Nasionalisme Sepak Bola oleh Dhimam Abror Djuraid, Pembina Hizbul Wathan FC, Liga 2 PSSI.
PWMU.CO– Anda yang menyaksikan pertandingan Euro 2020 akan melihat luapan semangat yang luar biasa dari suporter tuan rumah. Hungaria menjadi satu-satunya tuan rumah yang mengizinkan pertandingan ditonton oleh suporter yang diperbolehkan memasuki stadion dengan kapasitas 100 persen penuh.
Nasionalisme sepak bola terlihat di sepanjang perhelatan. Di mana-mana di setiap pertandingan di setiap stadion aura nasionalisme terpancar kuat. Tapi, tidak seperti di Hungaria. Arthur Koestler, lahir di Budapest, pernah tinggal di beberapa negara dan menulis dalam beberapa bahasa asing. Ia pernah berkata ada nasionalisme dan ada nasionalisme sepak bola.
Koestler kemudian menjadi warga negara Inggris yang bangga dan loyal, tetap menjadi seorang nasionalis sepak bola Hungaria seumur hidup. Perasaan yang lahir teramat kuat. Terpateri sangat kuat dan melekat seumur hidupnya.
Sulit bagi warga non-Eropa untuk memahami emosi yang terbangun ketika negara-negara bersaing untuk kejuaraan sepak bola Eropa yang diadakan setiap empat tahun. Selama beberapa pekan musim panas ini, stadion-stadion di Austria dan Swiss, belum lagi jalan-jalan di ibu kota negara-negara Eropa dari Madrid hingga Moskow, dipenuhi oleh bendera negara yang melambai-lambai, melantunkan lagu kebangsaan, tabuhan drum yang menggelorakan patriotisme.
Kemenangan Spanyol adalah salah satu kesempatan langka Catalonia, Castilians, Basque dan Andalusia meluapkan ledakan kegembiraan patriotik. Meskipun saat ini kesebelasan Spanyol tidak diperkuat oleh satu pemain Real Madrid, tapi hal itu tidak mengurangi luapan kebanggaan nasional Spanyol ketika menang dramatis 5-3 atas Kroasia.
Kemudian Matador bisa mengatasi Swiss melalui adu penalti untuk lolos ke semi final.
Perang Sepak Bola
Ian Buruma dalam kolom Europe’s Soccer Nationalism di The Globe and Mail mengatakan, sepak bola, lebih dari sekadar olahraga, ia perlambang tribalisme: usaha kolektif, warna tim, kecepatan, serangan fisik. Seperti yang pernah dikatakan pelatih sepak bola Belanda, ”Sepak bola adalah perang.”
Agak mengerikan. Seharusnya tidak begitu. Setelah dua kali perang dunia, gambaran semangat nasional menjadi kurang tabu di Eropa. Nasionalisme disalahkan karena hampir menghancurkan Benua Biru ini dua kali sepanjang abad ke-20.
Perang Eropa yang disulut oleh Napoleon Bonaparte dari Prancis dan Adolf Hitler dari Jerman berniat menyatukan Eropa, tapi ternyata malah mencabik-cabiknya berkeping-keping. Tapi, ritual penghancuran itu selalu muncul mencari pelampiasan setiap empat tahun sekali di stadion-stadion Eropa yang menggantikan palagan perang.
Jenis patriotisme ini terpuji, terutama ketika dikombinasikan dengan kebanggaan seorang prajurit. Rasa kebanggaan nasional semacam itu wajar di Amerika Serikat. Tapi, di Eropa selalu dikaitkan dengan pembantaian massal, karena sejarah masa lalu memang menceritakan begitu.
Orang Inggris yang melarikan diri dari pendudukan musuh, masih percaya bahwa mereka memenangkan Perang Dunia Kedua sendirian—tentu saja dengan ’sedikit bantuan’ dari Yankee, pasukan Amerika Serikat–masih memiliki kesiapan berperang. Mereka luar biasa. Oleh karena itu, bisa jadi perilaku agresif dan hooliganisme para penggemar sepak bola Inggris berasal dari sana.
Namun, saat rasa nasionalisme diredam oleh budaya masyarakat Eropa yang berbudaya, stadion sepak bola tetap keras kepala di dunia pra-Perang Dunia Kedua. Sama halnya dengan glorifikasi aksi pembunuhan yang terus dirayakan dalam bentuk ritual para matador melawan banteng di Spanyol. Sampai sekarang perasaan tersebut tercurahkan dalam arena sepak bola.
Perasaan layaknya kemeriahan pesta, karnaval di Euro 2020. Sesungguhnya mereka memiliki sesuatu yang lebih gelap, lebih agresif, terutama ketika pertandingan yang dipenuhi syarat memori historis.
Misalnya pertandingan antara Belanda dan Jerman atau Jerman dan Polandia, cenderung menjadi pengulangan perang, baik sebagai tayangan ulang kekalahan melankolis atau sebagai balas dendam masa lalu.
Ketika Belanda mengalahkan Jerman di semi final kejuaran Eropa 1988, seolah-olah keadilan akhirnya ditegakkan. Lebih banyak orang Belanda muncul di jalan-jalan di Amsterdam untuk merayakannya dibandingkan ketika negara itu dibebaskan pada bulan Mei 1945.
Kebanggaan rasa Jerman dianggap menjadi sangat beracun setelah Hitler Reich mengibarkan bendera Jerman. Sampai saat ini ada rasa malu yang terpendam di kalangan suporter Jerman tiap kali mendukung Der Panzer menghadapi lawan-lawannya sesama negara Eropa.
Namun, orang Jerman tidak mampu sepenuhnya menekan perasaan seperti itu. Orang Jerman yang lebih tua masih mengingat kemenangan mereka yang terkenal atas tim Hungaria yang luar biasa pada tahun 1954.
Ini adalah pertama kalinya sejak kekalahan mereka di masa perang, yang membuat Jerman merasa bangga dengan diri mereka sendiri. Inilah kemenangan yang bisa mereka rayakan. Setelah bertahun-tahun merasa bersalah dan kehilangan, kini orang Jerman telah kembali.
Keragaman Etnis
Seperti yang lainnya, bentuk patriotisme berubah seiring waktu. Alasan kebanggaan nasional beragam. Ketika Prancis memenangkan Piala Dunia 1998, Perancis menunjukkan adonan multi etnis dari tim mereka.
Bintang utama mereka, Zinedine Zidane, adalah keturunan Aljazair. Pemain lainnya memiliki darah dari berbagai bagian Afrika. Keragaman etnis dari juara 1998 secara luas disebut-sebut sebagai tanda pluralitas dan superioritas nasional yang lahir dari toleransi Pencerahan Prancis dan persaudaraan Revolusi Prancis, Liberté, Egalité, Fraternité.
Kenyataannya, Prancis belum sepenuhnya seperti itu. Untuk sesuatu yang lebih mendalam sedang berubah di Eropa, perlahan, menyakitkan, tetapi pasti. Jika keragaman etnis lebih banyak dan lebih umum di tim nasional, itu tidak berlaku di klub.
Mesut Ozil mundur dengan pahit dari timnas karena merasa didiskriminasi. Garis keturunannya sebagai imigran Turki ternyata masih dipersoalkan.
Klub sering digunakan untuk melanggengkan tribalisme, etnis, atau agama, tergantung pada lokasi mereka di kota-kota industri besar. Misalnya, klub Irlandia lawan klub Yahudi di London, Protestan lawan Katolik di Glasgow.
Siapa yang akan meramalkan 30 tahun lalu bahwa para penggemar sepak bola Inggris akan bersorak untuk tim London yang penuh dengan orang Afrika, Amerika Latin dan Spanyol, yang dilatih oleh seorang Prancis? Atau tim nasional Inggris akan dilatih oleh orang Italia? Orang Swedia?
Tetapi keragaman etnis dan budaya tidak mengubah wajah sepak bola Eropa. Belum pernah ada keselarasan seperti itu di antara pendukung negara-negara yang berbeda seperti kejuaran tahun ini. Namun semangat karnaval, terlihat dari berdampingannya bendera Turki dan Jerman di jalanan Jerman.
Nasionalisme masih tetap hidup, bahkan ketika semangat Eropa baru telah lahir. Tetapi paling tidak, identitas nasional Eropa tidak lagi begitu diwarnai oleh ingatan perang. Ketika Inggris mengalahkan Jerman, generasi suporter milenial Inggris tidak mengaitkannya dengan D-Day dan pendaratan Normandia.
Ketika tim-tim raksasa bertumbangan, sekarang saatnya muncul kekuatan-kekuatan baru yang sebelumnya tidak dijagokan. Euro 2020 akan menjadi momentum penting nasionalisme baru Eropa.
Mungkin, juara baru akan lahir, dan generasi suporter baru akan menyambutnya dengan gegap gempita, tanpa mengaitkannya dengan sejarah masa silam. (*)
Editor Sugeng Purwanto