Menerima Anak yang Biasa Saja, justru Luar Biasa! Kolom oleh Sayyidah Nuryah SPsi, Konselor Bimbingan Konseling di SD Muhammadiyah 2 GKB (Berlian School) Gresik.
PWMU.CO – Wajar jika orangtua ingin anaknya menjadi bagian “pelari” di jalur tercepat. Cepat bisa ngomong. Cepat bisa merangkak, jalan, lari. Cepat paham informasi dan mengerjakan sesuatu. Lulus sekolah cepat, nanti cepat bekerja, dan seterusnya. Luar biasa pokoknya!
Wajar. Karena kini tinggal di dunia dengan arus informasi yang nggak lagi sederas air, tapi sekelebat kilat. Tinggal klik saja, bisa dapat akses semua yang dicari. Tapi, apa iya kita ingin anak kita menjalani hidupnya sekilat itu?
Kalau bisa nggak cuma tercepat, tapi juga terbaik. Karena cepat saja tidak cukup untuk bertahan di dunia yang semua sudah serba cepat ini. Yang tercepat akan jadi biasa-biasa saja—atau justru membuat tidak nyaman—kalau hanya sekadar cepat.
Baru dipanggil, “Nak! Tolong bantu bund- ….” anak sudah di samping kita dalam sekejap. “Lho kamu anak bunda atau anak apa kok cepat banget munculnya?” Medeni (seram), ya!
Tentu orangtua lebih senang jika dengan santun dan santainya anak segera menjawab, “Iya Bunda, apa yang bisa aku bantu?”
Kalau dalam konteks hubungan orangtua-anak yang lebih akrab, anak mungkin juga merespon dengan kata ‘inggih’, ‘siap’, ‘oke’ atau istilah lainnya yang mencerminkan kesigapan anak patuh pada orangtuanya.
Memang butuh bonus beberapa detik untuk anak cepat merespon dengan etika itu, tapi yang demikian lebih afdhal diterima, bukan?
Terbiasa dengan yang Biasa
Punya anak dengan segudang prestasi dan sederet kelebihan diri tentu jadi kebanggaan orangtua. Seakan dengan prestasi dan berbagai kelebihan itu anak dapat golden ticket untuk diterima dan disayang sepenuhnya.
Sejauh ini, pernahkah saat duduk santai, berangan-angan punya anak yang tumbuh menjadi sosok ‘biasa’ saja? Yang ketika dia bangun tidur, menjalani hidupnya dengan biasa. Sebagaimana dia memang seorang manusia biasa yang menjalankan peran manusiawinya.
Biasa saja … Saat anak bangun tidur dan membuka matanya perlahan, dia mengucap hamdalah dan berdoa sebagai wujud syukur masih hidup di dunia. Sambil merasakan terpaan sinar matahari, anak bersyukur masih bangun dalam keadaan sehat dan terlindungi dari segala penyakit mengerikan.
Biasa saja … Setelah mandi, bukannya sarapan dan bersiap rapi di depan gadgetnya untuk ikut kelas daring. Alih-alih, sesekali dia merengek ingin lebih lama ‘berjemur’ di teras. Dalilnya berjemur, padahal sinar matahari masih ungup-ungup.
Dia hanya ingin merasakan sepotong dunia luar dan kebebasan sebentar. Sudah lama pandemi ini merenggut keleluasaannya bermain dan bertualang dengan teman-temannya.
Juga biasa saja, semangat berkompetisinya kali ini menurun. Padahal sedang banyak lomba daring berseliweran di medsos atau grup kelas. Dia sedang letih, ingin menarik napas sejenak dari diburu jadwal latihan setiap pekan atau suasana tegang ruangan lomba.
Sekilas mungkin tampak sudah biasa, bahkan terlewat biasa. Karena tidak muncul sekali-dua kali di pandemi ini. Mulai terbiasa muncul berkali-kali.
Dari hal biasa itu, akhirnya muncul keluhan, “Apa istimewanya anakku? Ah, padahal aku sudah begini-begitu kok dia jadi anak yang biasa saja!”
Mungkin saat itu lupa, bahwa sebiasa-biasanya anak dan selambat-lambatnya dia berkembang, dia tetap istimewa.
Menerima yang Biasa Saja, justru Luar Biasa!
Orangtua menerima, menyayangi, dan membanggakan anak ketika anak sedang melakukan hal-hal luar biasa itu sudah biasa. Sebagaimana biasanya manusia bersyukur saat diberi rezeki oleh Allah SWT di kala senang.
Jadi segala wujud bahasa cinta terungkap kepada anak di momen itu. Langsung mengapresiasi, memeluk, memberi hadiah, meluangkan waktu untuk mendengarnya, atau berbagai wujud cinta lainnya.
Tapi, seberapa sering menerima, menyayangi, dan membanggakan anak di saat dia sedang biasa-biasa saja? Dalam kondisi ini—Ketika mendengar adzan, dia langsung mengarahkan mouse-nya untuk menutup sejenak game online dan situs laman belajar daring. Bergegas wudhu dan shalat. Kemudian murajaah satu hafalan suratnya—misal, seberapa sering mengungkap wujud cinta itu?
Juga dalam kondisi biasa lainnya. Bagaimana anak menikmati dan menghayati setiap langkah kecilnya saat ini, di sini. Menghadirkan segenap pemikiran sekaligus perasaannya dalam melakukan hal-hal sederhana. Kalau istilahnya sekarang, mindful.
Ataupun, saat anak memang masih belum menemukan potensi dan kekuatan dirinya. Masih meraba-raba hobinya, selain main game online. Dan masih belum berada di jalur cepat bersama ‘pelari’ lainnya.
Di pandemi ini, tak perlu begitu mencemaskan pencapaian dan hal-hal luar biasa anak kita. Apalagi mengukur keluarbiasaan anak dengan kacamata harapan kita sendiri. Juga membandingkan ya dengan kacamata anak lainnya.
Bukan berarti memaklumi dan membiarkan sikap malas dan kotraproduktif lainnya. Hanya saja, tidak perlu menyalahkan atau memaksakan keinginan agar anak selalu berlari cepat. Apalagi ketika dunia sedang mengizinkan untuk beristirahat sejenak.
Anak-anak sudah mendapat tekanan dari berbagai efek samping situasi pandemi ini. Wajar jika mereka sedikit lambat dalam melangkah. Bahkan, bisa jadi situasi pandemi ini tercipta agar kita tak lupa, anak kita—dan kita semua—memang manusia biasa dengan segala manusiawi yang melekat dibalik kebiasaannya.
Pandemi ini rasanya saat yang tepat untuk menggenapkan cinta kepada anak-anak kita. Di saat mereka sedang tidak baik-baik saja dan masih biasa-biasa saja menjalankan perannya.
Agar mereka juga belajar, bahwa demikianlah cara mencintai seratus persen tanpa embel-embel luar biasa yang melekat di diri mereka. Unconditionally.
Selamat Hari Anak Nasional 2021 (*)
Editor Mohammad Nurfatoni