Biografi Singkat KH Ahamd Dahlan oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh Islam.
PWMU.CO – Pada diri KH Ahmad Dahlan melekat banyak kesan kuat. Antara lain: ulama, manusia amal, penyantun, pembelajar, dan suka berdiskusi. Juga, teguh pendirian, pekerja keras, ahli silaturrahim, punya banyak jaringan, dan sabar di semua situasi. Pun, beliau motivator, pencetak kader, dan penggerak.
Ahmad Dahlan ulama, yang di samping berilmu tinggi juga berakhlak mulia. Beliau penggerak karena berhasil membuat sangat banyak orang sependapat dengan dirinya bahwa dengan Muhammadiyah gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar makin efektif.
Lingkungan dan Keluarga
Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus 1868 di Kampung Kauman Yogyakarta. Oleh KH Abu Bakar, ayahnya, sang anak diberi nama Muhammad Darwis.
Di kawasan tempat Darwis lahir berdiri Masjid Gedhe Kesultanan Yogyakarta. Sementara, KH Abu Bakar adalah Imam dan Khatib terkemuka di masjid itu.
Sebagai anak pemuka agama, Ahmad Dahlan tidak eksklusif. Dia tetap suka bermain-main dengan anak-anak yang sebaya dengannya, tanpa memilih-milih. Secara umum, Ahmad Dahlan cakap bersosialisasi dengan anggota masyarakat dari kalangan apapun.
Sebagian besar masa kecil Ahmad Dahlan dihabiskan di Kauman. Ayah dan ibunya memberikan atmosfer luar biasa bagi perkembangan intelektual Ahmad Dahlan.
Setiap sore menjelang mengaji atau selepas mengaji, Ahmad Dahlan kecil biasanya menyempatkan diri bermain-main bersama teman-temannya di halaman Masjid Gedhe Kauman. Mengingat posisi orangtuanya yang punya akses di Keraton Yogyakarta dan juga pemangku agama maka Masjid Gedhe Kauman tak ubahnya seperti rumah kedua bagi Ahmad Dahlan kecil.
Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan di masjid dan sekitarnya. Ahmad Dahlan suka bermain-main di halaman masjid. Maka, dia seperti sudah hafal dengan setiap sudut di Masjid Gedhe Kauman. Misalnya, dalam hal jenis ukiran, warna kayu jati, dan lain-lain. Pendek kata, Ahmad Dahlan seperti kenal luar dan dalam Masjid Gedhe Kauman.
Sebagaimana anak-anak yang lain Ahmad Dahlan kecil menyukai berbagai jenis permainan, semisal layang-layang dan gobak sodor. Hal yang mengesankan, dia selalu bisa mencari jalan keluar jika ada masalah di antara mereka saat bermain atau bergaul. Kala itu, diam-diam Ahmad Dahlan dikukuhkan menjadi semacam ketua kelompok.
Ahmad Dahlan keturunan keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang dari Walisongo (baca: Sembilan Pelopor Perkembangan Agama Islam di Jawa). Sejak masa kanak-kanak Ahmad Dahlan dikenal memiliki perhatian yang besar kepada agama. Dia pandai bergaul dan mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
Belajar, Dialog, dan Tekad
Saat berusia tujuh tahun Ahmad Dahlan belajar di pesantren. Di sana dia tak hanya belajar mengaji, tapi juga pengetahuan agama dan bahasa Arab. Lalu pada 1883, saat berusia 15 tahun, dia berangkat ke Mekkah untuk berhaji sekaligus belajar selama lima tahun. Gurunya senang karena dia tergolong murid yang cerdas dan pandai bergaul.
Kapan nama Muhammad Darwis berubah menjadi Ahmad Dahlan? Alkisah, pada 1888 saat pulang dari pulang haji dari Mekkah, seperti kelaziman di saat itu namanya lalu berganti menjadi Ahmad Dahlan. Dia-pun, diangkat menjadi pegawai Masjid Gedhe Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Khatib Amin.
Ahmad Dahlan ke Tanah Suci lagi pada 1902. Seperti pada kesempatan sebelumnya, kecuali berhaji, di sana dia aktif menambah ilmu dan pengalaman. Di antara yang lebih dia dalami adalah pemikiran-pemikiran pembaharuan dari Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Mereka adalah pemikir dan pembaharu Islam ternama di masa itu.
Di Mekkah dia berguru kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Ulama Besar yang berasal dari Minangkabau. Ada dialog menarik antara ulama pembaharu itu dengan Ahmad Dahlan.
“Pengajaran Islam di Indonesia sudah jauh ketinggalan zaman. Harus diperbarui. Harus dengan cara modern. Agama Islam itu sebenarnya agama kemajuan, bisa sesuai dengan zaman baru,” kata Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
“Itu tepat sekali. Memang banyak hal yang perlu diperbaharui dalam mengajarkan agama Islam,” respon Ahmad Dahlan.
Pada 1904 Ahmad Dahlan kembali ke Indonesia dan tetap aktif memperdalam pengetahuannya. Dia berguru ke ulama-ulama yang terkenal. Misal, dalam ilmu falak dia belajar kepada Syaikh Jamil Jambek di Bukittinggi.
Ahmad Dahlan punya cita-cita pembaharuan dalam penyebaran Islam. Bagi dia, “Kemunduran Islam di Indonesia berasal dari masyarakat sendiri. Ajaran lama masih kuat dianut. Bercampur-baur dengan kepercayaan lainnya, sehingga ajaran Islam yang murni menjadi pudar dan kabur,” kata Ahmad Dahlan.
Media Perjuangan
Pada 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Muhammadiyah berarti umat Nabi Muhammad SAW. Muhammadiyah adalah persyarikatan yang bergerak dalam bidang agama, pendidikan, dan sosial.
Saat Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, beliau sangat terinpirasi oleh ayat ini: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (Ali Imraan 104).
Muhammadiyah bercita-cita mengangkat umat Islam dari keadaan terbelakang. Banyak penganut Islam yang lebih menjunjung tinggi tafsir para ulama daripada Quran dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada al-Quran dan Hadits, harus mempelajari langsung dari sumbernya dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir (Ensiklopedi Muhammadiyah, 2015: 96).
Pada 20 Desember 1912 diajukanlah permohonan kepada “pemerintah” untuk mendapat status badan hukum dan dikabulkan pada 1914. Pada mulanya, Muhammadiyah hanya boleh berkegiatan di Yogyakarta saja. Maka, pada 7 Mei 1921 diajukanlah permohonan izin untuk seluruh Indonesia. Pada 2 September 1921 permohonan itu dikabulkan.
Setelah itu, aktivitas Ahmad Dahlan makin bertambah dan kian terarah. Gerakan di bidang sosial makin diperluas. Balai Kesehatan, Rumah Sakit, Panti Asuhan, sekolah, madrasah, diusahakan untuk terus dibangun dan dibiayai dengan kekuatan sendiri dari dana yang berasal dari zakat, infaq, dan sumber-sumber halal lainnya.
Di saat awal berdirinya Muhammadiyah tak sedikit tantangan yang menghadang Ahmad Dahlan, baik dari kalangan keluarganya sendiri dan dari masyarakat. Muncul berbagai tuduhan dan fitnah seperti sebutan “Kiai palsu” atau “Mengajarkan agama baru”. Namun, semua tantangan itu dihadapi Ahmad Dahlan dengan sabar. Hasilnya, dakwah Muhammadiyah terus berkembang.
Motivator Handal
Ahmad Dahlan pandai memberi semangat dan pencerahan. Suatu ketika, dia berkata: “Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama dengan menyumbangkan jiwamu. Jiwamu tak usah kamu tawarkan. Kalau Tuhan menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu kamu akan mati.
Tapi, beranikah kamu menawarkan harta-bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan pada waktu sekarang ini. Umat Islam dan Muhammadiyah sangat membutuhkan uluran tangan dari demawan Islam untuk memajukan perkembagan umat Islam.”
Jelas, serangkaian kalimat di atas bisa memicu terbitnya ghirah umat Islam. Memang, terutama bagi aktivitas dakwah, ghirah harus selalu dihidup-hidupkan. Maka, lihatlah cara Ahmad Dahlan menggugah orang-orang agar selalu punya semangat dakwah yang tinggi.
Kali ini beliau menggunakan kiasan yang mudah kita mengerti. Bahwa, kata Ahmad Dahlan, “Umat Islam telah merosot moralnya sehingga sudah tak mempunyai keberanian seperti harimau, tapi hanya mempunyai semangat seperti kambing.”
Dalam memimpin, Ahmad Dahlan tak hanya pandai memberi komando, tapi beliau juga langsung terjun ke lapangan. Alhasil, Ahmad Dahlan dikenal sebagai pekerja keras dan tak kenal lelah karena tampak seperti tak pernah beristirahat dalam berdakwah.
Mengingat Ahmad Dahlan sudah membuktikannya lewat performanya yang tak kenal lelah berdakwah, maka sah saja saat dia menasihati orang-orang yang dipimpinnya dengan sindiran tapi bergaya jenaka berikut ini.
“Jika kamu berhalangan untuk bertabligh, janganlah permisi kepadaku. Tapi, permisilah kepada Tuhan dengan mengemukakan alasanmu. Setelah itu, kamu (harus) bertanggung-jawab atas perbuatanmu,” kata Ahmad Dahlan.
Jalan Ikhlas
KH Ahmad Dahlan meninggal pada 23 Februari 1923. Pemakamannya mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat dan pemerintah. Kala itu, sekolah-sekolah–baik negeri maupun swasta–diliburkan. Utusan dari cabang-cabang Muhammadiuah di Jawa datang. Sementara, yang dari luar Jawa–karena kesulitan transportasi–mengirimkan telegram dukacita. Sejumlah pemimpin pergerakan nasional lainnya juga hadir, antara lain Ki Hajar Dewantara.
Di sepanjang jalan yang dilalui jenazah, berduyun-duyun masyarakat memberikan penghormatan yang terakhir. Mereka sedih karena ditinggal oleh seseorang yang menjadikan aktivitas dakwah sebagai kesehariannya. Mereka berduka karena berpisah dengan seseorang yang tak mengenal istirahat dan apalagi cuti dalam menyampaikan tabligh.
Terkait KH Ahmad Dahlan, “Inilah manusia yang sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Demikian, kata Presiden Soekarno saat memberikan gelar Pahlawan Nasional pada 1961 kepada pendiri Muhammadiyah itu.
Soekarno berhak dan punya kapasitas memberikan penilaian seperti di atas karena beliau kenal dan pernah menimba ilmu secara langsung dari Ahmad Dahlan saat bersekolah di Surabaya. Dia merasakan keikhlasan pada diri Ahmad Dahlan.
Kader-Kader Cemerlang
Ahmad Dahlan telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Menyusul setelah itu, sejumlah orang dekatnya termasuk santri, sahabat, dan kadernya juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Mereka, seperti Fachrodin, Mas Mansur, dan Jenderal Soedirman. Ada lagi Pahlawan Nasional, yaitu Siti Walidah (istri Ahmad Dahlan) dan Hamka.
Kader Ahmad Dahlan dengan capaian prestasi berskala nasional banyak. Bahkan, ada yang masuk sebagai bagian dari pendiri dari republik ini karena perannya di BPUPKI dan/atau PPKI. Mereka adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan KH Kahar Muzzakir.
Ahmad Dahlan juga banyak melahirkan pemimpin yang tangguh, yang mampu meneruskan perjuangan Muhammadiyah. Mereka antara lain adalah Ibrahim (ipar Ahmad Dahlan, Ketua Umum Muhammadiyah yang kedua – setelah Ahmad Dahlan).
Ada Hisyam (murid Ahmad Dahlan, Ketua Umum Muhammadiyah yang ketiga). Ada Mas Mansur (sering mengikuti Ahmad Dahlan dalam tabligh di Surabaya dan pendiri Muhammadiyah di Surabaya, Ketua Umum Muhammadiyah yang keempat).
Kader-kader Ahmad Dahlan, masih banyak. Perlu disebut lagi karena terkait dengan posisinya sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, yaitu Ki Bagus Hadikusomo (santri Ahmad Dahlan dan pada 1922 menjadi Ketua Majelis Tabligh, serta belakangan menjadi Ketua Umum Muhammadiyah kelima).
Ada Sutan Mansyur (murid Ahmad Dahlan, Ketua Umum Muhammadiyah keenam). Ada M. Yunus Anis (murid Sekolah Rakyat Muhammadiyah, Ketua Umum Muhammadiyah ketujuh). Ada Ahmad Badawi (keponakan Ahmad Dahlan, Ketua Umum Muhammadiyah kedelapan).
Respon Kita?
KH Ahmad Dahlan meninggal dalam usia relatif muda, menjelang 55 tahun. Usia seperti itu terbilang relatif pendek. Meski begitu, amal kepejuangan yang ditoreh Ahmad Dahlan bernilai sangat panjang. Beliau berjuang keras agar nilai-nilai Islam yang sejati bisa diamalkan oleh segenap penganutnya.
Terakhir, mari menunduk. Mari respon tantangan sang penggerak KH Ahmad Dahlan ini: “Tidak mungkin Islam lenyap dari seluruh dunia, tapi tidak mustahil hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggung-jawab?” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 39 Tahun XXV, 2 Juli 2021/21 Dzulqaidah 1442.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.