PWMU.CO – Pekerjaan Paling Dicari 10 Tahun Lagi. Analisa Widyaningrum MPsi Psikolog menyampaikannya pada Wisuda XXI SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb), Selasa (22/6/21).
Sebelum menyampaikan motivasinya, Analisa mengajak beberapa peserta berinteraksi langsung untuk mengonfirmasi bagaimana kemudahan menerapkan praktik baik pendidikan di tengah pandemi.
“Selamat ya sudah lulus SD dan sebentar lagi mau SMP, rasanya pasti bukan hal yang mudah, ya?” tanya Analisa kepada salah satu wisudawan, Muhammad Ghaisan Mirza R.
Ghaisan, panggilan akrabnya, mengiyakan singkat. Analisa lantas menyemangati wisudawan berkacamata itu dengan berpantun, “Jalan-jalan ke Bukittinggi, (cakeep!) jangan lupa naik bendi. Sekarang Gaisan bukan anak SD lagi, bulatkan tekad dan terus cari inspirasi. Semangat Ghaisan!”
Dialog interaktif pada wisuda bertema “Take a Chance and Get Ready for The Next Future“ itu berlanjut. Giliran wisudawati Radina Syifaiyah yang Analisa pilih untuk menjawab pertanyaan spontannya. “Syifa kalau sudah gede mau jadi apa?”
Jawaban Syifa yang ingin menjadi seorang penjelajah ilmu membuat Analisa kagum dan berdoa, “Semoga niat baik Syifa untuk menjelajah ilmu dan memperdalam ilmu agama bisa membanggakan, terutama untuk keluarga dan ustadz-ustadzah yang ada di sekolah kamu.”
Generasi Digital Ingin Kerja di Balik Dunia Internet
Analisa menyadari, di masa pandemi ini bukan perkara mudah bagi orangtua untuk memperoleh gambaran masa depan anak-anaknya. Pertanyaan orangtua yang umum dia dengar, apa yang bisa dilakukan untuk memperoleh gambaran masa depan anak, padahal sekolahnya tidak dari ruang kelas. Selain itu, apakah bisa?
Psikolog di Jogja International Hospital itu menerangkan, kalau ditanya ‘besok mau jadi apa?’, anak-anak yang lahir di generasi ini antusias menjawab ingin jadi Youtuber. Profesi ini memang menjadi salah satu yang paling diminati.
“Konon, generasi yang lahir sebagai generasi digital—yang lahir 2010 ke atas, atau bahkan 2005 ke atas—merupakan generasi yang paling dekat dengan teknologi atau Internet,” ungkap content creator dengan 530 ribu subscriber itu.
Mereka, lanjutnya, rata-rata ingin bekerja di balik dunia Internet. Sedikit yang ingin jadi dokter, psikolog, guru, dosen, pegawai negeri maupun pegawai perusahaan.
Pekerjaan Paling Dicari 10 Tahun Lagi
Di balik dunia teknologi dan internet yang tanpa batas, sambung Analisa, ada pekerjaan yang nantinya—10 tahun lagi—akan banyak dicari. “Bahkan hari ini web developer sudah banyak, web designer (juga),” ujarnya.
Dia menyatakan, di beberapa kampus, apalagi di luar negeri, sekarang sudah ada mata kuliah artificial intelligence atau AI (kecerdasan buatan). AI itu, menurutnya, menjadi masa depan kita.
“Big data di depan mata. Mereka yang bisa menganalisis big data menjadi suatu profesi yang dinantikan dan menjanjikan,” ungkapnya.
“Kalau adik-adik sekarang merasa mimpinya pengin jadi Youtuber, web designer, artificial intelligence expert, big data analyst yang ini merupakan masa depan Indonesia, maka di sinilah kita sama-sama harus bermimpi besar!” pesannya kepada 153 siswa yang hadir secara virtual.
Analisa kemudian bertanya retoris, “Terus gimana ya Mbak kalau anak saya main gadget terus gara-gara pandemi ini?”
Dia lalu bertanya ke para wali siswa yang hadir. “Bagaimana Bapak Ibu menyikapinya?”
“Anak-anak kita diantarkan untuk memanfaatkan teknologi, bukan dimanfaatkan!” tegas penulis buku “The Power of Personality Development” itu.
Bukan tidak mungkin, lanjutnya, masa depan anak-anak ada di dunia yang sekarang sedang mereka jelajahi. Namun pertanyaannya, bagaimana penentu masa depan mereka?
Anak Masuk ke Sekolah = Masuk Laundry?
Analisa menerangkan bukan hanya guru dan sekolah yang menentukan masa depan anak, tapi juga orangtua di rumah. “Saya banyak menemui, orangtua yang datang ke psikolog rata-rata orangtuanya itu pasti sibuk. Kemudian diarahkan menemui psikolog oleh sekolah,” ungkapnya.
Padahal, saat bertemu di ruang praktiknya, rata-rata anak-anak sebenarnya sudah paham ingin menjadi apa kelak. Hanya saja, minimnya komunikasi anak dengan orangtua membuat orangtua berpikir, “Saya kan sudah menyekolahkan anak saya mahal-mahal, mbak!”
Menghadapi fenomena ini, Analisa berpendapat, itu seperti memasukkan anak ke laundry. “Cucian jadi wangi, beres. Kalau di rumah kena tumpah kecap, masak iya kita mau balikin?” jelas dia.
Analisa menyimpulkan, memasukkan anak ke sekolah bukan berarti sama seperti memasukkan anak ke laundry. Yang perlu menjadi perhatian, bagaimana kolaborasi orangtua dan guru karena pandemi ini menjadi kunci praktik baik pendidikan. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni