal baru. Kemunculan tempat dan tukang jagal baru tersebut jika tidak dibekali dengan pengetahuan seperti penyuluhan dan pelatihan maka sangat mungkin akan memunculkan permasalahan baru baik masalah kesehatan manusia dan hewan maupun kesejahteraan hewan (animal welfare).
Ada dua titik penting kesejahteraan hewan yang harus kita perhatikan dalam pelaksanaan Idul Kurban di Indonesia. Pengadaan hewan kurban dan pemotongan hewan kurban.
Pertama, dalam pengadaan hewan kurban sangat berhubungan dengan transportasi dan penampungan hewan kurban serta ketersediaan pakan. Demi memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya banyak penjual hewan kurban yang menginvasi daerah perkotaan untuk memenuhi permintaan hewan kurban.
Kondisi ini sering tidak diimbangi denga persiapan yang matang. Pengangkutan ternak atau hewan kurban sering tidak memperhatikan aspek kesejahteraan hewan. Banyak peternak yang “menumpuk” ternaknya dalam kendaraan tanpa memperhatikan kapasitas kendaraan dan konstruksinya hanya demi untuk menekan biaya transportasi.
Hal yang sama terjadi pada penampungan hewan kurban. Jika kita perhatikan di pinggir jalan raya sejak sepekan sebelum Idul Kurban banyak bermunculan tempat-tempat penampunagan hewan baru, yang pada umumnya kondisinya sangat kotor dan sempit tidak sesuai dengan jumlah ternak yang ada.
Kondisi kandang atau tempat penambatan hewan yang kotor dan sempit sangat mungkin menyebabkan peningkatan stress pada ternak. Tingginya tingkat stress pada ternak akan menurunkan nafsu makan sehingga bobot badan menjadi turun. Selain itu tingginya tingkat stress juga menyebabkan penurunan tingkat kekebalan ternak sehingga ternak mudah terserang penyakit.
Tempat penambatan hewan yang berada di pinggir jalan menambah buruknya keadaan. Polusi udara yang bersumber dari asap kendaraan juga berpotensi menggangu kesehatan hewan. Kondisi ini sangat menurunkan aspek kesejahteraan hewan dan kesehatannya. Jika ternak tidak sehat, maka dalam batas-batas tertentu ia tidak ideal untuk dijadikan sebagai hewan kurban.
Ketersediaan pakan dalam tempat penampungan memiliki peran penting dalam aspek kesejahteraan hewan. Tempat penampungan ternak sementara yang umumnya berada di daerah perkotaan jauh dari padang rumput menyebabkan kurangnya ketersediaan pakan. Karena jika harus mendatangkan pakan dari daerah lain dalam jumlah besar maka akan meningkatkan biaya.
Tidak jarang kondisi ini menyebabkan ternak tidak teratur dalam makan atau bahkan ternak mengalami kelaparan yang berimplikasi pada penurunan bobot badan ternak. Ternak menjadi kurus, sehingga dalam batas-batas tertentu tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai hewan kurban.
Yang demikian ini terbilang penting, mengingat utamanya adalah mempersembahkan hewan kurban yang terpilih, yaitu yang gemuk dan sempurna. Berdasarkan keumuman al-Quran surah al-Hajj: 32
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“… barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (al-Hajj 32).
Ismail Ibn Katsir, rahimahullahu, mengetengahkan riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, bahwa maksud ayat di atas adalah anjuran untuk berkurban hewan besar, gemuk, dan indah.
Juga riwayat Abu Umamah dari Sahal, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berkurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berkurban dengan hewan yang gemuk-gemuk” (Tafsir Ibnu Katsir, IV/220).
Juga berdasarkan data dalam riwayat-riwayat shahih, bahwa nabi saw, berkurban hewan yang terpilih, sebagaimana riwayat dari Anas bin Malik berikut ini;
عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ وَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ وَنَحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ سَبْعَ بُدْنٍ قِيَامًا وَضَحَّى بِالْمَدِينَةِ كَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ مُخْتَصَرًا
dari Abi Qilabah dari Anas (lalu ia menyebutkan haditsnya), katanya: “Pernah Nabi saw, menyembelih tujuh ekor unta dengan tangannya sendiri dalam keadaan berdiri, sementara itu di Madinah beliau berqurban dua ekor kambing yang gemuk dan bertanduk pendek. (Shahih al-Bukhari, hadis nomor 1597).
Perhatikan Kenyamanan Masjid
Kedua, titik kritis lain yang harus diperhatikan adalah dalam pelaksanaan pemotongan hewan kurban. Ditemukan sejumlah pelanggaran atau ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip yang ada dalam syariat Islam. Juga pengacuhan aspek kesejahteraan hewan dalam pengendalian dan perobohan hewan kurban sebelum dipotong.
Masjid atau tempat shalat menempati posisi yang sangat penting dalam agama Islam. ia tidak saja sebagai tempat untuk shalat, tapi juga tempat untuk kegiatan keagamaan yang lainnya, semisal pengajaran ilmu agama, pernikahan, dan yang lainnya. Masjid yang juga disebut rumah Allah itu, diperintahkan untuk dijaga kesucian dan kenyamanannya.
Tujuannya agar ibadah shalatnya menjadi sah, dan orang yang shalat didalamnya menjadi nyaman. Nabi Muhammad saw, menganjurkan umatnya yang akan masuk masjid untuk memakai wewangian dan menghindari mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap, seperti petai, jengkol, bawang dan sebagainya. Dalam hadits-haditsnya beliau menyatakan:
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ فَلَا يَأْتِيَنَّ الْمَسْجِدَ – يَعْنِي اَلثَّوْمَ –
“Siapa saja yang makan pohon (tanaman) ini, maka janganlah dia mendatangi masjid. Maksudnya adalah bawang putih.” (HR Muslim, nomor 563)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : أَمَرَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِبِنَاءِ اَلْمَسَاجِدِ فِي اَلدُّورِ وَأَنْ تُنَظَّفَ وَتُطَيَّبَ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ(
“Dari Aisyah RA, ia berkata, Rasulullah SAW memerintahkan untuk membangun masjid di kampung-kampung dan hendaknya dibersihkan dan diharumkan.” (HR Ahmad)
Alternatif Rumah Pemotongan Hewan
Namun demikian sampai sekarang masih ada masyarakat yang menambatkan dan menyembelih hewan kurban di halaman masjid. Jika kambing dan sapi yang ditangani jumlahnya cukup banyak, pasti menimbulkan masalah polusi lingkungan, yaitu bau busuk yang menyengat di lingkungan masjid.
Untuk masjid-masjid di wilayah pedesaan yang masih memiliki pelataran luas mungkin saja hal ini masih bisa disiasati. Namun untuk masjid-masjid di wilayah perkotaan yang rata-rata tidak memiliki halaman luas, tentu hal ini menimbulkan masalah.
Dalam pemantauan yang kami lakukan, masjid-masjid di wilayah perkotaan yang melakukan penyembelihan hewan kurban di halaman masjid, menyisakan bau busuk yang cukup menyengat sampai satu bulan lamanya.
Namun belakangan sudah muncul kesadaran baru, yaitu tidak lagi menyembelih hewan kurban di halaman masjid, melainkan kerja sama dengan rumah pemotongan hewan (RPH). Penyembelihan dan penanganan yang dilakukan di RPH, tentu lebih praktis dan ramah lingkungan.
Praktis karena tidak melibatkan orang banyak, dan tidak mengundang kerumunan. Ramah llingkungan, karena setiap RPH telah dilengkapi dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang memadai. Adapun pengemasan dan pendistribusiannya dilakukan di kompleks masjid.
Penyembelihan dan penanganan hewan kurban di RPH, sangat urgen dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, juga sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor: 36 Tahun 2020 tentang “Shalat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Kurban Saat Wabah Covid-19.”
Di antaranya dijelaskan, pelaksanaan penyembelihan kurban harus tetap menjaga protokol kesehatan untuk mencegah dan meminimalisir potensi penularan, yaitu:
- Pihak yang terlibat dalam proses penyembelihan saling menjaga jarak fisik (physical distancing) dan meminimalisir terjadinya kerumunan.
- Selama kegiatan penyembelihan berlangsung, pihak pelaksana harus menjaga jarak fisik (physical distancing), memakai masker, dan mencuci tangan dengan sabun selama di area penyembelihan, setiap akan mengantarkan daging kepada penerima, dan sebelum pulang ke rumah.
- Penyembelihan kurban dapat dilaksanakan bekerja sama dengan Rumah Potong Hewan dengan menjalankan ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal.
- Dalam hal kerja sama dengan Rumah Potong Hewan tidak dapat dilakukan, maka penyembelihan dilakukan di area khusus dengan memastikan pelaksanaan protokol kesehatan, aspek kebersihan, dan sanitasi serta kebersihan lingkungan.
- Pelaksanaan penyembelihan kurban bisa mengoptimalkan keluasan waktu selama 4 (empat) hari, mulai setelah pelaksanaan shalat Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah hingga sebelum maghrib tanggal 13 Dzulhijjah.
- Pendistribusian daging kurban dilakukan dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan.
Pada proses perobohan hewan kurban sering kali dilakukan dengan pemaksaan di mana menyebabkan ternak menjadi tersiksa. Hal ini sering terjadi karena masih banyak masyarakat hanya berpikir agar ternak dapat mudah dan cepat untuk dipotong.
Dalam merobohkan hewan kurban yang besar seperti sapi dan kerbau sering dilakukan dengan teknik teknik lama, yaitu membegal kakinya yaitu menarik kaki secara berlawanan. Akibatnya hewan jatuh tersungkur yang berujung pada tersiksanya hewan sebelum dipotong. Sebaiknya mulai menggunakan teknik baru merobohkan hewan yang bisa meminimalisir ketersiksaan hewan.
Hal lain perlu diperhatikan adalah saat pemotongan hewan. Menurut syariat pemotongan hewan harus menggunakan pisau yang tajam dan memutuskan tiga saluran yang berada di leher hewan, yaitu jalan nafas, darah, dan makanan. Penggunaan pisau tajam dimaksudkan untuk mengurangi rasa sakit.
Sedangkan pemotongan saluran jalan nafas, darah, dan makanan dimaksudkan agar keluarnya darah bisa maksimal, sehingga karkas atau dagingnya menjadi higinis dan tidak cepat busuk. Kaitannya denga teknik penyembelihan ini, terdapat riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ. وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَ. وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ. فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ.
‘Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu. Apabila engkau membunuh, maka membunuhlah dengan cara yang baik, dan jika engkau menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaknya seorang menajamkan pisau dan menenangkan hewan sembelihannya itu.’” (Shahiih Muslim, III/1548). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni