PWMU.CO – Mati, wafat, berpulang, syahid, gugur, mangkat, tewas, meninggal (dunia), mampus, pergi selamanya, menghembuskan nafas terakhir, kapundut, sedo, menemui ajal, berpulang ke rahmatullah, melayang nyawa … dan seterusnya.
Meski banyak sinonim atau padanan kata untuk menyebut kematian, tapi kami, redaktur, seolah kehabisan kata-kata. Itu karena banyaknya berita kematian yang masuk ke meja … eh HP redaksi.
Kata yang sering kami pakai untuk judul berita biasanya ialah wafat. Kata ini terdengar lebih soft, lebih halus dan menghormati, jika dibandingkan, misalnya, dengan kata mati atau tewas. Sekalipun ketiganya memiliki memiliki unsur kata pendek, yang membikin judul jadi efisien di ruang yang terbatas. Bandingkan dengan kata meninggal dunia, menemui ajal, atau pergi untuk selamanya.
Tapi karena banyaknya berita kematian di masa pandemi Covid-19 ini—pernah sehari ada enam berita kematian—maka bila kami memakai kata wafat itu berkali-kali, tampak seperti tidak kreatif dalam membuat judul: bikin bosan pembaca, karena seperti kaset—kini file (lagu)—yang diputar berulang-ulang.
Oleh karena itu sering pula kami menggunakan kata berpulang atau kadang tanpa menyebut kata kematian melainkan dengan menggunakan kata kenangan dan sejenisnya. Seperti: mengenang, in memoriam, atau obituarium. Malah kadang hanya menggunakan kata almarhum (untuk pria) atau almarhumah (bagi wanita), untuk menunjukkan bahwa ini berita kematian.
Rasa Bahasa
Diakui atau tidak, berbagai kata yang merujuk kematian itu memiliki rasa bahasa yang berbeda. Contoh ekstrem: “Perampok itu gugur ditembak polisi.”
Penggunaan kata gugur dalam konteks kalimat tersebut terdengar aneh, karena lazimnya, kata gugur dipakai untuk menyebut kematian sang pahlawan.
Atau lazim pula dipakai kata syahid untuk menyebut kematian syuhada—pahlawan atau yang meninggal di jalan Allah (fisablillah) bagi kalangan Islam.
Sedangkan bagi pelaku kejahatan, biasanya dipakai kata mati, tewas, atau mampus. Bahkan ada yang menyebut koit, matek, dut, bongko, atau modar.
Namun kata gugur dan tewas ini kadang dipakai bersamaan untuk satu orang oleh dua pihak yang punya persepsi berbeda. Seperti yang berlangsung dalam narasi perang. Jika di pihak lawan ada yang mati maka disebut tewas. Sebaliknya bagi pihak kawan, maka dia disebut gugur.
Narasi ini juga terjadi dalam kasus terorisme. Bagi kawannya, seorang teroris yang tewas ditembak oleh polisi malah disebut sebagai syahid.
Tapi tidak semua kata kematian yang dipersepsikan kasar seperti kata mati harus diperhalus. Janggal kan misalnya seorang istri bilang pada suaminya: “Cintaku padamu akan kubawa sampai gugur!” Yang sudah wajar kan “Kubawa sampai mati!”
Jangan coba-coba pula mengganti kalimat populer ini: “Mati ketawa cara Madura” dengan misalnya, “Telah berpulang ke rahmatullah cara Madura”.
Mengapa Menulis Berita Kematian
Sebelum pandemi Covid-19, PWMU.CO jauh-jauh tahun sudah sering menurunkan berita kematian. Apakah itu kematian tokoh atau orang-orang ‘kecil’.
Harus kami akui, berita kematian itu termasuk yang banyak dibaca netizen, apalagi jika meninggalnya karena kecelakaan atau anak muda yang mati mendadak.
Tokoh-tokoh yang punya daya magnet kuat—baik tokoh Muhammadiyah (di segala level) maupun nasional—berita kepergiannya juga mengundang pembaca—apalagi jika ditulis sisi-sisi humanismenya saat hidup.
Mengapa kami tertarik menulis berita kematian: Pertama, tentu kami ingin menjadi rujukan jika berita kematian—terutama sosok yang tidak dikenal media mainstrem—sudah beredar di medsos dan belum ada kepastian kebenarannya.
Sebab, sekarang banyak tumbuh dan berkembang hoax berita kematian. Jika kami sudah menuliskannya, insyallah, berita tersebut valid dan akan menjadi rujukan.
Kedua, kami ingin mempersembahkan tulisan sebagai sebuah catatan dan kenangan. Ini penting bukan saja bagi keluarga, tapi juga untuk kepentingan sejarah, baik lokal maupun nasional.
Ketiga, kami ingin mengenang dan menghormati wafatnya seseorang, terutama yang memiliki kedekatan dengan Islam, Muhammadiyah, PWMU.CO, dan para kontributornya.
Tak heran jika kewafatan ibu seorang wali murid pernah kami tulis dan viral sehingga menggugah orang lain untuk meringankan duka anak piatu itu, setelah yatim sebelumnya. Berita kematian orang ‘kecil’ ini lahir karena kami punya kontributor yang dekat dengan siswa tersebut.
Menggugah orang lain itulah alasan keempat mengapa kami menulis berita kematian. Lebih dari itu, berita kematian adalah dzikrul maut alias pengingat mati. Kami ingin pembaca mendapat hikmah dari sisi-sisi kebaikan yang kami tulis di dalamnya, sekaligus menyadarkan bahwa kematian bisa mengintai siapa saja—dan karena itu selalu besiap dengan bekal kematian.
Kelima, dengan banyak yang membaca kami berharap ribuan, bahkan puluhan ribu, pembaca akan mendoakannya: memintakan ampunan pada Allah dan menguatkan kesabaran sang keluarga.
Takut Berita Kematian Covid-19
Maka saya terkejut, ketika di salah satu WhatsApp Group (WAG), berita kematian yang saya bagikan di situ ditolak lalu sang admin mengeluarkan saya dari WAG itu. Padahal, GWA itu kumpulan jamaah masjid, di mana saya menjadi salah satu pendiri dan pembangun masjidnya. Juga masih jamaah meski saat pandemi ini saya beribadah di rumah, seperti anjuran Persyarikatan dan para ahli.
Itu gara-gara berita duka yang saya bagi adalah kematian akibat Covid-19. Dan ternyata sebagian anggota GWA itu berpikiran Covid-19 adalah bagian dari konspirasi. Dan ini yang lebih bikin saya mengelus dada: katanya, Covid-19 itu ada karena diberitakan. Kalau gak ada beritanya, maka Covid-19 akan hilang dengan sendirinya (orang-otang seperti ini sesekali perlu magang ngepel ruang IGD atau ICU rumah sakit biar tahu kenyataan sebenarnya).
Karena itu mereka menolak berita apapun tentang Covid-19, termasuk berita kematian yang sangat inspiratif—yang karena itu ribuan kali dibaca warganet. Dalihnya, mereka ingin hidup tenang tanpa dihantui oleh Covid-19. Ini lucu, karena selama ini meraka mengaku tidak takut Covid-19 (tapi kok hatinya gundah-gulana mendengar berita Covid-19).
Padahal kematian itu—dengan sebab Covid-19 atau bukan— adalah sisi lain dari kehidupan. Mengutip Muhammad Zuhri dalam Mencari Nama Allah yang Keseratus, kematian adalah sisi lain dari kehidupan. Keberadaannya menjadi tak terpisahkan dari wujud kehidupan. Maka bisa dikatakan, setiap manusia sejak kelahirannya telah mendukung kematiannya sendiri.
Tinggal kita mau memilih mati, yang orang-orang menyebut kita sebagai apa? (*)
Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO
Mati, Wafat, Berpulang, Syahid, Gugur, Mangkat, Tewas …adalah kolom bahasa sufistik.