PWMU.CO – Membaca Buku Hidup, Rahasia Menulis Opini Hebat. Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni mengungkapnya pada Seminar Literasi yang digelar Smamda Surabaya, Kamis (15/7/2021) pagi.
Seminar daring bertema “Membentuk Generasi Milenial Kreatif Menulis” itu diikuti para siswa dan guru SMA Muhammadiyah 2 Surabaya (Smamda).
Banyak Membaca Tekstual
Fatoni menyatakan, untuk dapat menulis yang baik, butuh rajin membaca. “Baik membaca teks maupun membaca peristiwa di sekitar Anda,” tuturnya.
Penulis buku Tuhan yang Terpenjara itu memaparkan, teks bisa meliputi buku, jurnal, dan postingan di berbagai platform media sosial.
Dengan membaca, lanjutnya, bisa memperoleh data dan mempengaruhi alam bawah sadar. “Suatu saat ketika menulis dan butuh referensi, pengayaan, dan elaborasi, maka bisa mengingat apa yang telah kita baca,” tuturnya.
Dia menyatakan, pembaca yang baik akan menjadi penulis yang baik. Karena tulisannya akan kaya, berwarna, dan tidak monoton. “Mendapat inspirasi dari buku, majalah, koran, bahkan al-Quran, hadits sebagai referensi,” ungkapnya.
Terbiasa Membaca
Sejak SD, Fatoni sudah terbiasa membaca majalah Tempo, Surabaya Post, dan koran Merdeka. Jadi bagi Fatoni, harta terbesarnya saat ini adalah buku. “Saya nggak punya apa-apa tapi saya punya ratusan buku, sampai kehabisan rak,” ungkapnya.
Maka tidak heran, saat SMA—tahun 1984-1987—dia sudah mampu rajin menulis di majalah dinding. Zaman itu belum ada media sosial seperti sekarang. Selain itu, sekolahnya juga belum punya majalah.
Kini, tulisannya sudah tergolong baik, menembus kolom Jawa Pos (juga dulu di harian Surya dan Surabaya Post. Fatoni menyarankan para siswa untuk membaca opininya—bisa ditemukan di Google—yang dia tulis secara ringan.
“Jangan bayangkan opini itu seperti jurnal ilmiah yang akademis!” terang penulis kolom Buletin Jumat Hanif sejak tahun 1996 itu.
Bacaan Kontekstual
Meski butuh teks untuk referensi, tapi Fatoni menegaskan, tulisan yang baik itu tulisan yang kontekstual. “Tulisan yang dihiasi pengalaman-pengalaman penulisnya saat berinteraksi,” ujarnya.
Dia mencontohkan Iman Supriyono, konsultan bisnis yang punya kolom rutin di majalah Matan. Sebagai penulis rutin, menurutnya Iman—juga menjabat sekaligus Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PWM Jatim—punya tantangan berat.
“Harus membuat tulisan-tulisan yang berbeda dengan tulisan lainnya, (sehingga) harus banyak berinteraksi di luar untuk memberikan inspirasi menulis,” ungkapnya.
Iman Supriyono, katanya, selalu menulis dari apa yang dialaminya. Begitu pula ketika Dahlan Iskan menulis, dia memperhatikan ‘teks’ yang terhampar di alam semesta ini. “Beliau selalu bercerita pengalamannya berjumpa dengan orang lain, yang menarik, akan dia tulis,” ujarnya.
Dari interaksi sosial itulah menurutnya buku kehidupan yang kontekstual, yang selalu hangat dibicarakan. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah