Menutup Masjid saat Wabah, Benarkah Allah Murka? oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO– Benarkah menutup sementara masjid saat wabah corona membuat Allah murka? Jadi apa ikhtiarmu mengatasi pandemi agar Allah tak murka?
Vaksin tak mau. Berjarak juga enggan. Pakai masker pun menolak. Memaksa hidup normal. Terus berikhtilaf bahwa wabah adalah konspirasi.
Apakah menunggu penguasa menyerah, hilang akal, kemudian membiarkan wabah menyerang tanpa pengawasan? Sementara ada ribuan terpapar bergelimpangan dan mati.
Apakah menolak vaksin, tetap berkerumun, tidak pakai masker adalah ikhtiarmu? Apakah ini yang antum sebut bisa menahan murka Allah?
Apapun yang tidak sesuai dibantah. Hawa nafsu dituhankan. Semacam berhala karena dianggap ’paling’. Seperti Dahriyun, kaum pemuja massa dalam surah Jatsiyah.
Ada kisah. Seorang pemuda berkendara unta bergegas wudhu dan shalat hingga lupa mengikat tali untanya. Kemudian Rasulullah saw berkata, ikatlah untamu!
Pemuda itu menjawab mantap,”Aku bertawakal ya Rasulullah.
Kemudian Rasulullah saw berkata sambil memegang kepala pemuda tawakal tadi. ”Ikat untamu kemudian bertawakal.”
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menceritakan dalam Badzlu Al-Maa’uun fii Fadhli Ath-Thaa’uun (hlm 329), aku coba ceritakan, telah terjadi di masa kami ketika terjadi wabah ath-tha’un di Kairo pada 27 Rabiul Akhir 833 Hijriyah.
Awalnya baru jatuh korban meninggal di bawah empat puluh orang. Kemudian orang-orang keluar menuju tanah lapang pada 4 Jumadal Ula, setelah sebelumnya orang-orang diajak untuk berpuasa tiga hari sebagaimana dilakukan untuk shalat istisqa’ (shalat minta hujan).
Mereka semua berkumpul, mereka berdoa, kemudian mereka berdiri, dalam durasi satu jam lalu mereka pulang. Setelah acara itu selesai, berubahlah korban yang meninggal dunia menjadi 1.000 orang di Kairo setiap hari. Kemudian jumlah yang jatuh korban pun terus bertambah.
Kaidah Usul Fikih
Saya berpendapat haram bagi yang mengidab penyakit menular semacam HIV, TBC, lepra, kusta berjamaah di masjid. Absennya dia berjamaah di masjid setara dengan syahid karena menjaga jiwa kaum muslimin lainnya. Berjamaah di masjid adalah syariat. Menjaga keselamatan dan jiwa kaum muslimin dari berbagai penyakit penyebab mati juga syariat.
Prinsip dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbih mashalih tetap harus diaplikasi adil dan proposional. Artinya, menghindari kerusakan diutamakan dibanding mengambil manfaat dari sesuatu. Bukan berpihak atas kepentingan lantas mendefinisikan secara literal apa yang dimaksud ’menghindari kerusakan’ lantas dengan gampang berkata : Allah murka jika menutup masjid.
Bisakah dipahamkan apakah Allah akan menjaga unta yang diikat agar tak lari atau membiarkan unta terlepas dengan alasan tawakal? Apakah Allah murka menutup sementara masjid di saat wabah atau terus berkerumun mendoa agar wabah segera hilang dengan alasan mencegah murka?
Pada dasarnya setiap kita sedang membangun logika untuk membenarkan dan mencari peneguhan pada yang diingini dan Allah Maha Bijak dan Maha Mengetahui apa yang tidak manusia ketahui.
Dalam kemutlakan Allah itulah semua kita berikhtiar dengan capaian yang sama sekali berbeda. Bangunan logika sering tak cukup untuk memahami keluasan dan kemahakuasaan Allah tabaraka wataala.
Dalam keterbatasan dan ketidakmampuan itulah ada doa-doa untuk mengetuk pintu langit. Pada akhirnya semua kita adalah kumpulan keterbatasan, ketidakmampuan dan ketidakberdayaan. Di sana ada kemahakuasaan dan kemutlakan yang tak cukup dicandra dengan logika dan ikhtiar semata.
Editor Sugeng Purwanto