Migrasi Ideologi Muhammadiyah, Sebuah Ancaman oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Salafi Wahabi yang mengaku tidak bermadzhab saja tetap menjadikan Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian disebut Wahabi sebagai imam dalam urusan akidah.
Kepada Syaikh Utsaimin dalam urusan fikih dan kepada Syaikh al-Albani dalam urusan hadits. Kitab Sifat Shalat Nabi tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani bagai kitab suci. Jadi bohong kalau aliran Salafi Wahabi tidak bermadzhab meski mengusung jargon kembali kepada al-Quran dan as-Sunah yang digagas Ibnu Taymiyah dari madzhab Hambali.
Belum ada yang berani katakan bahwa putusan Majelis Tarjih adalah absolut, mengikat, dan haram bagi warga persyarikatan ambil yang lain selagi putusan tarjih tersedia. Kelonggaran inilah yang menyebabkan kehilangan overmacht dan ortodoksi. Bukankah ideologi adalah sesuatu yang harus di indoktrinasi?
NU pun tak kurang lebih sama tapi lebih gentle dan benderang menyebut empat imam dalam urusan fikih, Asy’ariyah dalam urusan akidah dan Imam Al Ghazali dalam urusan tasawuf dengan berbagai varian yang menyertai.
Saya kurang paham apakah bermadzhab dan tidak bermadzhab ini sebatas terminologi, metodologi atau keduanya yang diakidahkan atau sebatas manhaj yang sengaja dilembagakan sehingga melahirkan disparitas akut di kalangan muslimin.
Realitasnya dua pemahaman ini menjadi sebuah diskursus yang sangat menarik bahkan menegangkan. Tapi apa mau dikata, dalam perkembangannya disparitas ini terus menguat dan menemukan bentuknya yang permanen.
Madzhab Kiai Dahlan
MKCHM (Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah), PHIWM (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah), Muqadimah AD ART Muhammadiyah, Kepripadian Muhammadiyah dan Khittah-Khittah Muhammadiyah apakah bisa disebut ideologi keagamaan atau kredo berorganisasi ?
Lantas bagaimana menghubungkan paham keberagamaan Kiai Dahlan dan dinamika keberagamaan di persyarikatan dalam satu kemasan? Kealpaan terbesar adalah menihilkan Kiai Dahlan dalam pikiran, ideologis dan manhaj yang beliau pahami. Lantas ambil yang lain tanpa referensi. Jadi benarkah Kiai Dahlan tidak bermadzhab?
Sayangnya belum ada kajian khusus yang komprehensif yang membahas paham keberagamaan Kiai Dahlan sebagai landasan moral dan etik sehingga melahirkan ideologi yang disepakati sebagai konsensus.
Ideologi Muhammadiyah adalah ruang absurd, terbuka dan bebas dimasuki siapapaun tanpa filter. Sebuah ruang yang belum dijamah sama sekali dan menjadi ruang terbuka untuk diperdebatkan dan direbutkan. Jangan kaget bila kemudian hari ada migrasi ideologi, sebab luput dari perhatian.
Kekosongan inilah yang kemudian melahirkan banyak interest di internal persyarikatan. Sesuatu yang harus dengan jujur dibaca sebagai realitas, ideologi Muhammadiyah seperti permen Nano-Nano banyak warna dan rasa bergantung selera dan kebutuhan.
Migrasi ideologi itu mulai berproses. Sebagian mirip Salafi Wahabi, FPI, HTI atau ideologi tarbiyah lainnya. Atau seperti yang pernah ditelisik Prof Abdul Munir Mulkhan, ada Muhammadiyah ideologi (Muhi), Muhammadiyah nasionalis (Munas) Muhammadiyah NU (Munu) dan seterusnya.
Bukan bermaksud meragukan kerja keras selama ini. Tapi perkembangan terakhir di awal abad 21 cukup signifikan. Apa salahnya kembali melakukan konstruksi ulang atas ideologi Muhammadiyah secara permanen.
Jujur saya katakan, bahasan tentang ideologi Muhammadiyah mengalami kebekuan dan kalah dinamis dibanding laju amal usaha yang terus menggurita. (*)
Editor Sugeng Purwanto