PWMU.CO – Puisi siswa Berlian School yang Menguras Air Mata. Puisi ungkapan terima kasih yang disampaikan Muhammad Hilman Hidayatullah mampu membuat ratusan pasang mata hadirin menitikkan air mata. Emosi mereka seakan diaduk, meski Wisuda VII ini digelar secara virtual, Rabu (30/6/21).
Sajian Kaleidoskop Jelang Suasana Haru
Sebelum Mido—sapaan akrab wisudawan Berlian School itu—mempersembahkan ucapan terima kasihnya yang puitis kepada sekolah, guru, ‘orangtua’, dan teman seperjuangannya; 109 wisudawan lainnya yang didampingi orangtua masing-masing masih menunjukkan wajah berseri-seri.
Bagaimana tidak, video kaleidoskop tersaji di layar Zoom Cloud Meeting di hadapan mereka. Lima puluh foto dan 7 video sambung-menyambung, merangkum jejak perjalanan mereka selama belajar di Berlian School alias SD Muhammadiyah 2 GKB.
Tampilan wajah mereka yang bermasker maupun tidak, menandai waktu pengambilan foto: proses belajar sebelum dan sesudah pandemi Covid-19.
Sesekali mereka tertawa sambil menunjuk layar ketika melihat dirinya tampil di salah satu foto dan video itu. Salah satunya, Fachri Ahmad Darel—dari kelas VI Thariq bin Ziyad—bersama ibundanya. Ada pula yang tak tahan tersenyum, lalu menutup wajah dengan tangannya. Dialah Arza Kria Onita, wisudawati dari kelas yang sama.
Membuka Persembahan
Sinar wajah berseri-seri itu masih tampak di wajah wisudawan saat pembawa acara mempersilakan Mido naik ke panggung. Sementara itu, Mido berjalan perlahan dengan pandangan fokus ke panggung di hadapannya.
Mido mengenakan setelan toga berwarna biru dengan kombinasi merah, lengkap dengan topinya. Dia melangkah tegap dengan memakai sepatu hitam bergaris putih. Tangan kanannya menggenggam erat beberapa cue card.
Tiba di panggung, Mido berdiri tegap kemudian menyampaikan salam dengan ketenangannya yang khas. Tak lupa, dia memperkenalkan diri. “Saya Muhammad Hilman Hidayatullah, teman-teman memanggil saya Mido. Saya dari kelas VI Shalahuddin Al Ayyubi,” ujarnya di atas panggung berkarpet merah itu.
“Saya, mewakili teman-teman saya yang wisuda hari ini, akan menyampaikan persembahan khusus untuk Berlian School, sekolah kami tercinta, yang telah menemani kami selama enam tahun ini,” buka Mido.
Alunan musik sedu mulai mengalun. Selang beberapa detik, Mido menegaskan, SD Muhammadiyah 2 GKB bukan sekadar tempat belajar. “Berlian School adalah rumah tempat menulis cita dan meraihnya,” ungkap siswa kelahiran Surabaya, 24 Agustus 2008 itu. Ratusan pasang mata fokus menatapnya dari layar gadget masing-masing.
Ungkapan Rindu Sekolah dan Terima Kasih Guru
Mido menyampaikan kerinduannya bersekolah lewat bait-bait puisinya. Dia mengajak wisudawan yang hadir untuk mengingat kenangan perjalanan mereka dalam menuntut ilmu bersama.
Sambil melangkah ke depan, Mido mulai menyampaikan puisinya dengan gaya bercerita. “Berjalan di lorong waktu, tampak kenangan selama menuntut ilmu. Tak hanya canda tawa, bukan pula belajar semata.”
Kemudian, dia menggiring para wisudawan untuk mengingat lebih jauh, gambaran kedekatan dan kenyamanan dengan teman dan ustadz-ustdadzah. Yaitu saat mereka pernah menangis dan bersikap manja kepada ustadz-ustdzahnya.
Dia melangkah ke kiri perlahan, lalu lanjut membaca, “Ingatkah kawan? Di antara kita ada yang pernah menangis manja, merengek memeluk erat ustadz-ustadzah, saling menjaili teman, kemudian tertawa bersama.”
Mido pun mengulas lebih jauh memori saat di sekolah. “Rindu kah kawan? Bermain sepak bola saat istirahat, masuk kelas membawa keringat, lalu bersama habiskan bekal makan.”
Meski seolah menatap Mido di pusat layar, para wisudawan tampak terbawa pada imaji kenangan selama bersekolah di Berlian School.
Mido pun menekankan kerinduannya, “Merindukan kisah itu, pastilah hampiriku dan kita semua.”
“Tak ada alasan untuk tidak sampaikan, terima kasih ustadz dan ustadzah atas makna kehidupan,” Suara Mido semakin pelan dan penuh penekanan, mengisyaratkan apa yang dia sampaikan memiliki makna mendalam.
Mido bersungguh-sungguh ingin menyampaikan terima kasih atas beragam nilai kehidupan yang dia dapat dari ustadz-ustdadzah di Berlian School.
“Kedisiplinan, mandiri, dan keberanian menjadi teladan hidup tak terlupakan,” ungkapnya.
Ungkapan Terima Kasih untuk ‘Ayah Bunda’
Buru-buru dia membaca bait selanjutnya. “Sosok hebat yang selalu melekat, bayang wajah dan suara lembut nasihat ….” ungkapnya, selang beberapa detik kemudian dia terdiam.
Dia berusaha mengumpulkan tenaga untuk membaca bait selanjutnya, yaitu ucapan terima kasih untuk kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Maka, hanya terdengar alunan instrumen lagu sedih yang mengalun lirih itu, membuat suasana semakin syahdu.
Mido akhirnya mampu melanjutkan sepenggal puisinya, “Dan mendalam cinta …. “
Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha melanjutkan dengan suara mulai bergetar, “Terima kasih Ayah Ibu, terima kasih keluarga.” Air matanya menetes. “Terima kasih atas pendampingan dan doa-doamu,” Suaranya terus bergetar. Beberapa hadirin tampak sama, matanya mulai berkaca-kaca.
“Meskipun aku tak tahu bagaimana bahagianya belajar bersamamu …. ” sambungnya.
“Meskipun bagiku kesempatan belajar bersamamu adalah ingin yang teramat jauh, berwujud doa dan harapan surga, wahai Ayah/Bundaku,” Mido semakin terbawa pada puisi yang dia baca dan hafal itu. Pecah, isaknya semakin tidak tertahan.
Ungkapan Terima Kasih untuk Keluarga
Tantenya yang selama ini hadir sebagai sosok ibunya pun tak kuasa menangis. Dia beberapa kali mengusap air mata dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya bertahan merekam penampilan Mido dengan telepon genggamnya.
Begitu pula dengan wisudawan, orangtua, maupun para guru. Mereka tidak lagi dapat membendung air mata yang sudah menggantung di pelupuk mata. Ditumpahkan keharuan itu hingga air mata membasahi pipi dan masker mereka.
Suasana itu terlihat berat, tapi Mido masih berdiri dan memcoba melanjutkan persembahannya. Meski sesekali, ia menyeka air mata yang mengalir di pipi, di balik maskernya.
Lanjut dengan agak terbata-bata dan menahan isak tangis, Mido mengucap terima kasih untuk keluarga, khususnya kepada kakek dan tantenya yang turut hadir mendampinginya di sana. Merekalah sosok yang berdiri tegap dan siap menjadi wakil dari orangtua Mido yang telah berada di sisi Illahi.
“Allah, terima kasih telah engkau hadirkan cinta ayah bunda
dari hati kakek, nenek, om dan tante terkasih,” lanjutnya.
Puisi untuk Teman Seperjuangan
Mido melanjutkan membaca bait puisi untuk kawan-kawan seperjuangannya selama menempuh pendidikan enam tahun di Berlian School. Dia mengimbau agar saling berterima kasih. “Sebuah ruang yang menyenangkan ini kawan, kita tutup dengan saling berterima kasih,” ujarnya.
Tak lupa, Mido menyampaikan doa untuk mereka. “Enam tahun berbagi dan berkawan, semoga cita dan harapan dapat kita raih,” harapnya.
Isi Lengkap Puisi Yatim Piatu
Ungkapan Terima Kasih
Berjalan di lorong waktu
tampak kenangan selama menuntut ilmu
tak hanya canda tawa
bukan pula belajar semata
Ingatkah kawan?
di antara kita ada yang pernah menangis manja
merengek memeluk erat ustadz-ustadzah
saling menjaili teman, kemudian tertawa bersama
Rindu kah kawan?
bermain sepak bola saat istirahat
masuk kelas membawa keringat
lalu bersama habiskan bekal makan
Merindukan kisah itu
pastilah hampiriku dan kita semua
tak ada alasan untuk tidak sampaikan
terima kasih ustadz-ustadzah atas makna kehidupan
Kedisiplinan, mandiri, dan keberanian
menjadi teladan hidup tak terlupakan
sosok hebat yang selalu melekat
bayang wajah dan suara lembut nasihat
Meskipun bagiku
kesempatan belajar bersamamu
adalah ingin yang teramat jauh
berwujud doa dan harapan surga, wahai Ayah/Bundaku
Allah
terima kasih
telah engkau hadirkan cinta ayah/bunda
dari hati kakek, nenek, om dan tante terkasih
Sebuah ruang yang menyenangkan ini kawan
Kita tutup dengan saling berterima kasih
6 tahun berbagi dan berkawan
Semoga cita dan harapan dapat kita raih. (*)
Puisi Yatim Piatu yang Menguras Air Mata: Penulis Fatma Hajar Islamiyah ditor Ichwan Arif