Varian Muhammadiyah-Salafi, Jangan Biarkan Jadi Benalu oleh Prof Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Orang Muhammadiyah itu tidak monolitik, tidak tunggal. Paham dan sikap keagamaannya bisa berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu zaman ke zaman yang lain.
Adanya varian dalam Muhammadiyah jadi perdebatan. Merujuk pada buku Munir Mulkhan, sudah ada Munu (Muhammadiyah-NU), Marmud (Marhaen-Muhammadiyah), Mukhlas (Muhammadiyah al-Ikhlas), dan Dahlan (pengikut Ahmad Dahlan).
Masing-masing varian itu punya ciri yang khas. Barusan ditengarai adanya varian baru, yakni Mufpi (Muhammadiyah-FPI). Juga Musa (Muhammadiyah Salafi). Berbeda tapi tidak pecah; mungkin hanya gopel sedikit.
Musa: Muhammadiyah-Salafi
Musa itu wujudnya lama tapi diberi nama baru. Mereka adalah warga Muhammadiyah yang berpaham salafi, sebagaimana yang dikenal di Indonesia.
Sesungguhnya kaum salafi itu sendiri punya banyak varian. Ada salafi jihadi, salafi haraki, salafi moderat, dan salafi lainnya. Musa itu tampaknya digunakan untuk menamai mereka yang hanya punya loyalitas separuh terhadap Muhammadiyah.
Fisiknya di Muhammadiyah tapi jiwanya di tempat lain. Kerjanya di AUM tapi pengajiannya di tempat yang berbeda. Mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan tidak mengikuti Tafidz Pimpina Pusat Muhammadiyah. Tidak perduli pada AUM (amal usaha Muhammadiyah) dan pengajian Muhammadiyah.
Di masa-masa yang lalu, adanya varian itu tidak terlalu dipersoalkan. Di dalam Muhammadiyah ada mekanisme untuk mengatasi perbedaan faham keagamaan. Secara formal ada Majelis Tarjih dan Tajdid dari tingkat cabang sampai pusat untuk mengatasi perbedaan pendapat dan menjawab berbagai persoalan yang muncul di masyarakat.
Ada juga lembaga-lembaga musyawarah lainnya untuk mencari titik temu ketika ada silang sengkarut tentang kebijakan organisasi. Perbedaan dipandang wajar dan bahkan bisa memperkaya pikiran dan mendewasakan sikap bermuhammadiyah.
Manifesti yang paling jelas adalah pengalaman menyelenggarakan muktamar yang teduh (tidak gaduh), damai, dan bermartabat.
Saat Musa Jadi Masalah
Varian Musa mulai menjadi persoalan ketika sudah menyentuh sendi-sendi organisasi. Sebagian dari mereka bekerja di amal usaha Muhammadiyah, tapi tidak berupaya membesarkan Muhammadiyah. Bahkan mengajak teman-temannya untuk tidak loyal kepada keputusan organisasi.
Ada juga yang lebih serius. Mereka mendiskreditkan Muhammadiyah sebagai penganut bid’ah, karena pada masa Nabi, kata mereka, tidak ada organisasi. Mereka mencoba menguasai masjid, mushala, lembaga pendidikan, dan forum pengajian. Mereka tidak memajukan Muhammadiyah tapi membuatnya tidak berdaya.
Muhammadiyah dibiarkan jadi tinggal kulit, sedangkan isinya sudah jadi salafi. Yang menarik, mereka masih tetap mengaku, dan bekerja di amal usaha, Muhammadiyah.
Hubungan antara Muhammadiyah dan AMCF (Asia Muslim Charity Foundation) tidak lepas dari persoalan adanya Musa itu. Ada beberapa keluhan yang disampaikan oleh pimpinan persyarikatan di beberapa tempat. Keluhan itu menyebutkan adanya pimpinan, seperti direktur, dan ustadz yang tidak mau menanamkan ideologi Muhammadiyah, bahkan mengecamnya sebagai tidak mengikuti sunnah.
Demikian juga apa yang terjadi di dalam gerakan dakwah di daerah-daerah terpencil. Banyak mubaligh yang direkrut oleh AMCF dan ditempatkan di ranting atau cabang Muhammadiyah, tetapi tidak mau mendakwahkan pemahamanan Muhammadiyah. Lebih parah lagi, di lapangan mereka berlawanan dengan muballigh Muhammadiyah setempat.
Problem di Lapangan
Kesenjangan (discrepancy) di lapangan seharusnya bisa teratasi. Beberapa kali diskusi antara Muhammadiyah dan Syaikh Khoory sebagai penguasa tertinggi AMCF telah berlangsung.
Syaikh Khoori selalu menyatakan bahwa AMCF akan selalu mengikuti keputusan Muhammadiyah baik soal kurikulum pendidikan maupun rekrutmen tenaga pendidik dan mubaligh. Demikian juga, dalam program dakwah: AMCF akan memberhentikan dai yang menimbulkan masalah bagi Muhammadiyah.
Problemnya sering kali bukan di atas atau di belakang meja. Problemnya ada di lapangan. Makanya kepedulian pimpinan di akar rumput menjadi sangat penting. Pimpinan harus sensitif terhadap pengajaran, pengajian, dan perilaku orang-orang berkerja di AUM. Kalau perlu, pimpinan harus bersuara keras terhadap setiap bentuk penistaan terhadap Muhammadiyah.
Di samping itu, untuk mengatasi itu semua perlu promosi yang sungguh-sungguh agar semakin banyak kader Muhammadiyah yang memasuki ma’had Muhammadiyah dan program tahfidh al-Quran, dan mau mengurus masjid dan mushala. Muhammadiyah perlu mengirim lebih banyak lagi calon mahasiswa untuk belajar di negara-negara yang berbahasa Arab, sehinga ketika pulang sudah siap mengajar Bahasa Arab di ma’had Muhammadiyah-AMCF.
Kader-kader Muhammadiyah harus tampil maju ke gelangang mengisi peluang, dan pada saat yang sama membina ideologi bagi mereka yang baru “muallaf.” Kalau tidak, orang lain akan memanfaatkan fasilitas Muhammadiyah untuk memperlemah Muhammadiyah.
Kerja sama Muhammadiyah-AMCF, dengan semangat semua aset yang dikembangkan oleh AMCF di Indonesia pada hakikatnya adalah milik Muhammadiyah, perlu diperkokoh dan dievaluasi secara periodik dengan mendengarkan baik-baik apa yang terjadi di lapangan. Musa jangan dibiarkan berkembang menjadi benalu. (*)
Varian Muhammadiyah-Salafi, Jangan Biarkan Jadi Benalu: Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel berjudul asli MUSA ini dikutip dari buku Makna di Balik Peristiwa karya Prof Syafiq A. Mughni (Penerbit Hikmah Press, Surabaya, November 2020).
Untuk mendapatkan buku tersebut bisa menghubungi Anifaul Asfiyah 0811 3342 663.