Kembali ke UUD 1945 oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
PWMU.CO– 5 Juli 1959 Presiden Soekarno menembus kebuntuan pembahasan Badan Konstituante di Bandung dengan mengeluarkan Dekrit yang isinya membubarkan Konstituante, kembali ke UUD 1945, serta pembentukan MPRS dan DPAS.
Dekrit 5 Juli yang dikeluarkan Presiden Soekarno pukul 17.00 itu didahului pendekatan dengan berbagai pihak, bahkan situs resmi Kemendikbud menyatakan atas desakan masyarakat.
Soekarno memahami aspirasi politik umat Islam dan mengakomodasi aspirasi tersebut sehingga menyatakan Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Tidak ada gejolak atas Dekrit tersebut dan kembali ke UUD 1945 dapat diterima dengan baik.
Kini UUD 1945 masih menjadi konstitusi negara, hanya setelah Reformasi tahun 1998 terhadap UUD 1945 ini dilakukan amandemen. Tercatat empat kali amandemen yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Beberapa materi pasal telah ditambah dan diubah antara lain MPR tidak menjadi lembaga tertinggi, presiden dipilih langsung rakyat, legislatif terdiri dari dua kamar DPR dan DPD, serta adanya lembaga Mahkamah Konstitusi.
Setelah amandemen berulang tersebut aplikasi ketatanegaraan yang awalnya diharapkan lebih demokratis dan tingkat kesejahteraan rakyat meningkat ternyata tidak kesampaian. Bahkan pada rezim terakhir ini kedudukan presiden cenderung semakin otoriter, kontrol DPR lemah, korupsi tidak mengendur, serta pengelolaan negara seperti tanpa guidance. Konsekuensi dari eksekutif yang super kuat.
Ini semua tentu disebabkan oleh longgarnya kendali konstitusi. Bahkan interpretasi dan improvisasi eksekutif terhadap konstitusi semakin bebas dan dominan. Perbaikan di samping koreksi penyelenggara negara juga menyangkut aturan dasar bernegara. Bukan obral amandemen tetapi kembali ke filosofi the founding fathers dalam memaknai dan mengatur negara. Kembali ke UUD 1945.
Alasan Penting
Tiga hal pokok yang harus dikembalikan, yaitu
Pertama, kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR. MPR menjadi lembaga tertinggi kembali. MPR harus berdaya dan berdaulat. Menyimpang jauh jika MPR sejajar presiden.
Kedua, presiden adalah mandataris MPR bertanggung jawab kepada MPR. Kini presiden yang dipilih rakyat menjadi bertanggung jawab kepada rakyat yang pada praktiknya tidak bertanggungjawab kepada siapa-siapa.
Ketiga, presiden tidak memiliki panduan dan program kerja yang diamanatkan rakyat. Membuat program dan kebijakan sendiri yang semau-maunya. GBHN harus dihidupkan kembali agar ada tolok ukur dalam mengelola negara.
Bahwa ada hal lain yang kini menjadi substansi perbaikan isi UUD 1945 sebagaimana dirumuskan amandemen UUD 1945, dapat dituangkan dalam Ketetapan MPR. UUD 1945 dibersihkan kembali.
Jika rencana amandemen kelima yang diwacanakan akan memfokus pada menghidupkan GBHN walau dengan nama lain, maka konsekuensinya GBHN yang diamanatkan kepada presiden itu harus dipertanggungjawabkan. Sewajarnya pertanggungjawaban dilakukan kepada lembaga yang membuatnya yaitu MPR. Artinya, presiden harus menjadi mandataris MPR kembali.
Perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara dimulai dari aturan dasarnya. Kembali ke UUD 1945 sebagaimana dirumuskan oleh pendahulu negara. Dekrit 5 Juli 1959 hanya mengingatkan.
Mari kembali ke UUD 1945. (*)
Bandung, 5 Juli 2021
Editor Sugeng Purwanto