Jenderal Franco, Diktator Bola oleh Dhimam Abror Djuraid, Pembina Hizbul Wathan FC, Liga 2 PSSI.
PWMU.CO– Spanyol pernah mengalami masa-masa kepemimpinan diktator Franco yang kelam. Pada masa itu, sepak bola menjadi bagian dari komoditas politik di antara faksi-faksi yang berseteru.
Persaingan antara Barcelona FC yang mewakili kekuatan Katalan, dan Real Madrid yang mewakili kekuatan ibukota menjadi persaingan politik yang terbawa ke lapangan sepak bola.
Tidak hanya di dalam negeri, sampai ke kancah Eropa pun persaingan sepak bola menjadi persaingan politik yang panas.
Jenderal Francisco Franco adalah pendukung kuat Real Madrid. Dan dia selalu memastikan bahwa Real Madrid selalu mempertahankan supremasinya di dalam negeri maupun di level Eropa.
Di era Franco, gelar juara yang didapat Real Madrid di Liga Champions selalu saja menuai kontroversi.
Pertandingan sepak bola menjadi ajang pertaruhan gengsi politik tingkat tinggi. Pada Final Liga Champions 1956-57, Real Madrid menghadapi klub asal Italia, Fiorentina.
Bertanding di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid kesulitan untuk menembus pertahanan Fiorentina. Sebuah insiden terjadi pada menit ke-69.
Dalam sebuah serangan ke daerah pertahanan Fiorentina, asisten wasit mengangkat bendera tanda offside ketika pemain Madrid, Enrique Mateos, dilanggar pemain Fiorentina di dalam kotak penalti.
Namun, wasit asal Belanda Leo Horn mengabaikan tanda dari hakim garis tersebut. Ia malah menunjuk titik putih, penalti untuk Real Madrid.
Albert Di Stefano, bintang Real mengeksekusi penalti. Akhirnya membawa Real Madrid unggul. Kemenangan kemudian digenapkan Gento pada menit ke-75. Real Madrid menjadi penguasa Eropa untuk kali kedua.
Bola dan Politik
Sejak La Liga dimulai pada 1929 hingga kematian Jenderal Franco pada 1975, Real Madrid telah mengoleksi 16 gelar juara. Sementara Barcelona sembilan kali juara. Gelar terbanyak Madrid diperoleh pada medio 1953 hingga 1975 dengan raihan 16 kali juara. Atau 80 persen gelar La Liga yang diraih Real Madrid berada pada era tersebut.
Di awal kekuasaannya, Jenderal Franco tidak begitu tertarik terhadap sepak bola. Perhatiannya terpusat ketika Spanyol mulai membangun kembali kondisi finansial negaranya pada era 1950-an.
Franco mulai menyadari bahwa sepak bola dapat menarik massa yang besar. Terlebih pada saat itu sudah mulai digunakan teknologi siaran televisi di Eropa. Sehingga partai Final Liga Champions dapat disaksikan tidak hanya di Spanyol, tapi juga di Eropa.
Kesuksesan Real Madrid di bawah kekuasaan Jenderal Franco juga berakibat pada prestasi mereka di Eropa. Dengan sejumlah pemain top, Madrid lima kali secara berturut-turut menguasai Eropa.
Raihan gelar ke-10, La Decima bagi Real Madrid pada 2014 menjadi tonggak kebanggaan tersendiri.
Peran Jenderal Franco mau tidak mau tetap tercatat dalam sejarah Madrid, dan hal itu menjadi luka tersendiri bagi Barcelona.
Jenderal Franco sejatinya penggemar Athletic Bilbao. Real Madrid hanyalah sebuah alat untuk melanggengkan kebijakan-kebijakan politik Franco. Dengan perhatian-perhatian politiknya, Franco bisa menciptakan suatu iklim yang membuat Madrid menjadi besar.
Sudah jadi kecenderungan, diktator akan selalu memusatkan sumber daya mereka di ibukota. Baik itu resource berupa polisi, militer, dan alat birokrasi. Ini juga berlaku bagi Atletico Madrid yang mendapatkan perhatian serupa.
Setelah hancur karena perang saudara, Spanyol malah dikucilkan sehingga menjadi negara miskin. Pertengahan dekade 50-an, Franco mulai melunak untuk membuka bantuan internasional.
Franco butuh alat untuk mencitra bahwa negaranya baik-baik saja dan setara dengan negara-negara Eropa lainnya. Dan tugas itu dibebankan pada Real Madrid.
Lewat Real Madrid, Spanyol disulap menjadi sebuah negara yang memiliki tim sepakbola hebat. Pada masa itu, hubungan Franco dan Madrid begitu erat.
Ia menggelontorkan dana segar agar mereka bisa mendatangkan pemain-pemain top seperti Raymond Kopa, Ferench Puskas, hingga Alfredo Di Stefano. Ia pun tak pernah absen hadir saat Madrid bertanding di Bernabeu.
Televisi juga digunakan sebagai media propaganda agar seluruh Spanyol bangga atas identitas Real Madrid. Bersama Franco, Madrid menyabet gelar Piala Champions hingga lima kali berturut-turut.
Sejarah yang Tak akan Pernah Terulang.
Tapi Franco tetaplah bukan fans Real Madrid. Ia hanya membuat Madrid sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Setelah Franco tiada, prestasi Real Madrid di Liga Champions pun nihil. Mereka baru juara 32 tahun kemudian atau pada gelaran Liga Champions musim 1997/1998.
Barcelona menolak lupa atas kediktatoran Francisco Franco. Mereka melakukan kampanye agar medali juara yang pernah diberikan supaya ditarik dan dilucuti. Barcelona menggelar pemungutan suara untuk memutuskan perlucutan gelar-gelar itu.
Jenderal Franco membawa jejak kelam dalam sejarah Barcelona. Ia menciptakan perang sipil di Barcelona pada periode 1936-1939, yang menewaskan sekitar 500 ribu orang. Presiden Barcelona, Josep Sunyol, bahkan menjadi korban atas perang saudara itu.
Setelah wilayah Catalunya direbut, Franco kerap memperlakukan klub Barcelona tak adil. Pada 1975, Franco wafat yang sekaligus menyudahi era kediktatorannya.
Sejarah itulah yang mewarnai pertandingan El Clasico sampai sekarang. Tuntuan Katalunia merdeka menjadi tuntutan yang setiap saat muncul. Pada setiap pertandingan Barcelona melawan Real Madrid bendera Katalunia strip kuning merah menjadi lambang perlawanan politik yang berkibar-kibar sepanjang laga.
Di gelaran Euro 2020 kali ini pasukan Spanyol ingin menegaskan kembali supremasinya. Tentu saja jejak Franco sudah hilang di Eropa. Tetapi, kenangan terhadap peristiwa itu masih tetap hidup sampai sekarang.
Spanyol pernah menjadi juara Eropa dan juga juara dunia. Kejayaan itu sempat hilang, dan Spanyol ingin merebutnya kembali. Euro 2020 ini menjadi ajang pembuktian Spanyol.
Pelatih Luis Enrique sudah membuktikan keberhasilannya membawa Tim Matador menembus empat besar. Kemenangan atas Kroasia kemudian disusul kemenangan dramatis atas Switzerland menempatkan Spanyol dalam posisi bagus untuk menjadi salah satu kandidat juara.
Tim nasional Spanyol kali ini tidak diperkuat oleh satu pun pemain dari Real Madrid. Tentu ini bukan balas dendam Luis Enruique yang pernah menjadi pemain Barcelona. Enrique melakukan pekerjaannya dengan profesional. Pemain-pemain Madrid dinilai tidak ada yang cocok untuk masuk skuad Matador tahun ini.
Sampai sejauh ini Enrique sudah membuktikan bahwa pilihannya benar. Ia masih akan diuji apakah pilihannya meninggalkan pemain-pemain Real Madrid bisa membawa hasil bagus.
Enrique punya kebebasan memilih pemain yang dikehendaki. Andai Franco masih hidup, Enrique tidak mungkin bisa melakukannya. (*)
Editor Sugeng Purwanto