PWMU.CO – Pasti ada hikmah di balik krisis Covid-19, seperti yang disampaikan pengamat media sekaligus dosen UIN Sunan Kalijaga Robby Habiba Abror.
Robby mengatakan, masa keheningan adalah masa yang paling tepat untuk membaca kembali eksistensi kita, mengoreksi diri kita sendiri, dan mengevaluasinya untuk kehidupan yang lebih baik. Manusia yang otentik tidak pernah menyerah pada keadaan serumit apa pun.
Pasti ada hikmah di balik krisis dengan memahami takdir secara rasional. “Kita punya potensi kreatif untuk mereproduksi makna hidup dan lebih banyak berkontribusi secara sosial dengan selalu berpikir positif,” katanya, Jumat (23/7/21).
Dikatakan Robby, banyak waktu untuk memberi sumbangsih pemikiran dalam menyelesaikan berbagai persoalan agama, keluarga dan masyarakat. “Merenungkan kenyataan atas betapa cepat orang pergi mendahului kita, meninggal dunia karena terinfeksi Covid-19 dan wabah Covid-19 memberi banyak pelajaran penting kepada kita,” kata Robby.
Kepedulian dan kepekaan sosial dengan memberikan bantuan atau uluran tangan kepada orang lain yang membutuhkan, membuat kita dapat menghayati arti hidup yang fana ini. “Sumbangan pemikiran dan aksi-aksi nyata dapat menyalakan optimisme itu lebih terang,” tandasnya.
Menurutnya, selalu ada jalan keluar bagi setiap masalah. Kita menjadi lebih tangguh dan cerdas dalam menyikapi ujian ini dan yakin bahwa Tuhan tidak akan membiarkan wabah ini berlangsung berlarut-larut.
Problem Sosial
Kondisi ketidakpastian membuat masyarakat cemas dan berharap wabah ini segera berlalu. “Setiap orang merasakan tingkat kejenuhan dan merasa bosan berdiam diri di rumah,” papar Robby, Direktur Program ADiTV.
Alumnus Pondok Modern Gontor, Ponorogo, mengatakan, untuk saat ini memilih tetap tinggal di rumah dengan berbagai kesibukan selama lebih dari dua minggu bukan hal yang mudah dilakukan.
Menurutnya, kecemasan muncul atas bayangan terjadinya ledakan problem sosial yang kompleks, yaitu masa puncak Covid-19 tiba, ledakan pengangguran dan aksi-aksi kriminalitas.
Dalam masa isolasi di rumah, bagi Robby, setiap individu senantiasa berupaya mengisi keseharian dengan kegiatan rutin. “Intinya menyibukkan diri dan juga usaha mencari makna hidup,” kata Robby, tim penulis “Panduan Penelitian Etnografi” dan buku “Adab Mahasiswa di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah yang sedang diterjemahkan dalam bahasa Arab.
Menurut Robby yang bersama Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah membuat buku “Fikih Informasi” (Fiqh al-I’lam), dalam masa PPKM Darurat sebagian merasa lebih dekat bersama keluarga untuk mencairkan hubungan yang selama ini membeku.
“Sebagian lagi tak mampu membohongi diri sendiri, merasa kesal dan lelah dalam penantian tidak menentu,” kata Robby, yang selama ini concern pada disiplin ilmu filsafat, teologi dan tasawuf.
Hidup ini, seperti disampaikan Robby, butuh tindakan otentik agar tidak bingung dan terombang-ambing dalam ketidakpastian.
“Kita mulai memikirkan diri kita, membayangkan makna hidup dan mati yang begitu beda tipis waktunya. Apa yang kita rasakan dalam keheningan dan kesendirian bukanlah tindakan sia-sia,” tandas penyuka sepakbola dan pencak silat.
Butuh jalan ke luar dengan selalu bersikap optimis. “Dalam keheningan ada ruang yang luas bagi pemenuhan spiritualitas dan rasionalitas,” ungkap Robby yang sering berzikir untuk menyucikan hati.
Sikap dan visinya yang moderat dan toleran serta tetap berkomitmen teguh pada tauhid, membuatnya menjadi sosok yang mencintai ilmu. Selain juga mudah bergaul dan banyak teman dari berbagai kalangan, agama, aliran politik dan ideologi.
Kehilangan Orangtua
Dikatakan Robby, rahasia dari semua ini adalah spiritualitas dan seni. “Allah SWT itu mencintai keindahan dan tugas kita menciptakan keindahan dalam hidup kita agar senantiasa dicintai Allah SWT,” kata Robby yang pernah meneliti filsafat Islam dan syi’ah di Qum, Isfahan, Mashad dan Teheran, Iran, pada 2015 dan 2018. Ia juga melakukan riset tasawuf di Casablanca, Fez, Rabat dan Marrakesh di Maroko pada 2019.
Sosoknya yang kalem, pendiam dan murah senyum ini banyak yang menyangka dia orang Jogja asli. Padahal, dia orang Surabaya, Jawa Timur, yang menetap di Yogyakarta sejak 1997.
Laki-laki kelahiran Surabaya, 23 Maret 1978, pernah terpapar Covid-19 dan menjalani isolasi selama 23 hari di Gedung Pimpinan Pusat Aisyiyah Jl KH Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Oleh teman-temannya ia mendapat gelar LC atau Lulusan Covid-19. Orangtuanya Drs H Khusni Tauchid Ismail dan ibunya Hj Dewi Halimah juga wafat karena terpapar Covid-19 pada 2020 lalu.
Suami dari Hj Nanum Sofua SPsi SAnt MA ketika menyoal Covid-19, menjelaskan, jika empati dan uluran tangan kita terhadap saudara-saudara yang terdampak pandemi Covid-19 sangat dibutuhkan.
“Ada banyak hikmah di balik musibah kematian dan kita kembali dapat merenungkan makna otentik kita sebagai manusia,” kata Robby, Ketua Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam (AAFI) serta Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PWM DIY.
Kematian itu Misteri
Meski masih di tengah suasana pandemi Covid-19, Wakil Ketua ICMI Sleman dan KAHMI DIY ini tetap berkhidmat pada Persyarikatan Muhammadiyah dengan optimal. “Saya sebisa mungkin terus belajar produktif dalam berkarya dan bermanfaat untuk sesama,” kata Arek Suroboyo yang akrab disapa Cak Robby ini.
Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengingatkan, kematian itu misteri. “Tugas kita yang masih hidup untuk berusaha menciptakan keindahan dalam kehidupan ini dengan cara selalu menebar kebaikan dan kasih sayang terhadap sesama,” paparnya.
Bagi Robby, kematian yang indah hanya dapat diliputi oleh keteguhan iman dan amal shalih. (*)
Pasti ada hikmah di balik krisis Covid-19, Penulis Affan Safani Adham. Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.