Yunus Anis, Imam Tentara yang Pimpin Muhammadiyah, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh Islam.
PWMU.CO – Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962 bernama KH M Yunus Anis. Lelaki ramah yang pernah berguru ke Ahmad Surkati ini tangguh dalam berdakwah. Berpostur gagah beliau sempat menjadi Imam Tentara.
Yunus Anis putra dari pasangan Haji Muhammad Anis dan Siti Saudah. Dia lahir di Kauman Yogyakarta pada 3 Mei 1903. Di keluarga, dia sulung dari sembilan bersaudara. Adapun sang ayah adalah kawan seperjuangan KH Ahmad Dahlan.
Hal lain, Yunus Anis berparas tampan. Beliau tercatat sebagai keturunan ke-18 dari Raja Brawijaya V. Dengan demikian, beliau berhak menyandang gelar Raden.
Pandai dan Cakap
Pendidikan awal didapatnya dari sang ayah dan kakeknya. Dari mereka berdua, Yunus Anis mendapatkan fondasi keilmuan yang utama yaitu pelajaran membaca al-Quran dan pendidikan akhlak.
Adapun untuk pendidikan formal, beliau memulainya dari Sekolah Rakyat Muhammadiyah Yogyakarta. Lalu, berlanjut di Sekolah Al-Atas dan Sekolah Al-Irsyad di Jakarta. Di dua sekolah yang disebut terakhir itu, Yunus Anis dibimbing oleh Syaikh Ahmad Surkati, sahabat dekat KH Ahmad Dahlan.
Sebagai hasil dari pendidikan yang dijalaninya, Yunus Anis terbentuk menjadi mubaligh yang cakap. Dia cakap berdakwah, aktif terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat di berbagai daerah Tanah Air untuk menyebarkan risalah Islam. Pada saat yang sama, dia sebarluaskan pula misi gerakan Muhammadiyah.
Jejak pergerakan dakwah Yunus Anis terbentang luas di berbagai daerah. Sekadar catatan, beliau pernah berdakwah dan mukim di Sigli, Aceh dan Padangpanjang – Sumatra Barat. Pernah pula beliau tinggal dan bedakwah di Makassar, Sulawesi Selatan dan Alabio, Kalimantan Selatan.
Di berbagai daerah yang dimukiminya itu, Yunus Anis merintis usaha agar Muhammadiyah berkembang. Tercatat, bahwa dia banyak mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah.
Secara umum, Yunus Anis dikenal pandai mengelola organisasi termasuk administrasi keorganisasian. Maka, tak mengherankan jika kecakapannya itu bisa mengantarkan Yunus Anis untuk dipercaya, antara lain, sebagai pengurus Muhammadiyah Jakarta.
Pesona Itu
Ada masa, Yunus Anis kembali ke Yogyakarta karena diminta membina bagian pemuda, Hizbul Wathan. Amanat ini diterimanya dengan sepenuh semangat.
Lihatlah, beliau bersungguh-sungguh dalam membina para pemuda itu. Dibinanya generasi muda agar kreatif dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai Islam. Besar harapan, sebagai generasi penerus, mereka akan memiliki berbagai kecakapan yang bisa digunakan untuk menjunjung tinggi kejayaan agama dan bangsanya.
Alkisah, dalam sebuah apel besar yang diselenggarkan di Alun-Alun Utara Yogyakarta, Yunus Anis tampil membangkitkan semangat pemuda yang tergabung di Hizbul Wathan. Apa yang dilakukannya?
Yunus Anis hadir di tempat acara sambil menunggang kuda untuk memeriksa barisan. Lewat postur tubuh yang tinggi besar dan gagah, jelas terpancar sosok kepemimpinan yang tegas. Sungguh berkesan, karena mampu menerbitkan kebanggan bagi para pemuda yang hadir.
Berbagai capaian dakwah Yunus Anis yang tak sedikit itu, menjadi salah satu pertimbangan Muhammadiyah untuk memberi Yunus Anis berbagai amanat yang lebih ‘tinggi’. Misal, pada 1953-1958 Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris (Umum) Pimpnan Pusar Muhammadiyah.
Sang Imam
Pada 1954, Yunus Anis masih memegang amanat sebagai Sekretaris (Umum) Pimpnan Pusat Muhamadiyah. Di tahun itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengangkat Yunus Anis sebagai Kepala Pusat Rohani Angkatan Darat.
Orang yang berposisi di jabatan itu akrab disebut Imam Tentara. Tugasnya, memberikan pembinaan mental keislaman dan kebangsaan terhadap para tentara. Tujuannya, menumbuhkan kecintaan terhadap Tanah Air sekaligus nilai-nilai ajaran Islam.
Pengangkatan tersebut bukan tanpa alasan. Bahwa, di zaman pendudukan Jepang, Yunus Anis pernah bergabung dalam struktur Pembela Tanah Air (PETA).
Terutama sejak saat menjadi Kepala Pusat Rohani TNI-AD itu, nama Yunus Anis kian masyhur di kalangan militer Indonesia. Di saat menjadi Imam Tentara itu, Yunus Anis dekat sekali dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) kala itu yaitu Jenderal Abdul Haris Nasution.
Di Situasi Sulit
Nama Yunus Anis makin bersinar. Pada Muktamar Ke-34 Muhammadiyah di Yogyakarta, dia terpilih sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962. Dalam muktamar itu, dia mengemukakan gagasan tentang “Kepribadian Muhammadiyah”.
Selanjutnya, di masa kepemimpinannya, Yunus Anis menghadapi masa-masa yang penuh tantangan. Mari rasakan kondisi negeri saat Yunus Anis mendapat amanat sebagai Ketua Umum PP Muhamadiyah. Masa-masa di ketika itu termasuk berat untuk dilalui karena berbagai masalah yang timbul.
Cermatilah, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyatakan bahwa kita kembali ke UUD 1945. Menyusul itu, timbul berbagai peristiwa politik yang tidak sehat, terutama berbagai manuver yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam situasi seperti itulah, Yunus Anis memimpin Muhammadiyah.
Sejarah bergerak. PKI kian dekat dengan Presiden Soekarno. Pembubaran secara paksa Masyumi pada 1960 berdampak negatif terhadap umat Islam. Di parlemen, bisa dibilang, kepentingan umat Islam menjadi tidak terwakili.
Dalam situasi sulit itu, Yunus Anis diminta oleh sejumlah kalangan—termasuk oleh AH Nasution—agar berkenan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Kala itu, keanggotaan DPR-GR sedang disusun oleh Presiden Soekarno. Artinya, anggota parlemen tak dipilih melalui mekanisme pemilihan umum.
Atas permintaan tersebut, Yunus Anis bersedia. Hanya saja, sikapnya itu lalu menuai kritik dari sejumlah tokoh Muhammadiyah. Kritik muncul karena saat itu Muhammadiyah dalam posisi tidak mendukung kebijakan Soekarno yang membubarkan Masyumi. Juga, karena Soekarno dinilai otoriter dalam penyusunan anggota parlemen.
Atas kritik itu, Yunus Anis menjawabnya dalam ungkapan yang sederhana. Bahwa, dia bersedia menjadi anggota parlemen bukan untuk kepentingan politik jangka pendek. Kata dia, itu untuk jangka panjang yaitu mewakili umat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen di kala itu. Intinya, dalam pandangan Yunus Anis, jangan sampai suara-suara umat Islam tak ada sama sekali.
Di Antara Jejak
Pertama, dalam periode kepemimpinannya di Muhammadiyah, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Awal gagasan ini disampaikan Yunus Anis, seperti telah disebut di depan, pada Muktamar Ke-34 Muhammadiyah pada 1959.
Adapun perumusannya dilakukan oleh sebuah tim yang dipimpin oleh KH Faqih Usman. Selanjutnya, secara resmi naskah Kepribadian Muhammadiyah diputuskan dalam Muktamar Ke-35 Muhammadiyah tahun 1962. Momentum itu bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.
Kedua, pada situasi sulit di sekitar awal 1960-an, Yunus Anis mampu memimpin Muhammadiyah untuk tetap pada jati dirinya. Yunus Anis tetap memosisikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar.
Ketiga, dalam hal keorganisasian, di masa kepemimpinannya Yunus Anis menata administrasi Muhammadiyah secara mengesankan. Dia tata dengan baik sebagaimana layaknya sebuah organisasi modern. Termasuk di dalamnya, dokumentasi Muhammadiyah dibenahi dan diatur rapi. Tentu, untuk aktivitas yang disebut terakhir itu, akan memudahkan penelitian dan penulisan bagi siapapun yang membutuhkanya.
Masih terkait paragraf di atas, pada kepemimpinan Yunus Anis, Majelis Pustaka sangat berperan. Peran itu berasal dari kontribusi bidang perpustakaan, dokumentasi arsip-arsip, dan penerbitan Muhammadiyah. Di samping hal-hal tersebut, Majelis Pustaka di kala itu banyak menghasilkan penerbitan biografi tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Almanak Muhammadiyah.
Yunus Anis wafat pada 1979. Selanjutnya, menjadi tugas kita untuk meneruskan (spirit) dakwahnya. Bahwa, sebagai pendakwah, kita harus siap bertabligh ke berbagai pelosok daerah.
Sebagai pendakwah, kita harus siap berhadapan dengan kalangan apapun termasuk dengan pemuda. Sebagai pendakwah, kita harus siap berkiprah di mana saja termasuk-jika diperlukan-di lingkungan militer. Sebagai pendakwah, jika situasi menghendaki, kita harus siap untuk tampil di jalur politik.
Sungguh, figur Yunus Anis memang inspiratif. Alhamdulillah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni