PWMU.CO – Selain amal usaha, ruh ber-Muhammadiyah adalah pengajian atau kajian. “Jika ada orang yang ngaku wong Muhammadiyah tapi gak pernah ikut kajian atau pengajian, maka bisa dipastikan hati dan jiwanya kering,” demikian Wakil Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Wiyung Drs Moch Maskur saat memberi pengantar pada Kajian Ahad Pagi (Kaji) di Perguruan Muhammadiyah Wiyung Jalan Mastrip 175, Ahad (4/12).
(Baca: Bubarkan, Pengajian yang Tak Lahirkan Gerakan Kepedulian Sosial)
Sementara itu Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur DR H Syamsuddin MA yang menjadi pembicara dalam kajian yang diadakan PCM Wiyung itu menjelaskan bagaimana sejarah perjuangan Rasulullah saw, terutama dua fase perjuangan di Mekkah dan Madinah.
“Pada fase Makkiyah, yaitu masa sebelum Hijrah, umat Islam adalah kaum marginal atau terpinggirkan. Mereka serba terbatasi ketika hendak menjalankan agamanya,” jelas Syamsudin. Namun, lanjutnya, ketika pada fase Madaniyah, Rasulullah saw mulai menerapkan city state, di mana umat Islam bisa beribadah denga leluasa. “Umat Islam bisa hidup berdampingan dengan orang Yahudi, Kristen, dan Majusi di bawah naungan payung negera Islam yang sangat sederhana.”
(Baca juga: Untuk Apa Saldo Kas Masjid Ratusan Juta jika Jamaahnya Melarat)
Syamsudin lalu mengontraskan dengan kondisi terkini umat Islam Indonesia. “Kegaduhan yang saat ini terjadi di mana-mana, karena pemangku kekuasan banyak yang tidak berpihak pada umat Islam. Karena para penguasa bangsa ini menerapkan politik transaksional,” ungkap Syamsudin sambil menukil surat Alhadid ayat 16, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Menurut dia, kondisi yang digambarkan ayat di atas hampir sama dengan situasi negara Republik Indonesia yang memiliki dasar negara Pancasila. “Sila pertama Pancasila adalah tauhid. Namun dalam praktik kehidupan nyata, banyak pribadi-pribadi yang jauh dari nilai nilai ketuhanan,” tuturnya. “Maka, pada generasi muda mari jadikan Alqur’an sebagai pedoman hidup untuk menggapai kemuliaan yang hakiki. ” (Fery)