Football Coming Rome oleh Dhimam Abror Djuraid, Pembina Hizbul Wathan FC, Liga 2 PSSI.
PWMU.CO– Itu bukan salah ketik. Tapi, Football Coming Rome adalah poster yang muncul di Stadion Wembley, London, saat Italia tampil di semifinal Euro 2020 mengalahkan Spanyol pada 7 Juli dengan skor 4-2 melalui adu penalti.
Tentu saja poster itu meledek supporter Inggris yang setiap kali timnya bertanding di Wembley selalu menyanyikan’lagu kebangsaan Football Coming Home, seolah-olah mereka sudah mem-booking supaya trofi Euro 2020 direbut Inggris, dengan begitu mereka bisa menyanyikan lagu kebangsaan dengan gembira.
Bukan cuma supporter Italia yang meledeki pendukung Inggris. Kiper timnas Denmark Kasper Schmeichel juga ikut berkomentar mengenai lagu kebangsaan itu. Jelang pertandingan semi final, Schmeichel mempertanyakan mengapa ada lagu kebangsaan itu, padahal Inggris tidak pernah menjadi juara Eropa.
Tentu saja itu sebuah taktik perang urat syaraf, psy war, yang sengaja dilempar oleh Schmeichel untuk melemahkan semangat pemain-pemain Inggris. Schmeichel ternyata tidak takut terhadap pemain-pemain Inggris. Dia juga tidak takut terhadap suporter Inggris yang memenuhi Stadion Wembley.
Schemeichel, semua tahu, bukan orang baru di sepak bola Inggris. Dia berkebangsaan Denmark, tapi lahir dan besar di Manchester. Bapaknya, Peter Schmeichel adalah legenda Manchester United yang menjadi bagian penting sejarah kebesaran Machester Biru.
Schmeichel lahir di Copenhagen, lalu masuk akademi Manchester City, musuh utama Manchester United. Lalu sempat menembus skuad utama tetapi kalah bersaing dengan Jor Hart. Schmeichel kemudian pindah memperkuat Leicester City dan menjadi juara Premier League pada musim kompetisi 2015-2016, dan mencatat sejarah dengan menjadi juara Piala FA 2020.
Schmeichel muda tidak kalah prestasi dibanding ayahnya. Ia tidak memperkuat klub empat besar liga Inggris, tetapi komplet merasakan juara kompetisi dan menjadi pemenang Piala FA yang menjadi kompetisi sepak bola paling tua di dunia.
Warisan Kebanggaan
Ketika Denmark mengejutkan dunia dengan menjadi juara Piala Eropa pada 1992 Schmeichel masih berusia enam tahun, belum cukup akil balig untuk memahami sepak bola. Tapi, ia mewarisi kebanggaan itu dari bapaknya yang menjadi tulang punggung timnas Denmark.
Karena itu Schmeichel tidak takut oleh gertakan supporter Inggris. Ia juga tidak gentar melihat penampilan pemain-pemain Inggris, karena semua pemain timnas Inggris, mulai dari kiper sampai striker, sudah pernah dia hadapi di kompetisi.
Schmeichel menjadi palang pintu utama yang susah ditembus ketika Leicester mengalahkan Chelsea 1-0 di partai puncak Piala FA. Karena itu Schmeichel tidak takut melihat gerakan Mason Mount, bintang Chelsea yang menjadi bintang timnas Inggris.
Schmeichel juga tidak takut melihat Phill Foden, Luke Shaw, Jack Grealish, Raheem Sterling, maupun Harry Kane. Semuanya sudah pernah dia hadapi, dan dia hafal betul gerakan mereka.
Karena itu pada pertandingan menentukan di semi final Kamis dini hari (8/7/2021), Schemichel berada pada tingkat kepercayaan diri tinggi. Denmark berhasil unggul terlebih dahulu lewat tendangan bebas ciamik Mikkel Damsgaard.
Inggris nyaris buntu tidak bisa menembus gawang Denmark. Hanya karena salah dalam memotong umpan tarik dari sisi kanan gawang hingga Kapten Simon Kjaer membuat own goal ke gawang Schemeichel.
Ketika pada menit-menit akhir Inggris mendapatkan penalti, Schmeichel tidak keder. Ia sudah hafal dengan tendangan Kapten Harry Kane. Ia berkonsentrasi penuh. Ia tatap mata Kane, ia perhatikan gerakan kakinya.
Supporter nakal Inggris mengganggunya dengan mengarahkan siar laser ke muka Schmeichel, tapi ia bergeming. Ketika Kane menggerakkan kaki menendang bola menyusur ke sisi kiri gawang, Schmeichel bergerak cepat. Ia bisa menahan tendangan Kane, tapi bola memantul dan Kane lebih cepat menyambar sebelum Schmeichel bisa melakukan blok.
Wembley bergetar. Suporter berteriak bergemuruh. Pendukung Denmark tercekat. Harapan dan mimpi untuk mengulangi sejarah 1992 pupus sudah. Denmark harus pergi dari turnamen, tapi kepala mereka tetap tegak terhormat.
Kejutan Besar
Salah satu kejutan terbesar dalam pelaksaan Piala Eropa terjadi ketika Denmark menjadi juara pada 1992. Di luar ramalan semua pandit Denmrak bisa menjadi juara. Padahal ketika itu Denmark tidak lolos babak kualifikasi. Tetapi, nasib baik membawa Denmark bermain di babak utama, karena timnas Yugoslavia terkena sanksi oleh UEFA, otoritas sepakbola Eropa, karena negara Balkan itu terlibat konflik perang internal.
Kejutan lainnya adalah timnas Yunani yang berhasil menjuarai Piala Eropa edisi 2004. Ini disebut sebagai the biggest upset, kejutan besar, karena Yunani bisa mengalahkan Portugal 1-0 di babak final. Ketika itu belum ada istilah parkir bus untuk menggambarkan permainan bertahan total.
Kalau saja ketika itu istilah parkir bus sudah dipopulerkan oleh Mourinho maka pertahanan Yunani bukan cuma disebut sebagai parkir bus, tapi parkir kereta api, karena nyaris semua pemain Yunani bertahan di kotak penalti menahan gempuran pasukan Portugal.
Mourinho sekarang menjadi pandit di televisi selama pelaksanaan Euro 2020. Setelah dipecat dari Tottenhem Hotspur di pertiga terakhir musim kompetisi 2020 Mourinho langsung mendapat lamaran dari AS Roma. Sambil mengisi waktu sebelum balik kucing ke Seri A Liga Italia Mourinho menjadi komentator bola.
Mourinho mengatakan bahwa final Inggris melawan Italia adalah final ideal. Ideal bagi siapa? Itulah pertanyaannya. Sepak bola tidak pernah sepi dari spekulasi sampai teori konspirasi. Hal itu sudah menjadi warna tak terpisahkan dalam sepak bola dunia maupun Eropa. Penunjukan tuan rumah Piala Dunia saja ada skandal, apalagi sekelas Piala Eropa, pasti skandal selalu ada.
Michel Platini dan Franz Beckenbauer, dua legenda sepak bola Eropa harus kena hukuman karena terlibat skandal. Mantan Ketua FIFA Sepp Blatter juga terlibat skandal dan harus berhadapan dengan proses hukum.
Karena itu wajar kalau muncul spekulasi bahwa tahun ini Inggris lebih banyak diuntungkan oleh UEFA. Pertandingan final sudah ditetapkan akan diadakan di Wembley. Selama babak penyisihan Inggris memainkan lima pertandingan di Wembley, dan hanya sekali away ke Roma.
Kali ini, final di Wembley disebut sebagai final ideal karena sudah pasti akan penuh sesak oleh supporter timnas Inggris. Sejarah akan menentukan apakah lagu Football Coming Home akan berkumandang di Wembley.
Atau, sebaliknya, supporter Italia akan bernyanyi, Football Coming Rome. (*)
Editor Sugeng Purwanto