PWMU.CO – Perjuangan sang Guru Sembuh dari Covid-19. Retno Endah Sawitrie, yang sehari-hari sebagai guru di SMA Negeri 1 Mlati, Sleman, bercerita dan berbagi pengalaman ketika bergelut dengan Covid-19 di ruang isolasi.
Sebetulnya, dia sudah merasakan sakit sejak akhir Juni 2021. Tepatnya setelah urusan rapot selesai. “Saya merasakan asam lambung tidak beres alias kambuh,” kata Retno, Jumat (23/7/21).
Dia menjelaskan sakit yang diderita beberapa hari sembuh. “Alhamdulillah sembuh, tapi disambung dengan diare yang tidak terlalu parah yang dirasakam selama tiga hari.”
Episode berikutnya, sambung dia, tiba-tiba dia merasa lehernya kering disertai batuk dan pilek. “Perasaanku mulai khawatir, meski aku tanpa demam,” kata Retno yang lantas periksa ke klinik dan mendapatkan obat batuk-pilek.
Penciuman Terganggu
Perasaannya tambah kecil saat penciumannya mulai terganggu dan akhirnya hilang sama sekali. Dia pun mencari info di media sosial (medsos) untuk mengembalikam indera penciuman.
“Mulai melakukan terapi minyak kayu putih diuap, diteteskan di tisu, lalu dimasukkan hidung, minum air kelapa hijau dengan racikannya,” ujarnya.
Tanggal 5 Juli 2021, dia mulai merasa lemah. Banyak tiduran saja. Aktivitas makan minum mulai banyak dilayani di atas tempat tidur. Tak sedikit pun Retno punya nyali ke rumah sakit saat info Covid-19 sedang menjamur dahsyat di wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada tanggal 7 Juli 2021 malam, dia tak kuasa berdiri saat ingin bangun. “Mulailah saya terpaksa dibopong anakku dan teman-temannya yang saat itu mungkin akan bersama-sama mensyukuri nikmat,” kata Retno.
Pada hari itu anaknya semata wayang, Fatya Krisna Huntara selesai ujian pendadaran S1-nya di Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Dia lantas dimasukkan ke dalam mobil suaminya, Bawa Krisnandita, dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sleman dan Rumah Sakit Akademik (RSA) Universitas Gadjah Mada (UGM) menolak.
“Alasannya, IGD penuh pasien Covid-19,” katanya terisak.
Akhirya, dia dibawa ke RS Queen Lathifa (QL). Di rumah sakit ini lantas diswab sebagai syarat ditangani di IGD.
“Saya positif Covid-19,” terangnya.
Mendengar hal tersebut habis hatinya. Ternyata, IGD QL akhirnya tidak menanganinya sama sekali. Alasannya, ruang Covid-19 cuma ada satu dan sudah ada pasien.
Penyakitnya makin Parah
Retno yang aktif di Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kabupaten Sleman sejak periode 2010, dibawa pulang dengan diberi obat sebongkok.
Langsung malam itu via WhatsApp dia laporan ke Gugus Covid-19 desa tentang status positif Covid-19. Hingga pagi, kondisinya makin parah dan akhirnya lemas.
Pada 8 Juli 2021, akhirnya ada koordinasi dengan Gugus Tugas Covid-19. Dia pun dijemput dengan ambulans Covid-19.
Seperti tak banyak berharap, dia lantas diangkat dari tempat tidur beserta selimut yang membalut badannya kemudian dibawa ke RSUD Sleman.
Karena bersama petugas, akhirnya dia diterima juga meski akhirnya hanya ditempatkan di ruang sementara untuk dapat ruang bangsal.
“Saat itu saya tidak sesak nafas. Sehari semalam oxynya dan tensi jantungnya selalu dipantau dengan dipasang alat detek. Malam itu, saya dapat keputusan besok pagi masuk bangsal khusus Covid-19,” terangnya.
Setelah di bangsal tidak boleh ditunggu. Mendengar penjelasan itu, habis sudah hatinya.
“Saya menangis sejadinya. Beribu bayangan yang akan sangat ditakutkan selama ini, terlintas. Tapi, hal itu harus saya jalani juga,” akunya.
Nafas Sesak
Retno masuk bangsal isolasi Covid-19 pukul 12.00 WIB siang. Di ruang yang cukup luas dan sendiri, saat itu dia masih cukup punya tenaga untuk menggerakkan badan.
Malam hari pertama di bangsal Covid-19 pukul 21.00 WIB, tiba-tiba dia merasakan tubuhnya melemah. “Saya takut sekali,” ujarnya.
Hingga akhirnya kondisi Retno terus melemah. Untung, dia bisa meraih handphone untuk hubungi perawat minta pertolongan darurat.
Memakan waktu 30 menit, mereka baru datang karena memang harus melakukan persiapan dengan alat pelindung diri (APD) lengkap saat masuk ruang pasien.
Nafasnya pun mulai agak sesak. Pikirannya mulai sangat ketakutan karena dia tidak bisa menggerakkan badannya sama sekali. “Lemas seperti pepes,” tandasnya
Akhirnya, tubuh Retno lalu dipasang oksigen. Waktu itu keadaannya sangat buruk, sampai-sampai perawat bilang untuk hubungi keluarganya. Begitu. Meski akhirnya tidak jadi.
“Beberapa menit saja para perawat yang menemani dan meminta saya tenang. Saya pun diminumi obat dengan cara disuap karena jari-jarinta tak kuasa bergerak,” ceritanya.
Kemudian, dia ditinggalkan sendirian. Di situlah kondisi awal Retno yang seakan diujung tanduk maut kalau tidak bisa tenang.
Hanya Bisa Pasrah
Waktu itu, Retno hanya bisa pasrah dan berdzikir terus dengan mulut dan hatinya mohon kepada Allah SWT agar menolongnya. Sampai akhirnya, pada pagi hari, perawat datang. Mereka cek keadaannya dan menginfokan akan dipindah di ruang yang ada teman.
Pikirannya lantas bertanya, “Teman?” Melihat keadaannya yang semakin parah atau tidak, tetap saja Retno menjalani apa yang disampaikan perawat.
Retno pun dipindah di ruang yang sekamar berdua dengan sekat kaca saja. “Dan badan saya masih lemas tak bertenaga,” ungkapnya.
Ruang tanpa Ventilasi
Di ruang yang baru, Retno harus tinggal dengan cahaya lampu besar tanpa ventilasi. Hanya ada kipas kecil yang selalu menyala di ujung pintu.
Kondisinya masih lemas, panas, dan tidak bisa bergerak. Selama dua hari Retno drop sama sekali dan tidak bisa menyentuh HP.
“Saya hanya dzikir dan dzikir serta membaca ayat-ayat pendek. Itu yang selalu dijadikan kekuatannya,” katanya.
Setiap perawat datang di pagi, siang, dan sore hari, dia hanya mampu makan beberapa sendok saja. Itu saja disuapi dan tak lupa minum obat.
Dalam keadaan begitu, tiap pagi Retno disuntik obat tiga ampuls dan kemudian digelontor antibiotik 1,5 botol plus minum pil sebanyak 11 butir. Siang dan sore minum pil dan malam hari suntik plus pil.
Saat-saat begitu Retno lantas minta dibukakan air mineral botol. Lalu diberi selang dan dikempit diketiaknya untuk tiap saat bisa minum tanpa meraih botol oleh karena badannya yang lemas.
Muncul Kekuatan
Pada hari ke-3, mulailah muncul kekuatan yang bergerak dalam tubuh Retno. “Alhamdulillaah,” ungkapnya.
Tapi, apa yang terjadi selanjutnya? Syaraf dalam badannya selalu minta untuk bergerak sendiri. Tidak bisa tenang, apalagi diam. Bahkan kakinya susah diluruskan karena berasa sakit saat diam.
Bisa dibayangkan ketika badan berada di bed yang panas dan berselimut. Itu pula yang dirasakannya. Badan bergerak terus tidak bisa untuk diam. Tidak tidur. Menghitung jam-jam berlalu setiap saat.
Merasakan hal itu, Retno lantas menanyakan hal tersebut pada perawat soal sakitnya sekarang ini. Saat menyampaikan keluhan apa yang dirasakannya, perawat itupun bilang, “Mungkin ibu aktif saat sehat. Jadi, syaraf pada begitu.”
Retno pun disuruh untuk sabar, tenang, optimis oleh perawat.
Sudah Bisa Pegang HP
Hari ke-5 Retno mulai sedikit tenang, lemas berkurang, sudah bisa pegang HP, bisa meraih minuman susu dan kacang hijau yang selalu tersedia di atas meja samping tidur dengan memiringkan badan.
Pelan-pelan Retno pun mulai tambah tenang. Meski berat sekali yang dirasakannya. Apalagi saat pegang HP untuk lihat WA dan berita yang dia dapat banyak berita duka.
“Sejak suaminya meninggal karena Covid-19 dan share pemakaman yang memilukan. Juga ada teman dan tetangga yang meninggal karena Covid-19.”
Hati Retno sering menciut. Kalau sudah begitu, Retno hanya bersandar pada Allah SWT dengan berdzikir dan dzikir.
Hari ke-6 Retno mulai agak baikan. Pelan-pelan disemangati tubuhnya tersebut agar harus segera bisa bergerak jika ingin sembuh.
Kondisi Retno semakin sehat serta semakin kuat. “Saya belajar duduk meski gemetarnya minta ampun,” katanya.
Hari ke-7 Retno ingin pup karena sejak pertama masuk rumah sakit tidak bisa pup. “Ya Allah, betapa tersiksanya waktu itu. Ditambah lagi perut sakit,” kata Retno.
Waktu itu, bukan saat ada jam perawat dan tidak bisa pup di pampers. Tapi turun ke WC pun tidak mungkin dengan kondisinya seperti itu.
Akhirnya, setelah Retno menunggu berjam-jam perawat pun datang. Dia dibantu dan ditunggu di WC. Setelah itu, dia yakin akan bakal sembuh, kuat dan dengan semangat lebih.
Dua hari kemudian, Retno bilang ke perawat kalau minta dilepas cuteternya agar bisa bergerak lebih nyaman.
“Perawat jangan bilang tidak boleh dengan alasan kalau saya masih lemas,” kelakarnya.
Retno bilang ke dokter saat visit kalau badannya sudah kuat duduk. Dokter pun bilang, “Yang sabar, yakin pulih, dan ibu aman.”
Sudah Boleh Pulang
Retno berdoa kepada Allah SWT, andai di antara dia sekamar harus ada yang pulang semoga bersama. Karena jika sendirian di kamar bisa-bisa imun drop lagi.
Akhirnya benar. Pagi-pagi dokter visit, lalu bilang kalau Retno sudah boleh pulang dilanjut isolasi di rumah.
“Alhamdulillaah saya jadi plong,” katanya gembira.
Diceritakannya, temannya sekamar sesama pasien Covid-19 sudah parah waktu diisolasi di rumah sakit. Waktu itu kondisinya kurang baik. Besar kemungkinan justru fatal. Oleh karena sakit parah, sendirian tanpa orang yang menjaga, ditambah lingkungan, banyak korban berjatuhan.
“Hal itu jelas bikin drop imun. Itulah kenapa di ruang isolasi Covid-19 kematian banyak terjadi,” katanya.
Saat Retno berkemas untuk pulang pun masih terdengar ruang di sebelahnya ada tangis. Hatinya pun lalu kecil lagi. “Untung, saya segera dijemput,” paparnya.
Alhamdulillaah, kini Retno mendapat kesempatan panjang umur. “Semoga segera pulih dan sehat selamanya. Semoga pula semua teman senantiasa sehat selalu dan terbebas dari Covid-19,” ujarnya.
Jangan Abai
Bagi Retno, salah satu ayat tanda kekuasaan Allah SWT adalah Dia ciptakan makhluk yang sangat kecil. Bahkan, tak kasat mata telanjang manusia.
“Tapi dia berbahaya jika manusia abai dengannya,” kata Retno.
Itulah virus Corona. Maka, barangsiapa tidak percaya pada ciptaan-Nya, bertanyalah pada diri, termasuk golongan manakah saya dihadapan-Nya?
Semoga yang merasakan tanda kuasa-Nya sebagai ujian dari Allah SWT diberikan kesabaran dan kesembuhan. Tentu dengan wajib ikhtiyar.
Bagi yang terhindar darinya, maka sungguh itupun ujian Allah SWT agar jangan sombong sedikitpun. Semua dalam kehendak dan keputusan-Nya setelah manusia berusaha. (*)
Penulis Affan Safani Adham. Editor Ichwan Arif.