PWMU.CO – Tulislah, agar tidak hilang dalam sejarah humanitas! Sejarah sangat tergantung dengan siapa yang menulis, bagaimana ditulis, dan bagaimana dimaknai. Demikian Siti Syamsiyatun Chirzin PhD menyampaikannya pada kajian virtual Kapita Selecta Dakwah #23, Senin (21/6/21) pagi.
Siti menyatakan, kalau dari Aisyiyah tidak banyak menulis, yang aktivis Aisyiyah lakukan di mana pun akan hilang dalam sejarah humanitas. “Walaupun, tidak akan hilang di akhirat, malaikat tidak akan pernah hilang catatannya,” ucapnya pada kajian yang digelar Laboratorium Dakwah Yayasan Shalahuddin Budi Mulia itu bertema “Perjuangan Dakwah Siti Moendjijah dan Siti Hajinah“.
Sebab, lanjut dia, kalau tidak ada peninggalan dalam bentuk tulisan maupun artefak-artefak, mungkin akan sulit ditelusuri jejak aktivitasnya.
Pakar Belum Banyak Menulis Kiprah Perempuan
Lulusan McGill University dan Monash University tersebut menceritakan pengalaman konsultasinya dengan Susan Blackburn. Susan mengapresiasi perjuangan perempuan Islam di Indonesia.
Kata Siti Syamsiyatun, sosok yang dia kagumi itulah yang membuatnya lebih percaya diri dalam menulis disertasi tentang Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Susan mengatakan kepadanya bahwa pakar dari Indonesia maupun luar negeri belum banyak menulis tentang kiprah perempuan.
Padahal, data-data menunjukkan Aisyiyah memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya dari segi sejarah. Sejak penyelenggaraan Kongres Perempuan pada tahun 1928, ada lebih dari 30 organisasi perempuan aktif berkiprah.
“Setelah satu abad, hanya tiga organisasi yang bertahan eksis; yaitu Wanita Katolik, Wanita Taman Siswa, dan Aisyiyah,” urainya.
Dari segi statistik kuantitatif, lanjutnya, sangat jelas eksistensi Aisyiyah jauh melampaui kedua organisasi tersebut. Belum lagi, menurut dia, jika ditinjau dari segi kualitatifnya.
Aktifkan Historiografi
“Bagaimana kalau tidak pernah ditulis? Historiografi sangat berpengaruh!” tegas Mantan Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) itu
Dia lalu mendorong para peserta untuk ikut aktif ‘bermain’ dalam historiografi supaya catatan sejarah selalu ada. Kalau sekarang—di dunia maya—menurutnya, rekaman kajian virtual itu juga termasuk artefak.
Yang tidak kalah penting menurutnya, proses menginterpretasi sejarah. “Faktanya tunggal, tapi bagaimana fakta keras ini dimaknai oleh banyak orang, kita sedang bertarung di situ,” kata anggota International Advisory Board of Global Ethics Geneva itu. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni