Fachrodin Ketua PP Muhammadiyah Tamatan Sekolah di Bawah Pohon Sawo, oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh Islam
PWMU.CO – Fachrodin adalah salah satu kader terbaik Muhammadiyah. Dia murid langsung dari KH Ahmad Dahlan. Dia multilatenta, antara lain cakap menjalankan organisasi, tekun mengader, terampil memotivasi, dan tak segan ikut menggalang dana.
Dia—-yang bernama asli Muhammad Jazuli—itu dikenal sebagai pekerja keras dan selalu ingin maju. Meski meningggal dalam usia muda, jasa-jasanya bagi agama dan bangsa sungguh besar. Maka, wajar jika pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Fachrodin lahir pada 1890. Dia salah seorang pemimpin Muhammadiyah yang fenomenal. Semangat hidupnya terus menggelegak secara positif.
Meski tak berpendidikan formal, tapi ilmu dan wawasannya luas. Dia mahir mengarang atau membuat tulisan, terampil berpidato, dan lain-lain kecakapan.
Tentang dirinya, pernah secara berkelakar dia sebut sebagai “Tamatan sekolah di bawah pohon sawo”. Tentu, maksudnya, dia sama sekali tidak bersekolah. Memang, dia seorang otodidak, belajar sendiri.
Fachrodin menjadi anggota Muhammadiyah pada 1916. Amanah yang dia pegang, langsung sebagai sekretaris sampai 1921. Saat menjadi Wakil Ketua Hoofdbestuur (HB)—kini Ketua Pimpinan Pusat (PP)Muhammadiyah, perhatian Fachrodin tidak hanya ditujukan pada masalah-masalah yang “besar”, tapi dia juga giat bertabligh ke daerah-daerah.
Suka Berterus-terang
Ayah Fachrodin seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta. Tapi, mengherankan, dia tidak betah diikat oleh berbagai peraturan yang tak pada tempatnya. Dia tidak suka dengan bermacam adat dan formalitas.
Pernah, dalam suatu kesempatan, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII berkenan hadir pada upacara peresmian sebuah amal usaha Muhammadiyah. Pada waktu itu, Fachrodin menjabat Wakil Ketua HB Muhammadiyah.
Di acara itu, Fachrodin tidak memberikan penghormatan sembah kepada Sri Sultan. Sikapnya, bukan karena tidak hormat tapi semata-mata karena tidak suka dengan adat feodal. Memang, secara umum, masyarakat telah mengenal Fachrodin sebagai pribadi yang sopan dan selalu hormat kepada orang lain.
Fachrodin adalah utusan HB Muhammadiyah yang pertama untuk mengunjungi Sumatera yaitu di Minangkabau. Ketika di Maninjau, dia berbicara. Bahwa, rumah-rumah di Maninjau sangat besar dan elok. Juga, perabotnya indah-indah. Sayang, masjidnya—yang itu adalah Rumah Allah—sangat buruk dan sudah lapuk. Padahal, Allah jualah yang telah mengaruniakan rezeki yang melimpah.
Sepulang Fachrodin, umat Islam Maninjau giat mengumpulkan dana guna pembangunan masjid. Maka, berdirilah Masjid Kubu Sungai Batang yang besar dan indah.
Pengader Militan
Di berbagai posisi di dalam Muhammadiyah, Fachrodin bertindak secara cakap. Sebagai sekretaris, Fachrodin mengatur pekerjaannya dengan teliti dan cermat. Sebagai wakil ketua, dia pegang teguh ketentuan-ketentuan organisasi. Dia hafal seluruh materi Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Terkait keharusan tertib berorganisasi, berikut ini sebuah kisah menggugah. Suatu ketika, pada 1925, Fachrodin memanggil seorang pemuda ke rumahnya untuk bercakap-cakap. Pemuda itu bernama Yunus Anis (kelak, pemuda ini terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah 1959-1962).
Saat diajak berdialog itu, Yunus Anis sudah dikenal sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah yang rajin. Oleh Fachrodin, dia lalu dibekali teknik dakwah dan berorganisasi yang baik. Selanjutnya, terjadilah dialog menarik, kurang-lebih sebagai berikut.
“Sudahkah engkau menjadi anggota Muhammadiyah,” tanya Fachrodin.
“Belum,” jawab Yunus Anis.
“Hah? Mana bisa? Bukankah engkau sudah pernah menjadi guru Muhammadiyah? Bukankah engkau sudah menjadi pengurus Muhammadiyah Cabang Jakarta, malah sebagai Ketua Bagian Taman Pustaka dan Bagian Tabligh,” seru Fachrodin bernada tanya.
“Tapi dalam hati saya sudah merasa menjadi anggota dan saya sudah berbuat untuk Muhammadiyah. Bukankah yang diperlukan kerjanya,” tangkis Yunus Anis.
“Tidak. Menjadi anggota Muhammadiyah harus lahir dan batin. Muhammadiyah tidak cukup hanya di batin saja. Harus menjadi anggota lahir dan batin, harus bekerja lahir-batin. Harus mengikuti peraturan Muhammadiyah,” terang Fachrodin.
Motivator Ulung
Muktamar Ke-15 Muhammadiyah di Surabaya dilakukan pada 1926. Muktamar belum selesai, tapi sudah banyak utusan yang pulang. Hal itu, mungkin saja karena udara Surabaya yang panas atau karena sisi penyelenggaraan yang tidak memuaskan. Tentu, keadaan muktamar yang seperti ini mengkhawatirkan.
Atas situasi itu PP Muhammadiyah hampir kehilangan akal. Tapi, tidak dengan Fachrodin. Di hadapan sidang pleno dia berpidato dan menantang: “Kalau Saudara-Saudara memang berkeras hendak pulang meninggalkan muktamar ini, baiklah. Marilah kita tutup dan bubar sekarang juga.”
Mendengar hal itu, para utusan yang masih hadir tidak jadi pulang. Muktamar pun berjalan terus seperti rencana semula.
Muktamar Ke-18 Muhammadiyah di Solo pada 1929 hampir tidak jadi dilaksanakan. Hal itu, karena Cabang Solo menolak, mungkin karena merasa kurang sanggup. Maka, berbicaralah Fachrodin di hadapan orang-orang Solo, yang di antaranya ada Moeljadi Djojomartono dan Kiai Idris.
“Kalau Solo tidak mau menerima Muktamar, Yogyakarta-lah yang akan menerima tetapi diadakan di Solo. Nanti yang bekerja orang Yogyakarta, yang membiayai orang Yogyakarta. Cabang Solo boleh lihat saja supaya tahu dan boleh mengirimkan dua orang utusan. Lain tidak,” demikian kata Fachrodin, tegas.
Mendengar hal itu dan melihat kesungguhan Fachrodin, Moeljadi Djojomartono dan Kiai Idris menerima muktamar itu. Belakangan, pada kenyataannya, muktamar berjalan dengan lancar dan mengesankan. Muhammadiyah lalu semakin berkembang di Solo dengan berbagai kegiatan tabligh dan amal usahanya.
Fachrodin aktif membina generasi muda. Para pemuda itu seperti Duri (putra Ahmad Dahlan), Hadjid, Abdul Hamid BKN, Wazirnuri, dan lain-lain. Tercatat kemudian, mereka itulah yang mempelopori pendirian Kepanduan Hizbul Wathan bersama beberapa pemuda yang lain. Adapun nama Hizbul Wathan adalah atas usul Hadjid.
Di lain peristiwa, pernah Fachrodin berpidato di depan ratusan Pandu Hizbul Wathan. Antara lain dia mengatakan, bahwa tongkat-tongkat yang mereka panggul itu suatu ketika akan menjadi senapan atau bedil.
Hal yang diucapkan Fachrodin terbukti dengan sangat banyaknya Pandu Hizbul Wathan yang tampil dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda. Sekadar contoh, di belakang hari, Jenderal Sudirman adalah seorang pandu Hizbul Wathan dari Banyumas.
Sang Pemberani
Dulu, Ahmad Dahlan pernah diancam bunuh di Banyuwangi. Ternyata, Fachrodin mengalami hal yang mirip. Saat itu, Fachrodin mendapat ancaman dari orang Ponorogo yang belum suka kepada Muhammadiyah. Ancamannya, jika dia jadi pergi berdakwah ke sana akan dihantam dengan rantai besi (di zaman itu, rantai adalah senjata yang mengerikan karena bisa mematikan).
Sama dengan sikap Ahmad Dahlan saat diancam agar tak ke Banyuwani, Fachrodin tetap berangkat ke Ponorogo. Sesampai di kota itu, para pengurus calon cabang Muhammadiyah di sana menganjurkan agar Fachrodin kembali saja ke Yogyakarta. Mereka ingin membatalkan tabligh umum yang telah direncanakan karena keadaan tidak kondusif dan jiwa Fachrodin terancam.
“Siapa yang akan merantai saya, sila rantai. Fachrodin tidak akan takut dan tidak akan mundur dalam berbakti kepada Allah,” tegas dia mantap.
Mirip lagi dengan apa yang dialami Ahmad Dahlan di Banyuwangi, tabligh akbar Muhammadiyah di Ponorogo tetap berjalan. Acara itu mendapat perhatian besar dari kaum Muslimin. Lebih dari dua jam Fachrodin berpidato dengan lantang, tegas, dan mudah diterima nalar.
Sampai acara selesai, tidak terjadi apa yang sempat tuan rumah khawatirkan. Fachrodin kembali ke Yogyakarta dengan selamat. Selanjutnya, Cabang Muhammadiyah Ponorogo berdiri dan maju dengan pesat.
Bersemangat Kuat
Menjalankan safari dakwah ke luar kota tergolong pekerjaan berat. Tentu berat, karena akan berpisah dengan keluarga untuk berapa hari bahkan pekan. Terkait itu, di banyak rapat pimpinan Muhammadiyah, sering terjadi kesulitan di saat mencari orang yang bersedia diutus ke tempat yang jauh.
Hal yang menarik, di setiap menemui kesulitan semacam itu, Fachrodin selalu secara langsung bertanya kepada yang hadir: “Saudara tidak bersedia? Jika tidak ada yang bersedia, tulis dalam notulen, Fachrodin bersedia berangkat!”
Begitulah semangat Fachrodin dalam bermuhammadiyah. Dia pekerja keras. Dia bersemangat kuat dalam mewujudkan agenda persyarikatan. Baginya, urusan Muhammadiyah adalah utama dan sama sekali bukan sambilan.
Ikut Mengumpulkan Dana
Ketika Muhammadiyah akan membangun gedung sekolah baru di Yogyakarta, Fachrodin berkeliling mencari dana sampai ke luar kota. Dia antara lain ke Jakarta, Pekalongan, dan Surabaya. Dia kumpulkan zakat dan infaq dari kaum Muslimin pada umumnya dan keluarga Muhammadiyah khususnya. Kala itu, dia berhasil mendapatkan sejumlah dana yang besar.
Saat mencari dana, dia bersemangat. Dia berpendirian bahwa mengumpulkan zakat dan infak dalam konteks amal fii-sabilillah bukan pekerjaan hina. Itu bukan mengemis.
Saat mencari dana fisabilillah, performa dan kata-kata Fahrodin tidak seperti orang yang meminta-minta. Penampilannya wajar dan kata-katanya mantap berdaya gugah. Dia berikan penjelasan yang cukup atas tujuan pengumpulan dana. Dengan cara itu, dia bisa meyakinkan orang.
Jurnalis dan Penulis
Fachrodin termasuk perintis majalah Suara Muhammadiyah. Pada 1920 dia memimpin majalah Suara Muhammadiyah dengan bahasa dan huruf Jawa. Kemudian, saat 1921 diadakan Kongres Umat Islam yang kedua di Cirebon, Fachrodin memanfaatkannya dengan mengundang para utusan yang berasal dari Muhammadiyah untuk bermusyawarah tentang Suara Muhammadiyah. Disetujui-lah majalah tersebut dijadikan majalah resmi HB Muhammadiyah dan diasuh oleh bagian Taman Pustaka (majalah tersebut terus terbit hingga kini).
Fachrodin penulis handal. Tulisannya tajam, selalu dimuat di majalah bulanan yang dipimpinnya-Bintang Islam-sejak 1924. Secara berseri pernah dimuat artikel karangannya antara lain Tafsir Surat Al-Ikhlash. Ada juga seri kristologi, bahasan yang juga diminatinya.
Pembela Kaum Lemah
Bidang perhatian Fachrodin luas. Dia juga dikenal sebagai pembela kaum buruh dan tani yang tertindas. Bersama Suryopranoto yang dikenal sebagai “Raja Pemogokan”, Fachrodin selalu aktif membakar semangat buruh untuk menuntut hak-haknya dalam hal kehormatan dan upah yang wajar.
Pernah Fachrodin menulis dalam sebuah surat kabar. Isinya, menganjurkan para buruh pabrik untuk menyebarkan “Semut Api” ke dalam perkebunan tebu. Tentu, maksudnya, saran untuk membakar perkebunan.
Atas sikapnya itu, Fachrodin divonis kurungan atau membayar sejumlah denda. Fachrodin memilih membayar denda walau dengan menjual barang-barangnya dan usaha-usaha lainnya.
Pembela Agama
Pada 1925, Residen Yogyakarta dinilai terlalu menomorsatukan misi Katolik dan zending Kristen. Fakta ini memicu ghirah umat Islam untuk protes. Lalu, beberapa pemimpin umat Islam di Yogyakarta mengadakan musyawarah. Mereka membentuk kesatuan umat Islam. Di dalamnya ada unsur Muhammadiyah dan Syarikat Islam dengan koordinator Fachrodin dan dibantu Hadjid. Selanjutnya, mereka membentuk pengurus kesatuan aksi umat Islam.
Bertepatan hari peringatan Isra Mikraj, direncanakan untuk mengadakan pawai (semacam unjuk rasa) umat Islam berkeliling kota. Cara itu dipilih untuk menunjukkan kebesaran umat Islam sebagai mayoritas yang tidak selayaknya dianaktirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Untuk itu, berbagai persiapan dilakukan secara matang semisal menyediakan berbagai panji atau bendera.
Pada pelaksanaannya, 35.000 kaum Muslimin berkumpul di alun-alun Yogyakarta. Seribu orang di antaranya adalah Pandu Hizbul Wathan yang siap dengan terompet dan genderang untuk menjadi pengawal pawai.
Tak pelak lagi, pawai umat Islam pada 1925 itu sukses besar. Semangat umat Islam tersulut. Mereka bertambah sadar atas posisinya sebagai mayoritas yang harus diperhitungkan.
Setelah pawai, pihak yang menyelenggarakannya diubah sifatnya menjadi badan tetap. Badan itu diberi nama Pengurus Umat Islam.
Setahun berikutnya, pada 1926, dalam rangka peringatan Isra’ Mi’raj, Pengurus Umat Islam mempersiapkan segala sesuatu untuk mengadakan pawai yang lebih besar lagi. Bahkan, kepada umat Islam di kota-kota lain juga diserukan untuk mengadakan pawai yang serupa.
Untuk maksud di atas, pemerintah kolonial Belanda tidak memberi izin. Alasannya, tidak cukup mempunyai polisi untuk menjaga ketertiban dan keamanan.
Atas situasi itu, umat Islam kecewa dan marah. Fachrodin lantas menulis selebaran. Tulisan itu dia sebar ke masyarakat luas dan juga dimuat di majalah yang dipimpinnya, Bintang Islam. Isinya berupa opini dia, berjudul “Kebenaran Itu Tak Boleh Terlarang”.
Intinya, Fachrodin merasa aneh dengan alasan pelarangan pawai itu, yaitu karena kurangnya polisi. Aneh, karena Pengurus Umat Islam telah bersedia menanggung keamanannya. Mereka bersedia dihukum, bahkan dihukum mati sekalipun jika “terjadi apa-apa”. Mereka memastikan untuk bertanggung-jawab dan tidak akan melarikan diri jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Meski ada jaminan, lanjut Fachrodin, pemerintah kolonial Belanda belum berani menanggung keamanannya. Oleh karena itu dia menduga, ada alasan selain soal pengamanan acara.
Selanjutnya, Fachrodin berpendapat, bahwa di manapun kekuasaan yang diperintah oleh pihak yang bukan bangsanya sendiri atau bangsanya sendiri sekalipun tetapi pemerintahan itu tak sejalan dengan aspirasi rakyat maka segenap rakyat pasti akan sampai kepada suatu kebutuhan: Perlu kemerdekaan yang seluas-luasnya.
Terakhir, Fachrodin menutup tulisan dengan harapan. Bahwa, kelak, semua generasi penerus bangsa ini tahu peristiwa ini dan apa yang menyebabkannya. Dia sangat ingin, dengan sejarah yang benar, spirit pembelaan umat Islam kepada agamanya di masa itu diketahui oleh anak cucu kita.
Rasanya, harapan Fachrodin itu terbit dari sebuah kesadaran bahwa, pertama, sejarah itu berulang. Kedua, kita diminta untuk rajin belajar sejarah. Di titik ini, penting kita ulang pendapat Fachrodin yang telah disebut di atas. Bahwa di manapun, jika penyelenggaraan kekuasaan tak sejalan dengan aspirasi rakyatnya maka pasti semua rakyat menghendaki kemerdekaan yang seluas-luasnya.
Demikianlah, sebagian isi tulisan Fachrodin yang-sekali lagi-ditulis dalam bentuk selebaran dan juga dimuat di majalah. Tampak jelas dia sangat tidak menyukai pemerintahan kolonial dan para pejabatnya yang terdiri dari orang kulit putih dan orang-orang pribumi yang menjadi kaki tangannya.
Pernah “Jatuh”
Seperti sang guru: Ahmad Dahlan, Fachrodin sempat juga merasa perlu “istirahat” dari aktivitas dakwah. Hanya saja, problemnya berbeda.
Dulu, Ahmad Dahlan merasa “tak berhasil” dalam berdakwah terkait penolakan ekstrem atas pendapatnya bahwa garis shaf shalat di Masjid Gede Kauman Yogyakarta tidak tepat menghadap Ka’bah dan untuk itu perlu disesuaikan.
Ketika kemudian garis shaf shalat itu dibetulkan di sebuah malam, hebohlah masyarakat terutama unsur Keraton Yogyakarta. Tak lama setelah itu, sebagai reaksi, mushalla Ahmad Dahlan dibakar.
Atas perlakuan itu, Ahmad Dahlan, bersama istri. tanpa pamit ke keluarga besarnya, berangkat ke stasiun kereta api hendak keluar Yogyakarta. Mereka bertekad akan pergi, meski belum jelas hendak kemana.
Pihak keluarga yang mencari Ahmad Dahlan dan istrinya, berhasil menyusul sebelum mereka tiba di stasiun. Pihak keluarga pun berhasil membujuk Ahmad Dahlan untuk mengurungkan keinginan meninggalkan Yogyakarta.
Bagaimana dengan Fachrodin? Suatu ketika Fachrodin merasa terdesak penghidupannya. Terkait itu, dia memohon izin kepada Ahmad Dahlan untuk berhenti sementara waktu dari kegiatan Muhammadiyah. Alasannya, dia ingin berdagang saja guna mencukupi keperluan hidupnya.
“Apa engkau kira setelah meninggalkan Muhammadiyah dan lalu berdagang saja, engkau akan menjadi kaya? Bukankah hanya Allah yang memberi rezeki,” demikian nasihat Ahmad Dahlan.
Atas respon sang guru, Fachrodin malu kepada dirinya sendiri. Alhasil, dia tidak jadi berhenti beraktivitas di Muhammadiyah. Bahkan, dia semakin giat.
Fachrodin terus aktif bermuhammadiyah sambil berdagang. Ternyata, Allah tidak menghentikan rezekinya. Dia sekeluarga hidup berkecukupan. Dengan sikap yang diambilnya itu, di samping mendapat rezeki Allah, Fachrodin-pun tetap berada di jalan dakwah yang insya Allah berlimpah pahala (Djarnawi Hadikusumo, 2014: 10-11).
Pahlawan Nasional
Fachrodin wafat pada 1929. Atas perjuangan dan jasa-jasanya, oleh pemerintah Fachrodin ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Beliau berjasa menggerakkan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan melalui pidato dan tulisannya. Beliau berjasa lewat pengabdiannya kepada bangsa Indonesia lewat penyiaran agama Islam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni