Mengapa Nabi Ibrahim Disebut Khalilullah?” oleh M. Anwar Djaelani, aktivis Islam tinggal di Sidoarjo.
PWMU.CO – Khalilullah, kekasih Allah. Itulah, sebutan untuk Nabi Ibrahim alaihissalam (AS). Predikat tersebut sangat tepat. Disematkan kepadanya, lantaran ‘bapak para nabi’ itu selalu membenarkan apapun yang datang dari Allah.
Selanjutnya, Allahu Akbar! Seperti Ibrahim AS, performa keluarganya (dalam hal ini istri dan anak) juga mempesona. Untuk itu, mempelajari perjalanan hidup mereka, sungguh bermanfaat. Hal ini, karena dari mereka kita akan menyaksikan berbagai demonstrasi pengorbanan dalam meraih Ridha Allah.
Ibrahim lulus dari berbagai ujian. ”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya” (al-Baqarah 124).
Ibrahim diuji ketika berusaha “menemukan” siapa Tuhan: Bintang-kah? Bulan-kah? Matahari-kah? Atau, Tuhan itu haruslah sesuatu yang tak tergantung/dipengaruhi oleh sesuatu yang lain? (al-Anam 74-83).
Ibrahim diuji ketika berani mendakwahi penduduk negerinya sendiri (termasuk ayahnya, juga Namrudz rajanya). Mereka, penyembah berhala (baca asy-Syuara 69-104)
Ibrahim diuji ketika harus memilih: Lebih menyukai kampung halaman sendiri atau hijrah ke tempat lain karena dakwahnya tak mendapatkan sambutan (al-Ankabut: 26).
Ibrahim diuji ketika sampai di usia 80 tahun, tak berputra. Kemudian, ketika pada akhirnya berputra, Allah masih juga mengujinya: “Korbankan Ismail!”
Atas ujian super-berat itu Ibrahim pun tetap taat kepada Allah. Dia laksanakan perintah Allah itu dengan sepenuh ketundukpatuhan seorang hamba.
Sementara, ada episode lain yang tak kalah menggetarkan. Hajar, istri Ibrahim AS sekaligus ibunda Ismail AS cemerlang menunjukkan karakternya sebagai wanita shalihah. Dia memeragakan dengan baik ketaatan seorang hamba kepada Allah. Juga, kesetiaan seorang istri kepada suami yang shalih. Pun, keikhlasan seorang ibu yang meletakkan dasar-dasar ketauhidan bagi putranya.
Bahwa, atas titah Allah, Ibrahim beserta keluarganya hijrah ke Mekkah. Setelah itu, Ibrahim segera pergi meninggalkan Hajar dan Ismail di tempat yang-ketika itu-belum berpenghuni dan gersang.
Ditinggal sendirian bersama Ismail AS (yang masih menyusu) di “tempat tak bersahabat” dan dengan perbekalan yang terbatas, Hajar ridha. Hanya saja, sebagai manusia, sempat muncul kekhawatiran yang lalu Hajar ungkapkan kepada Ibrahim: “Ke mana engkau akan pergi? Untuk siapakah engkau meninggalkan kami di lembah yang gersang dan mengerikan ini?”
Ibrahim tak menjawab. Dia terus melangkah.
Atas hal itu, Hajar lalu mengulang-ulang pertanyaannya. Dia berharap belas-kasih sang suami yang tak kunjung menjawab dan terus menjauh.
Hajar-pun berseru: “Allah-kah yang memerintahmu?”
Untuk pertanyaan terakhir itu, Ibrahim As menjawab: “Benar!”
Hajar lalu berkata: “Jika demikian halnya, maka Allah tak akan menyia-nyiakan kami.”
Selanjutnya, lihatlah! Ketika perbekalan air habis dan Ismail membutuhkannya, Hajar berikhtiar mencarinya. Hajar berlari kecil menuju bukit Sofa. Dari ketinggian bukit itu, dia berharap bisa melihat (sumber) air. Tapi, tak ditemukannya.
Lalu, Hajar, dengan masih berlari-lari kecil, menuju bukit Marwah. Dari bukit inipun tak dilihatnya (sumber) air. Berkali-kali Hajar mengulang melihat dari ketinggian bukit Sofa lalu berganti dari bukit Marwah.
Sejurus kemudian, Allah lalu “menghidangkan” (sumber) air zamzam tak jauh dari Ismail As. Inilah isyarat berbalasnya sikap tunduk-patuh seorang hamba kepada Allah.
Kembali ke sepenggal kisah Ibrahim AS di atas. Bahwa, pada akhirnya Ibrahim berputra.
Lalu, ada fragmen yang menggetarkan: Korbankan Ismail! Perhatikan ayat ini: ”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ’Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ’Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (ash-Shafat 102).
Ismail AS dengan sabar menerima situasi super-sulit itu. Tak ragu-ragu Ismail menyatakan sikap ketundukpatuhannya kepada Allah lewat kalimat: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Di sisi lain, pada diri Ibrahim sempat terjadi pertarungan batin: Cinta Allah atau sayang anak. Di titik ini, yaitu terutama di saat-saat kritis, seperti biasa setan menggoda iman. Tapi, Ibrahim As menggeleng. Dia tak akan tunduk kepada setan. Ibrahim As bertekad untuk hanya selalu membesar-besarkan Allah dan mengecilkan yang selain-Nya.
Allah kemudian membalas sikap ketundukpatuhan Ibrahim As dan Ismail As. Caranya? Perhatikan ayat ini: “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (ash- Shafat 107). Allahu-Akbar!
Keluarga Strategis!
Iman di diri Ibrahim, Hajar, dan Ismail memberi mereka keyakinan. Bahwa, Allah tak akan menyia-nyiakan hamba yang berbakti kepada-Nya.
Ibrahim dan keluarganya adalah teladan. Benar, teladan dalam hal kekokohan aqidah. Teladan dalam hal ketundukpatuhan kepada apapun yang menjadi ketentuan Allah.
Keluarga dengan performa seperti Keluarga Ibrahim, sungguh mempesona. Keluarga dengan kualifikasi seperti itu benar-benar akan bisa memainkan peran paling penting dalam “pembangunan” sebuah kaum. Ini mudah kita pahami, sebab di dalam keluarga-lah kali pertama fondasi aqidah dipancangkan. Pada gilirannya, kuatnya aqidah seseorang dan kokohnya aqidah suatu keluarga akan mewarnai performa suatu kaum.
Ibrahim As dan keluarganya patu kita teladani. Untuk itu, Allah tak cukup sekali meminta kita “membaca” Ibrahim As. “Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim” (asy-Syuara 69). “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan, lagi seorang Nabi” (Maryam 41).
Sebagaimana Ibrahim As, selalulah ikhlas berserah diri kepada Allah. “Dan, siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia-pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan, Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya” (an-Nisa 125).
Seperti Ibrahim AS dan keluarganya, selalulah besarkan Allah dan kecilkan yang selain-Nya. Senantiasalah tunduk dan patuh kepada-Nya. Dahulukanlah untuk sesegera mungkin berkorban di jalan Allah dengan cara menunaikan segenap perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Sungguh, hanya dengan bersikap seperti itulah, insya Allah semua persoalan yang kita hadapi dapat kita selesaikan dengan baik. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar! (*)
Mengapa Ibrahim Disebut Khalilullah?: Editor Mohammad Nurfatoni