Idul Adha: Mamanusiakan Manusia, kolom oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur; penulis buku-buku inspiratif.
PWMU.CO – Hikmah Idul Adha ini ditulis dengan sederhana, mudah dan murah. Supaya gampang dipahami. Mudah dilaksanakan dan murah tanpa biaya. Modalnya hanya kemauan.
Manusia itu disebut hayawanun natiq. Hewan yang bisa berpikir. Jadi dalam diri kita ada unsur hewaninya. Jika unsur hewan yang menonjol, maka unsur manusiawinya yang tergerus. Jika unsur manusiawinya menonjol maka unsur hewannya yang menipis.
Dalam Idul Adha kita diperintah menyembelih hewan kurban. Filsofi perintah ini adalah simbol agar kita menyembelih nafsu hewani. Agar yang menonjol sifat manusiawinya. Bukan unsur hewaninya.
Manusia Tersenyum
Ada empat hal yang membedakan manusia dengan hewan. Jika empat hal ini berkurang dalam diri kita, maka unsur manusia berkurang dan unsur hewannya bertambah.
Pertama, manusia bisa tersenyum, hewan tidak bisa. Inilah milik manusia sangat berharga. Hanya manusia yang bisa tersenyum. Datanglah ke kebun binatang. Tidak ada binatang yang bisa tersenyum. Orang hutan dan kera yang secara struktur tubuhn ada kemiripan dengan manusia, sama sekali tidak bisa tersenyum.
Jika wajah manusia susah tersenyum dan lebih mudah cemberut atau marah, maka unsur manusianya turun dan unsur hewannya meningkat. Tersenyumlah karena tersenyum itu indah. Nenek yang tidak bergigi lalu tersenyum maka wajahnya tertap terlihat lebih indah.
Orang tersenyum itu seakan dia sedang mengibarkan bendera damai. “Engkau dan aku tidak ada masalah. Kita baik-baik saja”.
Dengan kemampuan tersenyum diharapkan manusia hidup ramah, semanak, familier, tidak sombong. “Jangan palingkan mukamu dari orang lain. Dan jangan berjalan (bersikap) di atas bumi dengan sombong.” (Luqman 18)
Begitu pentingnya tersenyum sampai agama menetapkan senyum punya nilai sedekah. Sema-sama membahagiakan orang lain. Tabassamuka fi wajhi ahika laka sadaqah. Senyummu yang tulus di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu. (HR Tiemidzi)
Tersenyumlah karena senyum itu indah. Tersenyumlah karena Anda manusia. Tersenyumlah maka dunia akan tersenyum kepada Anda.
Hewan Tak Punya Rasa Malu
Kedua, manusia punya rasa malu. Hewan tidak. Malu itu bagian penting dalam beragama. Rasulullah bersabda: “Iman dan malu itu pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Jika rasa malu sudah tidak ada maka imanpun sirna.” (HR Hakim)
Manusia yang rendah rasa malunya maka dia rendah imannya dan rendah derajat kemanusianya. Yang menonjol kehewanannya. Perhatikan kucing. Jika dia bermesraan dengan pasangannya, dia berteriak-teriak sehingga semua orang tahu. Kucing tidak malu karena memang tidak punya rasa malu.
Zaman kini banyak manusia yang tergerus rasa malunya. Makin tipis, makin tipis, dan akhirnya bisa terkelupas habis. Dia tidak malu berbuat curang. Dan ketika digiring penegak hukum dia masih tetap bisa tertawa. Padahal tidak lagi memakai jas tetapi seragam narapidana.
Di depan kamera televisi yang meliputnya dia tetap tersenyum seperti tidak bersalah. Di negeri ini juga tidak ada pemimpin yang mengundurkan diri karena merasa gagal mengemban tugas. Minta maaf juga enggan. Korban sudah berjatuhan. Tapi malah tidak malu mencari kambing hitam atas kegagalan itu.
Terhadap orang-orang yang tidak punya rasa malu, Rasulullah menyatakan: ”… JIka kamu tidak punya rasa malu maka berbuatlah sesukamu.” (HR Al Bukhari)
Sesungguhnya peringatan Rasulullah ini sangat keras. Jika manusia tidak lagi punya rasa malu, silakan berbuat sesuka hati. Ini artinya dia tidak lagi dianggap sebagai manusia malainkan binatang. Jika malu telah hilang maka tersisa hanya sikap kehewanan. Jagalah rasa malu kita.
Manusia Berpikir, Hewan Tidak
Ketiga, manusia bisa berpikir. Binatang tidak bisa. Inilah karunia Allah yang luar biasa. Manusia itu adalah hewan yang bisa berpikir. Jika Manusia berhenti berpikir, maka yang tersisa hanya unsur hewannya. Dengan akalnya manusia bisa merencanakan dan mengatur tindakan dengan tertib. Bahkan dengan akalnya manusia bisa mengubah dunia.
Manusia ditugasi menjadi khalifah di bumi adalah karena dibekali akal. Dengan akalnya manusia bisa menaklukkan apa saja. Gunung lebih besar daripada manusia tetapi gunung dengan mudah ditaklukkan. Burung bisa terbang di angkasa, tetapi manusia dengan akalnya bisa terbang lebih cepat dan lebih jauh daripada burung.
Apapun yang dilakukan makhluk di bumi manusia sanggup melakukan hal yang sama bahkan lebih hebat. Itu semua karena manusia punya akal yang berguna untuk berpikir. Termasuk tugas akal ialah berpikir kritis terhadap lingkungan.
Nabi Ibrahim adalah orang yang sangat kritis terhadap keadaan sekitar. Pertama dia kritis terhadap keluarganya. Bapaknya dikritisi karena membuat patung untuk disembah. Lalu masyarkatnya yang menyembah berhala. Dilanjutkan mengkritisi raja Namrud yang sombong merasa bisa menyaingi Tuhan. Bahkan berani berdebat dengan sang raja. Dan terakhir dia juga kritis terhadap Allah. Perhatikan dialog antara Tuhan dengan Ibrahim.
“Tuhan, bagaimana cara-Mu menghidupkan makhluk yang sudah mati?”
“Apakah kamu tidak percaya Ibrahim?” tanya Tuhan.
“Saya percaya. Tapi pertanyaan ini untuk memantapkan hati.”
Saya yakin Anda sudah tahu kelanjutan cerita itu. Ibrahim lalu diperintah mangambil empat unggas. Semua dicincang lalu dicampur, diudeg-udeg jadi satu. Ibrahim diperintah meletakkan campuran unggas itu di empat bukit. Kemudian disuruh memanggil. Maka dari empat bukit itu beterbangan serpihan-serpihan unggas.
Yang mengherankan masing-masing potongan bisa mencari bagian tubuhnya sendiri-sendiri. Lalu terwujudlah empat unggas seperti semula.
Tuhan saja siap dikritisi Ibrahim. Maka sungguh mengherankan kalau ada manusia yang tidak suka menerima sikap kritis. Mengaku tidak antikritik tapi kritik itu disertai syarat macam-macam. “Berpikirlah maka kamu ada,” kata filsuf Rene De Cartes.
Hewan Tak Beragama
Keempat, beragama. Hanya manusia makhluk Tuhan yang beragama. Diberi agama untuk tuntunan hidupnya. Hewan tidak beragama. Tidak diberi tuntunan. Dia hidup dengan feeling-nya. Maka dia bebas melakukan apa saja. Tidak ada sanksi.
Jika akal manusia yang luar biasa ini tidak diberi tuntunan agama, maka bisa menimbulkan kerusakan dan kekacauan. Dia bisa saja membuat macam-macam percobaan yang baginya mengasyikkan tetapi justru membawa kekacauan hidup. Misalnya, para ilmuwan setelah berhasil dengan bayi tabung, jika tanpa bimbingan moral agama bisa membuat percobaan macam-macam. Sekadar menuruti ingin tahu dan keasyikan dalam percobaan.
Empat hal yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia bisa tersenyum, punya rasa malu, bisa berpikir, dan beragama. Mari kita hidupkan unsur kemanusiaan kita. Dan kita sembelih unsur kehewewanan kita. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni