Bolehkah Kurban Patungan Lebih dari Tujuh Orang? Ditulis oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA, Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits.
PWMU.CO – Seorang teman salafi pernah bertanya, bolehkah kurban patungan padahal tidak ada tuntunannya dalam kitab Allah dan sunah Rasulullah SAW?
Semestinya saya tidak langsung menjawab boleh atau tidak, melainkan mendefinisikan dulu secara spesifik, kurban apa yang dimaksudkan? Jika tidak demikian, maka akan terjadi kesalahpahaman.
Inilah sebuah pengalaman jika berdiskusi tentang sesuatu yang belum jelas maksudnya. Karena setiap jenis kurban memiliki aturan syariat yang berbeda.
Definisi Kurban
Secara etimologi, kurban dari kata qaruba-yaqrubu berarti dekat. Al-qurbu maknanya kedekatan, dengan tambahan alif dan nun menjadi qurban berarti sighat mubalaghah, yakni sedekat dekatnya. Seperti ghadhab berarti marah, ghadban berarti klimaks dari kemarahan. Rahima artinya sayang, maka rahman berarti maha sayang, dan begitu seterusnya.
Secara terminologi, adalah salah satu bentuk ketaatan kepada Allah untuk tujuan kedekatan kepada Allah sedekat-dekatnya dengan media penyembelihan ternak kurban (bahimah an’am) berupa unta, sapi, dan sejenisnya; kambing dan sejenisnya.
Dengan demikian tidak pada tempatnya menggunakan pemikiran liberal, misalnya karena masyarakat sudah bosan daging unta atau sapi atau kambing, lalu dialihkan penyembelihan kelinci atau lainnya.
Macam-Macam Kurban
Pertama, Hadyu. Adalah menyembelihan ternak kurban terkait syukuran sukses ibadah haji, khususnya yang berhaji tamattu’, sehingga waktu penyembelihannya setelah wukuf di Arafah, apakah di Hari Raya Adha atau hari-hari Tasyrik.
Kedua, Udhiyah. Adalah penyembelihan ternak kurban sebagai rasa syukur kebersamaan di Hari Raya Kurban bagi mereka yang tidak pergi haji, sehingga waktu penyembelihannya, sama dengan kurban Hadyu.
Ketiga, Dam. Adalah akibat dari pelanggaran kewajiban-kewajiban terhadap manasik haji, yang di antara kafarat-nya adalah penyembelihan ternak kurban. Karena jenis Dam bergantung dengan jenis pelanggarannya.
Waktu penyembelihannya makin cepat makin baik, sesuai dengan kondisinya. Dengan demikian istilah ‘Dam Tamattu’, perlu diluruskan. Karena dalam pelaksanaan haji tamatu’ sama sekali tidak ditemukan jenis pelanggarannya, bahkan menurut jumhur ulama haji Tamattu’ merupakan yang afdhal.
Keempat, Aqiqah. Adalah penyembelihan ternak kurban terkait syukuran dianugerahi anak, penyembelihannya di hari ketujuh pascakelahiran anak, walaupun dibolehkan kapan saja setelah itu dalam batas anak belum baligh.
Penjelasan macam-macam kurban ini sangat perlu, karena memiliki perbedaan hukum, mukalaf, distribusi, waktu penyembelihan dan sebagainya. Artikel berikutnya difokuskan pada kurban Udhiyah sebagai rangkaian perayaan Hari Raya Adha.
Siapa Mukalafnya?
Berbeda dengan kurban Hadyu yang mukalaf (subjek hukum)-nya secara individu. Untuk kurban Udhiyah mukalaf-nya adalah kolektif, atas nama keluarga, bukan atas nama individu. Di sinilah akar masalah yang membuat diskusi sering tidak terselesaikan dengan baik.
Dalam kurban Hadyu memang ditemukan kurban patungan, yakni seekor sapi atau unta untuk tujuh person. Sehingga jika sebuah keluarga besar sebanyak sepuluh orang menunaikan ibadah haji, maka tujuh di antara mereka bisa bersyarikat membeli seekor sapi. Sedangkan tiga sisanya masing-masing seekor kambing, kecuali jika ada anggota keluarga yang tidak mampu, maka dia dapat menggantikannya dengan berpuasa sepuluh hari.
Hadits-hadits yang muncul bolehnya bersyarikat tujuh orang itu porsinya terkait dengan ibadah haji, bukan terkait perayaan berhari Raya Adha sebagaiman yang akan dipaparkan pada point berikutnya.
Adapun terkait kurban perayaan Hari Raya Adha, mukalaf-nya adalah keluarga (kolektif) bukan individu. Sebagaimana yang diriwayatkan Mihnaf bin Sulaim:
عَنْ مِخْنَفِ بْنِ سُلَيْمٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: كُنَّا وُقُوفًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ وَعَتِيرَةٌ.
Mihnaf bin Sulaim RA berkata: Saat kami wukuf di Arafah bersama Rasulullah SAW aku mendengarnya bersabda: Wahai manusia, pada setiap keluarga di setiap tahun penyembelihan Udhiyah dan Atirah.
(HR Baihaqi: 18789; Ahmad: 17920; Abu Dawud: 2788; Tirmidzi: 1518; Nasai: 4224; Ibnu Majah: 3125. Pada awalnya Albani menilainya dhaif, namun akhirnya rujuk dan menilainya shahih. Periksa Shahih Sunan Tirmidzi: 1518. Periksa juga Taraju’at Albani: 193).
Itulah sebabnya hadits riwayat Abu Hurairah berikut ini bermasalah:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا.
Dinarasikan Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa mempunyai kemampuan dan ia tidak menyembelih kurban, maka janganlah ia mendekat dengan tempat shalat kami. (HR Ahmad: 8259, Ibnu Majah: 3123, Hakim: 7565, Baihaqi: 18791).
Pertama, redaksi ‘man kana’ berkonotasi secara individu, pahahal yang benar adalah untuk kolektif. Jika dalam satu keluarga berjumlah enam orang dan semuanya mampu, maka berapa jumlah kurbannya?
Kedua, tidak adanya korelasi yang mampu tidak berkurban dengan pelaksanaan shalat. Artinya, walaupun ada seseorang mampu, namun tidak berkurban dan ia ikut shalat ber-Hari Raya Adha jika syarat dan rukunnya terpenuhi, maka shalatnya sah.
Itulah sebabnya, Ibnu Hajar al-Asqalani setelah mendatangkan hadits di atas dalam Bulughul Maram, ia berkomentar yang rajih dalam pandangan ulama adalah mauquf (perkataan Abu Hurairah), bukan sabda Nabi.
Dalam kasus seperti ini ucapan Abu Hurairah jelas berseberangan dengan hadits shahih, maka tidak mungkin dikedepankan. Apalagi jika dikaitkan dengan hadits lain: Tiga hal bagiku wajib dan bagi kalian sunah, di antaranya adalah penyembelihan kurban.
Kurban Udhiyah untuk Kolektif
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa mukalaf kurban Udhiyah adalah atas nama keluarga. Problem akademiknya, bagaimana seseorang memahami konsep keluarga itu sendiri. Bagi yang memahami keluarga itu hanya anak, bapak, cucu, saudara, dan kesejajarannya baik secara nasab maupun pernikahan, tentunya setiap individu keluarga boleh urunan untuk menyembelih kurban Udhiyah.
Namun jika seseorang memahami konsep keluarga, termasuk ikatan kekerabatan dalam interaksi sosial, misalnya keluarga besar Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim atau keluarga besar SMA Muhammadyah 1 Sidoarjo urunan untuk dapat membeli seekor kambing atau seekor sapi, kenapa tidak dibenarkan?
Analisis Hadits Kurban Bersyarikat
Kendala utama kesulitan memahami kurban patungan dikarenakan adanya beberapa hadits yang secara dhahir, kurban apapun secara patungan dibenarkan, jika tujuh orang bersyarikat untuk membeli seekor sapi atau unta.
Pertama, Hadits Jabir
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَاقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ سَبْعِينَ بَدَنَةً, قَالَ: فَنَحَرَ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
Jabir berkata: Rasulullah SAW. menuntun tujuh puluh unta saat tahun Hudaibiyah. Katanya: Kami berkurban seekor unta untuk tujuh orang. (HR Ahmad: 14438; Thabari dalam Tarikh: 2/116; dan Baihaqi dalam Dalail: 31/294)
Analisis: hadits ini dinilai Arnauth, sanadnya kuat, namun porsinya bukan pada kurban Udhiyah, melainkan kurban Dam. Rasulullah SAW dan para sahabat gagal atau muhshar (terhalang) melanjutkan perjalanan hajinya, sehingga di tempat Hudaibiyan dilakukan perjanjian dengan Quraisy, bahwa umat Islam baru boleh menjalani haji pada tahun berikutnya. Maka konsekuensinya adalah menyembelih kurban.
Kedua, hadits Ibnu Abbas RA
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَهْدَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ) (فِي بُدْنِهِ جَمَلًا كَانَ لِأَبِي جَهْلٍ) (فِي رَأْسِهِ بُرَةُ فِضَّةٍ يَغِيظُ بِذَلِكَ الْمُشْرِكِينَ)
Ibnu Abbas RA berkata: (Rasulullah SAW menyembelih kurban Hadyu pada tahun Hudaibiyah) (seekor unta yang bagus awalnya milik Abu Jahal) (pada hidungnya terdapat lingkaran cincin perak, untuk membangkitkan kemarahan orang-orang musyrik). (HR Abu Dawud: 1749; Ibnu Majah: 3100; Ahmad: 2079)
Analisis: hadits ini dinilai hasan oleh Albani. Periksa Shahih dan Dhaif Sunan Abi Dawud: 1749. Porsinya sama dengan hadits di atas, yakni pada kurban Hadyu, bukan pada kurban Udhiyah. Terjadinya juga di tahun perjanjian Hudaibiyah ketika Nabi terhalang hendak menjalani ibadah haji.
Ketiga, hadits Jabir bin Abdullah RA
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: (خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ) (فَأَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَا أَحْلَلْنَا أَنْ نُهْدِيَ) (وَأَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ, كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَدَنَةٍ) (فَنَحَرْنَا الْبَعِيرَ عَنْ سَبْعَةٍ, وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ) (فَقَالَ رَجُلٌ لِجَابِرٍ: أَيُشْتَرَكُ فِي الْبَدَنَةِ مَا يُشْتَرَكُ فِي الْجَزُورِ؟ قَالَ: مَا هِيَ إِلَّا مِنْ الْبُدْنِ)
Jabir bin Abdullah RA. berkata: (Kami pergi berihram haji bersama Rasulullah SAW) (Lalu Nabi memerintah kami tahalul dan menyembelih kurban Hadyu) (kami bersyarikat pada kurban unta dan sapi, setiap tujuh orang dengan seekor unta) (Maka kami menyembelih seekor unta untuk tujuh orang, sapi juga untuk tujuh orang) (Lalu seeorang bertanya Jabir: Apakah siyarikatkan pada unta seperti pada kambing? Ia menjawab, hanyalah pada unta).
(HR Muslim: 1217, 1318, 13718; Ibnu Khuzaimah: 2900; Ahmad: 14148, 14965, 15087; dan Baihaqi: 19018)
Analisis: hadits di atas shahih, porsinya juga kurban Hadyu, yakni saat para shabat berihram untuk haji.
Keempat, hadits Jabir bin Abdullah RA
وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: الْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ, وَالْجَزُورُ عَنْ سَبْعَةٍ
Dinarasikan Jabir bin Abdullah RA, Nabi SAW bersabda: Seekor sapi untuk tujuh orang, dan seekor unta juga untuk tujuh orang.
(HR Ibnu Hibban: 1781; Abu Dawud: 2808; Ahmad: 14633; Thabrani dalam Ausath: 5917)
Analisa: hadits ini dinilai shahih oleh Albani. Periksa Shahih Jami’ Shaghir: 2889. Walaupun tampaknya umum, berlaku setiap jenis kurban, namun yang jeli pasti memahami porsi hadits ini untuk kurban Hadyu sebagaimana hadits Jabir lainnya. Indikasinya, mukalafnya bukan kolektif, melainkan untuk individu.
Kelima, hadits Abu Zubair
وَعَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ بيُحَدِّثُ عَنْ حَجَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: (فَأَمَرَنَا إِذَا أَحْلَلْنَا أَنْ نُهْدِيَ , وَيَجْتَمِعَ النَّفَرُ مِنَّا فِي الْهَدِيَّةِ) (فَنَذْبَحُ الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ نَشْتَرِكُ فِيهَا) (وَالْجَزُورَ عَنْ سَبْعَةٍ نَشْتَرِكُ فِيهَا) (وَذَلِكَ حِينَ أَمَرَهُمْ أَنْ يَحِلُّوا مِنْ حَجِّهِمْ)
Abu Zubair mendengar Jabir bin Abdullah menceritakan haji Nabi SAW katanya: (Nabi memerintah kami jika tahalul untuk menyembelih kurban Hadyu, kami bersyarikat dalam kurban itu) (kami menyembelih seekor sapi untuk bersyarikat padanya tujuh orang) (dan seekor unta juga untuk tujuh orang) (Yakni saat Nabi memerintah mereka untuk tahalul dari hajinya). (HR Muslim: 1318; Abu Dawud: 2807; dan Nasai: 4393)
Analisisi: hadits di atas shahih. Porsinya jelas pada kurban Haayu, yakni ketika Nabi memerintahkan para sahabat tahulul dari ihram hajinya (fashul haji ila umrah), kemudian mereka diperintah menyembelih kurban Hadyu secara bersyarikat.
Beginilah cara memahami hadits yang kami terapkan. Tidak mengambil hadits secara sepotong, namun harus dirangkum dari berbagai referensi agar dapat diketahui pada porsi apa hadits itu disampaikan oleh Rasulullah SAW Yakni memahami hadits secara proporsional. Adakah hadits yang spesifik, misalnya ketika kami di Madinah, kami berkurban Udhiyah bersyarikat seekor sapi untuk tujuh orang?
Catatan Akhir
Saat menikmati perayaan Hari Raya Kurban, semua elemen masyarakat terlibat mengkonsumsinya, baik yang kaya maupun yang miskin. Bahkan yang menggembirakan, Muhammadiyah telah mempelopori kurban sapi raksasa.
Jika dibebankan hanya untuk tujuh orang, tentu menjadi beban bagi umat. Alhamdulillah warga Muhammadiyah dengan urunan semampunya dapat membeli sapi tersebut untuk dinikmati secara kebersamaan. Sementara kurban Hadyu hanya diperuntukkan untuk qani’ wa mu’tar, al-bais al-faqir.
Editor Mohammad Nurfatoni
Tulisan ini dengan versi singkat telah dimuat oleh majalah Matan.