PWMU.CO – Menakjubkan! Pidato Siti Moendjijah di Kongres Perempuan 1928. Siti Syamsiyatun Chirzin PhD membahasnya pada seri kajian Kapita Selecta Dakwah #23, Senin (21/6/21) pagi.
Kajian virtual yang digelar Laboratorium Dakwah Yayasan Shalahuddin Budi Mulia itu mengangkat tema “Perjuangan Dakwah Siti Moendjijah dan Siti Hajinah“.
Pada kajian virtual pagi tersebut, dia mengaku sengaja menggunakan seragam Aisyiyah. “Sebagai bentuk penghormatan kepada kedua ibu: Siti Moendjijah dan Sitti Hajinah,” ujar anggota International Advisory Board of Global Ethics Geneva itu.
Cari Nilai Moral pada Pidato Siti Moendjijah
Siti menerangkan, pada Kongres Perempuan tahun 1928, banyak aktivis Aisyiyah yang aktif. “Tampak dari kerudung yang mereka gunakan,” ujarnya.
“Asiyiyah turut berpartisipasi mengisi acara dengan Panembromo dan tablo—antara nyanyian, puisi, dan gerakan—yang juga mendapat sambutan meriah,” sambungnya.
Pada Kongres tersebut, Siti Moendjijah (1896-1995) berpidato “Derajat Perempuan” yang membahas sekolah untuk perempuan. Hal ini dia anggap bernilai karena kesempatan berpidato bagi perempuan di masa itu masih sangat sulit, butuh perjuangan. Tidak seperti sekarang, banyak perempuan yang bisa berpidato.
Siti Syamsiyatun mengulas ini menggunakan teori tafsir Double Movement (Gerakan Ganda) Fazlur Rahman Malik: “Tidak bisa (jika) hanya menilai apa yang dilakukan orang lain pada masa lalu, tidak menghiraukan nilainya, tapi hanya (melihat) ekspresi yang muncul di masa sekarang.”
Yang lebih kita tekanan, sambungnya, mencari nilai moral dari pidato yang bersejarah itu.
Dia menegaskan, Aisyiyah, termasuk Siti Moendjijah ketika berpidato, sudah menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula saat bercakap-cakap dengan suku lainnya di Indonesia. Padahal saat itu, bahkan hingga sekarang di pedesaan, banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia.
Gunakan Rujukan Global dan Komprehensif pada 1928
Siti Syamsiyatun berpendapat, rujukan pidato Sitti Moendjijah pada tahun 1928 banyak sekali. “Padahal waktu itu belum ada internet, Wikipedia, Google Scholar, dan lain sebagainya,” komentarnya.
Siti Moendjijah mampu mengutip buku sejarah dunia, khususnya sejarah yang berkaitan dengan kehidupan perempuan-perkawinan di Jepang, Cina, Hindustan, Arab, dan Inggris.
Selain itu, lanjutnya, juga merujuk dari berbagai agama (termasuk Kristen) dan surat kabar di Amerika. “Saya membayangkan beliau mungkin pergi ke tempat pamannya, Pak Kiai Dahlan, ke sana-ke mari mempersiapkan rujukannya yang sangat global, komprehensif,” komentarnya.
Dosen pengajar Gender dan Keadilan Sosial ini menerangkan, perjuangan Siti Moendjijah itu kontras dengan apa yang dia temukan di tugas mahasiswanya kini. Banyak yang hanya merujuk pada referensi sesuai organisasinya saja.
“Sedikit sekali yang membaca dari pemikiran-pemikiran di luar kelompoknya,” ujarnya. “Kalah dong kita yang di abad ke- 21 dengan Ibu Sitti Moendjijah?”
Tiga Cerminan Derajat Perempuan
Siti Syamsiyatun menjelaskan, saat bicara Derajat Perempuan, Siti Moendjijah menekankan kemuliaan perempuan yang meliputi tiga hal. Pertama, tinggi budinya.
“Tanpa memandang suku bangsa, usia, karir, agama; kalau orang baik budinya, bisa bergaul dengan siapa saja dan diterima di mana saja,” terangnya.
Kedua, banyak ilmu. Singkat, dia mengumpamakan, tidak seperti katak dalam tempurung.
Ketiga, berkelakuan baik. “Tidak hanya omong, tapi perilakunya juga (sejalan),” tuturnya.
Dia mencontohkan, tidak hanya bicara kolaborasi kemudian menikung dari belakang. Contoh lainnya, melalukan hal yang telah diputuskan di Aisyiyah. “Tidak menggunting dalam lipatan!” tegasnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni