
Hukum Menjual Kulit Kurban, antara Hadyu dan Udhiyah oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA, Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits.
Pengantar
Pada setiap datangnya Hari Raya Kurban selalu muncul pertanyaan dari masyarakat, bolehkah kulit kurban dijual. Sebagian ada yang menginformasikan adanya pengepul kulit kurban dan menghargai sesuai dengan standar pasar sehingga hasil jualnya bisa untuk dipergunakan membeli fasilitas pemasakan daging kurban, bahkan karena banyaknya kulit sehingga dapat membeli seekor lagi hewan kurban.
Akar Masalah
Kulit binatang kurban apa yang hendak diperbincangkan. Apakah kurban Udhiyah (penyembelihan ternak kurban dalam rangka perayaan Idul Adha) atau kurban Hadyu (penyembelihan ternak kurban dalam rangka syukuran sukses menjalankan manasik haji)?
Sesungguhnya kedua jenis kurban itu memiliki hukum yang berbeda, mukalaf yang berbeda, tata cara distribusi yang berbeda agar kelak dapat memahami setiap hadits secara proporsional.
Pertanyaan berikutnya, siapa yang menjualnya. Apakah pemilik kurbannya, atau panitia penyelenggaranya, atau pihak yang telah menerima kurban?
Pertanyaan berikutnya, untuk apa kulit kurban itu diperjualbelikan? Apakah untuk pemilik kurban atau kepentingan lainnya.
Hadyu dan Udhiyah
Bagi yang berhaji Tamattu’, tidak diperselisihkan berkewajiban menyembelih ternak kurban. Bagi yang tidak mampu solusinya digantikan berpuasa sepuluh hari. Yakni tiga hari di waktu haji dan tujuh hari sepulang dari haji. Mukalaf-nya atas nama individu. Demikian pula cara distribusinya hanya untuk fakir miskin yang bernilai sedekah.
Berbeda dengan kurban Udhiyah. Dalil-dalil, baik dari al-Qur’an maupun hadits yang mengarah kewajibannya bermasalah, sehingga pendapat yang lebih dekat adalah sunah, mukalaf-nya pun kolektif, atas nama keluarga, bukan atas nama individu.
Sedangkan cara distribusinya bebas, siapapun yang kaya dan yang miskin berhak menerimanya. Bagi penerima miskin tentu bernilai sedekah sementara bagi penerima kaya nilainya adalah hadiah. Karena penyembelihan kurban Udhiyah para prinsipnya perayaan bersama umat, maka penerimanya tidak pandang kaya atau miskin.
Berfokus pada penjualan kulit kurban, jika yang menjual pihak yang menerima, tentu tidak menjadi masalah. Mungkin mereka merasa kesulitan memanfaatkan pembagian kulit kurban tersebut, atau menurutnya lebih maslahat jika menjualnya.
Atau pihak panitia penyelenggara agar hasil jualnya dapat dimaanfaatkan lebih maksimal, apakah dibagikan kepada fakir miskin atau untuk kepentiang kemaslahatan lainnya.
Yang menjadi problem akademik jika yang menjual itu adalah pihak pemilik kurban. Maka yang dipertanyakan jenis kurban apa yang dijual kulitnya, apakah kurban Udhiyah atau kurban Hadyu?
Menjual Kulit Kurban Hadyu
Jika yang dipermasalahkan kulit kurban Hadyu, maka ditemukan hadits yang sharih (jelas), bukan hanya kulit binatang kurban Hadyu yang dilarang memperjual belikannya, melainkan semua yang melekat pada ternak kurban tersebut juga dilarang memperjual belikannya. Seperti pakaiannya, petandanya, tulangnya, kepalanya dan sebagainya. Semuanya harus disedekahkan kepada orang-orang miskin.
Hadits Ali bin Abi Thalib RA
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ: (أَهْدَى رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم مِائَةَ بَدَنَةٍ) (فَأَمَرَنِي أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ, وَأَمَرَنِي أَنْ أَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا, وَجُلُودَهَا, وَجِلَالَهَا فِي الْمَسَاكِينِ) (وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا شَيْئًا, وَقَالَ: نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا)
Ali bin Abi Thalib ra. berkata: (Rasulullah saw. memiliki qurban Hadyu (ternak qurban untuk haji) sebanyak seratus unta) (dan beliau memerintah aku untuk menyembelihnya, dan memerintah aku untuk membagi-bagikan keseluruhannya, dagingnya, kulitnya, pakaiannya untuk didistribusikan kepada para miskin) (dan memerintah aku untuk tidak memberikan upah bagi penyembelihnya.
Katanya: Kami memberinya dari harta milik kami sendiri). HR Bukhari: 1629, 1630, 1631; Muslim: 1317; Abu Dawud: 1769 dan Ibnu Majah: 3099.
Analisis
Porsi hadits ini bukan pada penyembelihan kurban Udhiyah, melainkan pada penyembelihan kurban Hadyu. Yakni terkait kurban syukuran sukses menjalani ibadah haji.
Waktu itu penduduk Madinah dipandu langsung oleh Rasulullah SAW, sementara penduduk Yaman dipandu oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika Ali bin Abi Thalib sampai di Mekah, ia ditanya oleh Rasulullah SAW apakah ihram Anda? Ali bin Abi Thalib menjawab, aku berihram seperti Nabi SAW.
Lalu Nabi SAW bertanya lagi, apakah Anda membawa kurban Hadyu? Ali menjawab: ‘Ya’. Maka Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menyembelihnya dan memberi peringatan kepadanya untuk membagikan ke semuanya. Termasuk apa saja yang melekat pada ternah kurban Hadyu tersebut, berupa kulit, pakaian, daging, dan lainnya.
Yang mempertanjam ternak kurban ini adalah kurban Hadyu, karena pada ternak kurban Hadyu selalu diberi petanda, apakah berupa gantungan atau pakaian. Karena pihak penyembelih kurban Hadyu akan menyebutkan milik siapa kurban Hadyu tersebut.
Hadits Aisyah RA
عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ (أَنَّ زِيَادَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ كَتَبَ إِلَى عَائِشَة رضي الله عنها: إِنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: مَنْ أَهْدَى هَدْيًا حَرُمَ عَلَيْهِ مَا يَحْرُمُ عَلَى الْحَاجِّ حَتَّى يُنْحَرَ هَدْيُهُ، قَالَتْ عَمْرَةُ: فَقَالَتْ عَائِشَة رضي الله عنها: لَيْسَ كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، أَنَا فَتَلْتُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم بِيَدَيَّ) (مِنْ عِهْنٍ كَانَ عِنْدِي) (ثُمَّ قَلَّدَهَا رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم) (وَأَشْعَرَهَا (وفي رواية: (ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا) (بِيَدَيْهِ، ثُمَّ بَعَثَ بِهَا) (إِلَى الْكَعْبَةِ) (مَعَ أَبِي) (مِنْ الْمَدِينَةِ) (ثُمَّ لَا يُحْرِمُ) (وَلَا يَجْتَنِبُ شَيْئًا مِمَّا يَجْتَنِبُهُ الْمُحْرِمُ) (وَيُقِيمُ [بِالْمَدِينَةِ] فِي أَهْلِهِ حَلَالًا) (يَأتِي مَا يَأتِي الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِهِ) (مَا يَمْتَنِعُ مِنْ نِسَائِهِ) (وَلَمْ يَتْرُكْ شَيْئًا مِنْ الثِّيَابِ) (حَتَّى يُنْحَرَ الْهَدْيُ)
Amrah binti Abdurrahman berkata: (Ziyad bin Abi Sufyan menulis surat kepada Aisyah yang mengatakan: Sesungguhnya Abdullah bin Abbas berfatwa: Barangsiapa yang telah menyiapkan kurban Hadyu, maka sejak itu ia telah dihramkan seperti terhadap semua yang diharamkan bagi pelaku haji sehingga ia menyembelih kurban Hadyu-nya.
Maka Aisyah berkata: Bukan begitu, tidak seperti yang difatwakannya. Aku yang menganyam kalung (petanda) kurban Hadyu Rasulullah SAW) (dari kain katun milikku) (lalu dikalungkan Nabi SAW padanya) (kemudian Nabi SAW meleceti sedikit kulitnya dan menandainya) (dengan tangannya sendiri, lalu mengirimkannya) (ke Mekah) (bersama bapakku) dari Madinah) (dan Nabi SAW. tidak mengharamkan dirinya) (dan tidak menghindari sesuatu yang seharusnya dihindari oleh seorang yang berihram) (masih menetap di Madinah bersama istrinya secara halal) (menggauli istri seperti orang lain) (tidak melarang mendekati istrinya) (dan tidak meninggalkan berpakaian layaknya) (sehingga ternak qurban disembelih). Dalam riwayat lain: (sehingga umat pulang).
HR Bukhari: 1609, 1611, 1612, 1613, 1615, 1618, 5246; Muslim: 1321; Abu Dawud: 1757, 1758, 1759; Tirmidzi: 908, 909; Nasai: 2775, 2780, 2783, 2784, 2793, 2794, 2796; Ahmad: 24114, 25504, 25621, 26033.
Indikasi lain bahwa yang disembelih Ali bin Abi Thalib adalah kurban Hadyu, karena semuanya harus didistiburikan hanya untuk orang-orang miskin sebagai sedekah, selain mereka tidak berhak menerimanya.
Hal ini sejalan dengan bimbingan al-Quran:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian dari padanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Qs. Al-Hajj: 22).
Pada ayat lain dijelaskan:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat).
Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (al-Hajj: 36-37).
Dengan demikian hadits di atas shahih dan porsinya pada kurban Hadyu, bukan pada kurban Udhiyah.
Menjual Kulit Kurban Udhiyah
Dalam masalah ini ditemukan beberapa hadits berikut ini:
Hadits Jabir RA
أَخْزَجَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: أُخْبِرْتُ أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ، وعَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، عَنْ فُلَانٍ، وعَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ -وَلَمْ يَبْلُغْ أَبُو الزُّبَيْرِ هَذِهِ الْقِصَّةَ كُلَّهَا- أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ عَنْ جَابِرِ أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ، أَتَى أَهْلَهُ فَوَجَدَ قَصْعَةَ ثَرِيدٍ مِنْ قَدِيدِ الْأَضْحَى فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَهُ، فَأَتَى قَتَادَةَ بْنَ النُّعْمَانِ فَأَخْبَرَهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي حَجٍّ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ أَمَرْتُكُمْ أَنْ لَا تَأْكُلُوا الْأَضَاحِيَّ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، لِتَسَعَكُمْ وَإِنِّي أُحِلُّهُ لَكُمْ، فَكُلُوا مِنْهُ مَا شِئْتُمْ قَالَ: وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا، وَتَصَدَّقُوا، وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا، وَإِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُومِهَا شَيْئًا فَكُلُوهُ إِنْ شِئْتُمْ
Jabir berkata: Bahwasanya Qatadah mendatangi keluarganya, tiba-tiba ia mendapati semangkuk bubur tsarid yang dicampur daging qurban, maka ia enggan mengkumsinya.
Lalu Abu Qatadah bin Nu’man datang dan mengabarinya bahwa Nabi saw. berkhotbah pada waktu haji: Dahulu aku pernah melarang kalian memakan daging kurban Udhiyah melebihi tiga hari, agar kalian leluasa, maka sekarang aku menghalalkannya. Silahkan memakan sekehendak kalian.
Sabdanya pula: Janganlah kalian menjual daging kurban Hadyu atau Udhiyah, nikmatilah, sedekahkanlah dan manfaatkanlah kulitnya. Jika kalian hendak memberikan dagingnya, maka ikutlah memakannya jika kalian berkehendak. (HR Ahmad: 16210).
Hadits ini dhaif (lemah). Dikeluarkan Ahmad dengan jalur sanad dari Muhammad bin Bakar dari Ibnu Juraij dari Abu Sa’id al-Khudri, maka terdapat beberapa perawi yang gugur.
Kedua dari Muhammad bin Bakar dari Ibnu Juraij dari Salman bin Musa dari seseorang. Sanad ini juga lemah, karena Ibnu Juraij dikenal mudalllis dan meriwayatkan dengan pola ‘ananah (‘an) sementara gurunya juga tidak diketaui identitasnya (dalam riwayat lain hadits nomor: 16211) mengaku dari Zubaid bin Harits al-Yami.
Maka statusnya munqathi’ (terputus), karena ia tidak pernah berjumpa dengan sahabat. Dan ketiga dari Muhammad bin Bakar dari Ibnu Juraij dari Abu Zubair dari Jabir, ternyata Abu Zubair (Muhammad bin Muslim bin Tadrus al-Makki juga dinilai mudallis dan meriwayatkan dengan pola ‘an’anah, di samping itu ia juga tidak pernah mendapatkan kisah ini secara utuh.
Kemudian yang lebih parah pada manuskrip ini terjadi kesalahan fatal, karena sumber aslinya bukan dari Abu Qatadah, melainkan dari Abu Sa’id al-Khudri sebagaimana paparan berikutnya. Dengan demikian hadits ini sangat lemah.
Hadits Abu Sa’id al-Khudri RA
أَخْزَجَ أَحْمَدُ:حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ، قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى: أَخْبَرَنِي زُبَيْدٌ، أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ، أَتَى أَهْلَهُ فَوَجَدَ قَصْعَةً مِنْ قَدِيدِ الْأَضْحَى، فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَهُ، فَأَتَى قَتَادَةَ بْنَ النُّعْمَانِ فَأَخْبَرَهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فَقَالَ: إِنِّي كُنْتُ أَمَرْتُكُمْ أَنْ لَا تَأْكُلُوا الْأَضَاحِيَّ، فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ لِتَسَعَكُمْ، وَإِنِّي أُحِلُّهُ لَكُمْ، فَكُلُوا مِنْهُ مَا شِئْتُمْ، وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ، وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا، وَتَصَدَّقُوا، وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا، وَلَا تَبِيعُوهَا، وَإِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لَحْمِهَا، فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ
Zubaid berkata: Aku dikabari Abu Sa’id al-Khudri bahwa ia mendatangi keluarganya tiba-tiba ia, mendapati semangkuk bubur tsarid yang dicampur daging qurban, maka ia enggan mengkumsinya. Lalu Abu Qatadah bin Nu’man mengabarinya bahwa Nabi SAW berkhotbah: Dahulu aku pernah melarang kalian memakan daging kurban Udhiyah melebihi tiga hari, agar kalian leluasa, maka sekarang aku menghalalkan.
Silahkan memakan sekehendak kalian. Janganlah kalian menjual daging qurban Hadyu atau Udhiyah, nikmatilah, sedekahkanlah dan manfaatkanlah kulitnya dan janganlah kalian menjualnya. Jika kalian hendak memberikan dagingnya, maka ikutlah memakannya jika kalian berkehendak. (HR Ahmad: 16211).
Hadits ini dahif (lemah), pada sanadnya terdapat Ibnu Juraij (Abdul Malik bin Abdul Aziz) berstatus mudallis dan telah meriwayatkan dengan pola ‘ananah. Juga terdapat perawi lain yang bernama Zubaid (bin Harits al-Yami), ia tidak pernah berjumpa dengan sahabat dengan demikian sanad hadits ini munqathi’ (terputus).
Hadits Abu Hurairah RA
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم: مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ
Dinarasikan Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda: Barangsiapa yang menjual kulit kurban Udhiyah-nya maka tidak ada Udhiyah baginya.
HR Hakim: 3489; Baihaqi Kubra: 1839; Baihaqi dalam Kubra: 19233, 19259; Baihaqi dalam Ma’rifah Sunan wa Atsar: 19095; Dailami dalam Musnad Firdaus: 5509, semuanya dari Zaid bin Khubab dari Abdullah bin Ayyasy al-Misri dari Abdurrahman A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw.
Hakim menilai hadits ini shahih. Inilah salah satu kecerobohan Hakim, padahal sanad hadits ini bermasalah.
Semua kodifikator mengeluarkan hadits di atas dengan jalur sanad dari Abdullah bin Ayyasy al-Misri dari Abdurrahman A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw. Dan perawi Abdullah bin Ayyasy al-Qitbani al-Misri adalah perawi lemah, walaupun dia perawi Muslim. Ibnu Hajar menyimpulkan penilaian kritikus hadits shaduq yaglith.
Albani menilainya hadits ini hasan. Periksa Shahih wa Tarhib: 1088; Shahih Jami’: 6118. Saya belum menemukan kajian detail Albani dalam hadits ini, kecuali penjelasan singkat dalam bukunya Shahih Targhib wa Tarhib 1/629 hadits: 1088. Itupun menukil dari tulisan al-Naji (Ibrahim bin Muhammad bin Mahmud bin Badar al-Naji -900 H.) dalam kitabnya: Ajalah Imla’ al-Mutayassarah min Tadznib: 2/870, yang teksnya dipaparkan secara ringkas:
قال الناجي: لا أستحضر الآن في هذا المعنى غير الحديث المذكور من طريق عبد الله، وقد رواه ابن جرير من طريقه موقوفاً على أبي هريرة. لكنْ في مسند الإمام أحمد من حديث قتادة بن النعمان أنَّه عليه الصلاة والسلام قام -أي خطيباً-، فقال: لا تبيعوا لحوم الهدي والأضاحي، وكلوا وتصدقوا واستمتعوا بجلودها، ولا تبيعوها. [قلت: في إسناده (4/ 15) عنعنة ابن جريج. قال:] وقال سعيد بن منصور: حدثنا عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن أبيه قال: سئل رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن جلود الضحايا؟ فقال: تصدقوا بها ولا تبيعوها، وهذا مرسل ضعيف.
Naji berkata: Aku tidak mendapatkan saat ini hadits semakna di atas selain itu yang diriwayatkan dari jalur Abdullah. Hadits itu juga dikeluarkan Ibnu Jarir dengan sanadnya secara mauquf dari Abu Hurairah. Namun dalam Musnad Ahmad diriwayatkan dari Qatadah bin Nu’man, bahwa Nabi SAW berkhotbah: Janganlah kalian menjual daging qurban Hadyu dan Udhiyah. Makanlah, sedekahkanlah dan menfaatkanlah kulitnya dan jangan menjualnya.
[Menurut pendapatku: Pada sanad ini terdapat pola periwayatan ‘ananah Ibnu Juraij]. Sa’id bin Mansur meriwayatkan dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya: Nabi saw. ditanya tentang kulit qurban Udhiyah. Sabdanya: Sedekahkanlah dan janganlah menjualnya, namun hadits ini mursal dan lemah.
Maka bagaimana hadits itu dinilainya hasan? Dari sisi dihimpunnya berbagai syawahid dan tawabi’ juga tidak memungkinkan. Kemudian di berbagai media sosial dikatakan hadits ini shahih?! Padahal itu adalah hadits dhaif (lemah).
Analisis
Tidak ditemukan hadits shahih yang secara spesifik menyatakan pelarangan memperjualbelikan kulit kurban Udhiyah. Memang tidak etis jika seseorang berkurban namun masih berfikir bisnis mencari keuntungan, seyogianya semuanya diserahkan kepada yang berhak.
Akan tetapi jika kulit itu dijual untuk lebih maksimal pemanfaatannya, kenapa tidak diperkenankan?
Ada yang keterlaluan dalam berfatwa, semua kulit kurban Udhiyah harus dibagi secara rata, sebagaimana pembagian daging dan tulangnya? Sehingga ada yang mendapatkan secuil kulit yang terpaksa dibuangnya sia-sia dengan alasan biaya memasaknya atau memanfaatkannya jauh lebih mahal daripada hasilnya. Lalu pertanyaan berikutnya, bagaimana membagi kepala kurban Udhiyah secara merata?
Jika seseorang berkurban Udhiyah, bukankah ia boleh mengambil semua kulitnya, toh tidak sampai batas pelarangannya. Jika kulit itu telah diserahkan kepadanya, bukankah sudah menjadi haknya? Mau diapakan apa saja silahkan.
Lalu jika ia jual kulit itu untuk tujuan yang lebih manfaat seperti diinfakkan atau disedekahkan, kenapa tidak boleh? Seperti seseorang yang telah mendapatkan bagian daging Udhiyah, lalu menurutnya dan pemanfaatan hasil jualnya untuk kemaslahatan, apakah juga terlarang?
Apalagi jika pihak yang berkurban telah menyerahkan segalanya pada pengelola kurban Udhiyah. Lalu datang pengepul kulit yang siap menebasnya dan dapat dirupakan ternak lain, bukankah lebih baik menikmati dagingnya daripada susah payah memanfaatkan kulitnya?
Sekali lagi supaya dibedakan antara kurban Udhiyah dan kurban Hadyu. Karena pada keduanya terdapat perbedaan dari berbagai aspeknya, maka tidak mungkin dianalogikan antara keduanya. Dan setiap hadits seharusnya dipahami secara proporsional.
Catatan Akhir
Saat ditanya bolehkah menjual kulit kurban Udhiyah, maka seyogianya balik ditanya, untuk apa menjualnya? Jika ada unsur bisnis, ingatkanlah agar mengikhlaskan ternak qurbannya untuk media taqarub kepada Allah SAW. Namun jika untuk kepentingan dan pemanfaatan yang lebih maksimal dan maslahat tentunya sangat terpuji. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Tulisan ini dengan versi singkat telah dimuat oleh majalah Matan.