Zakat saham menurut pemikir Islam Syekh Yusuf Qardhawi, opini Ainol Yakin SM, mahasiswa Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya.
PWMU.CO – Seiring perkembangan zaman, berkembang pula pemikiran para tokoh Islam dalam memahami permasalahan ekonomi, terutama pengenaan zakat dan objek zakat. Zakat merupakan ajaran yang melandasi tumbuh kembangnya sebuah kekuatan ekonomi umat Islam.
Dilaksanakan berdasarkan petunjuk Allah SWT, sehingga tujuan pokok pelaksanaan zakat adalah untuk mendekatkan diri kepada Ttuhan yang Maha Esa, beriman, dan ikhlas beramal dalam usaha beribadah kepada Tuhan.
Zakat juga meningkatkan hasrat produksi modern bagi keperluan hidup, melancarkan jalan distribusi dan memberi stabilitas konsumsi dalam kehidupan masyarakat, tanpa ada jurang pemisah antara kaya dan miskin.
Yusuf Qardhawi sangat menekankan tentang peran pentingnya ijtihad pada masa sekarang. Sehingga sering menyerukan untuk melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah yang dianggap perlu di lakukannya ijtihad, seperti halnya mengenai masalah saham.
Dalam hal zakat saham, Yusuf Qardhawi menggunakan ijtihad insya’i yaitu mengambil konklusi hukum baru dari suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu.
Kewajiban Zakat pada Saham Perusahaan
Zakat saham sebenarnya mulai dikenal pada zaman modern akhir. Saham dianggap sebagai harta kekayaan yang wajib dizakati karena memiliki nilai ekonomi. Selain itu saham merupakan harta yang dapat memberikan pemasukan yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pertanian dan perdagangan.
Saham dapat dikeluarkan zakatnya apabila telah diketahui jenis perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut. Apakah perusahaan tersebut merupakan perusahaan industri, perdagangan, atau kombinasi dari keduanya. Saham dihitung berdasarkan harga sekarang dengan melakukan pemotongan dari harga gedung serta peralatan yang dimiliki oleh perusahaan.
Saham dianggap sebagai bagian prosentatif dari modal usaha, oleh sebab itu harus dikeluarkan zakatnya oleh para pemegang saham masing-masing. Namun, pihak perusahaan bisa mengeluarkan zakatnya sebagai perwakilan mereka kalau itu ditegaskan dalam peraturan dasar mereka, atau juga bisa diserahkan kepada para pemilik saham untuk dikeluarkan zakatnya.
Menurut Syekh Abdul Rahman dalam bukunya-Muamalah al-Hadithah wa Ahkamuha, bangunan, kendaraan, dan sebagainya tidaklah wajib zakat, baik atas modal maupun keuntungan sekaligus sebagaimana harta perdagangan maupun atas pendapatan dan pemasukannya saja seperti hasil pertanian.
Kecuali apabila masih ada sisa dan mencapai satu tahun. Atas dasar ini maka beliau membedakan perusahaan perindustrian yang tidak melakukan kegiatan perdagangan dengan perusahaan lainnya.
Pendapat Yusud Qardhawi
Berbeda dengan Yusuf Qardhawi, dia menyebut ketentuan seperti ini jelas bertentangan dengan keadilan hukum syariat, karena syariat tidak membedakan dua hal yang sama. Di mana saham yang dikeluarkan dari perusahaan industri murni tidak ada kewajiban zakat selamanya, baik atas saham maupun atas keuntungan yang didapatkan.
Sedangkan saham yang dikeluarkan dari perusahaan perdagangan ataupun gabungan dari industri-perdagangan maka akan terkena kewajiban zakat setiap tahun, baik atas saham maupun keuntungan dari saham tersebut.
Membedakan perusahaan industri atau semi industri dengan perusahaan perdagangan atau semi perdagangan, di mana yang pertama dibebaskan dari kewajiban zakat, sedangkan yang kedua dikenakan wajib zakat, menurutnya ini perbedaan yang tidak berdasar pada al-Quran, hadis, ijmak’, dan qiyas yang benar.
Di dalam zakat banyak perbedaan pandangan seperti golongan Syafi’iyah, Hanafiah, dan Malikikah mewajibkan pungutan zakat pada uang kertas dan suat-surat berharga lainnya. Karena uang kertas dan surat-surat berharga lainnya disamakan dengan emas dan perak yang memiliki fungsi sama sebagai alat tukar-menukar barang. Sedangkan menurut Hanabilah, barang-barang tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya karena bukan emas dan perak.
Adapun pendapat Yusuf Qardhawi bahwa barang yang wajib dizakati adalah barang yang berkembang dan dapat menghasilkan pemasukan sehingga saham menurutnya termasuk sumber zakat, karena pabrik dan gedung dapat dianalogikan dengan tanah pertanian, maka harus di keluarkan zakatnya 10 persen atau 5 persen dari pendapatan bersih.
Zakat Saham Menurut Yusuf Qardhawi
Menurut Yusuf Qardhawi, tidak ada landasan yang mengatakan bahwa saham yang dikeluarkan dari perusahaan dagang diwajibkan zakat, sedangkan yang dikeluarkan perusahaan industri tidak wajib zakat.
Karena keduanya tersebut sama-sama merupakan modal yang tumbuh dan berkembang yang memberikan keuntungan setiap tahun yang terus mengalir. Bahkan perusahaan industri bisa jadi memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Pemikiran Yusuf Qardhawi jika diambil dari pendapat yang melihat saham sesuai dengan jenis perusahaan dagangnya, yang mana saham merupakan bagian dari modal perusahaan, maka ia cenderung menyamakan perusahaan-perusahaan itu dari jenis apa pun layaknya individu-individu.
Perusahaan-perusahaan industri maupun semi industri yang dimaksudkan adalah perusahaan-perusahaan yang modalnya yang terletak dalam perlengkapan, alat-alat, gedung-gedung, dan perabot, seperti percetakan bank, hotel, kendaraan angkutan, taksi, dan lain-lain, zakatnya tidak diambil dari saham-sahamnya, namun diambil dari keuntungan bersihnya sebesar 10 persen.
Berbeda lagi dengan perusahaan perdagangan, yaitu perusahaan yang kebanyakan modalnya terletak dalam bentuk barang yang diperjual belikan dan materinya tidak tetap, maka dari itu zakatnya di ambil dari sahamnya, sesuai dengan yang berlaku di pasar di tambah dengan keuntungannya.
Oleh karena itu zakatnya 2,5 persen setelah dari nilai peralatan yang masuk dalam saham dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan pemikiran Yusuf Qardhawi mengenai harta perdagangan yaitu, bahwa zakatnya wajib atas modal yang bergerak. Perlakuan terhadap perusahaan-perusahaan dagang ini sama dengan perlakuan terhadap toko-toko yang dimiliki perorangan.
Pendapat Lumrah Zakat Saham Menurut Qardhawi
Jika ditilik lebih dalam, pendapat Qardhawi sangat lumrah, karena jika kita menjumpai harta dalam bentuk harta tersebut adalah tidak berjalan, maka untuk menyerahkan zakat harta itu akan menjadi sulit. Hal tersebut disebabkan harta tidak berjalan.
Berbeda dengan harta berjalan seperti uang, emas, dan lain sebagainya, maka bisa untuk dizakati, namun dengan cara menghitung pendapatan bersih atau keuntungan dari total harta tersebut. Lain halnya dengan uang atau emas, maka yang dizakati itu langsung berupa uang atau emas, Jadi perbedaan pendapat yang menimbulkan simpang siur telah di jelaskan dalam pemikiran Yusuf Qardhawi mengenai zakat.
Dalam konteks masalah zakat saham, masih banyak kekhawatiran yang terjadi di masyarakat akibat pembagian ataupun pembayaran zakat yang tidak sesuai dengan takaran dan ketentuan. Untuk hal penyalurannya sendiri pun juga dibilang masih banyak yang belum sesuai.
Dalam menyalurkan zakat ada beberapa golongan yang berhak menerima zakat, namun dari golongan tersebut banyak yang tidak bertanggungjawab dengan cara memosisikan diri untuk berhak menerima, atau membiarkan harta zakat tersebut jatuh ke tangan yang salah.
Dari problematik tersebut, pemilik harta harus mampu bertanggung jawab terhadap harta yang dimiliki, dan kepedulian terhadap orang lain dengan menyalurkan harta guna mensucikan harta.(*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.