PWMU.CO – Hoax Covid-19 Terbanyak di WhatsApp dan Telegram. Dokter Tirta M Hudhi menyatakannya pada diskusi yang digelar Pandemictalks di Instragram Live.
Mengangkat tema Senjata Pembunuh: Hoax Covid-19 Merajalela, pada diskusi Ahad (25/7/21) malam itu, juga hadir dokter lainnya. Seperti dr RA Adaninggar Sp PD dan dr Adam Prabata, kandidat doktor di Medical Science Kobe University.
Hoax Terbanyak di WhatsApp dan Telegram
Dokter Tirta menyatakan, sample hoax terbanyak itu memang di WhatsApp dan Telegram. “WhatsApp sama Telegram itu nggak bisa di-take down (diturunkan, dihapus),” terangnya.
Sejalan dengan dia, dr Adam Prabata dan dr RA Adaninggar alias dr Ning juga setuju bahwa wadah peperangan hoax tertinggi terjadi di grup WhatsApp. “Medan perangnya sebenarnya di WA ya,” ujar dr Ning.
Dokter Tirta menerangkan, penyebar hoax itu memanfaatkan celah dokter tidak bisa memfoto pasien sebagai bukti Covid-19 ada. “Dokter itu tidak boleh foto wajah, foto rekam medis, atau menyebarkan foto rumah sakit, foto ICU, itu tidak boleh!” urainya.
Karena itulah, menurut dr Tirta, para penyebar hoax selalu menagih buktinya. Dulu, ketika dia menangani pasien langsung di rumah sakit, dia sulit membuktikan keberadaan pasien Covid-19. “Ada larangan foto, itu kan cari buktinya susah,” ujarnya.
Mudah Counter Hoax via WhatsApp
Menurut dr Tirta, cara counter (menentang) orang yang percaya hoax saat ini lebih mudah. Sebab dia bisa menyajikan bukti via WhatsApp (WA). “Nah sekarang kalau WA enak banget!” komentar dokter yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Kartika Pulomas untuk membuka telemedicine gratis itu.
Kini, ketika ada orang yang menyatakan tidak percaya Covid-19 di Instragram-nya, dr Tirta langsung mengalihkannya ke WhatsApp dan memasukkan dia ke grup pasien Covid-19. Lalu meminta para pasien menjelaskan kepada orang itu.
“Yuk teman-teman, tolong ini ada yang mengaku nggak percaya Covid, tolong teman-teman 1500 pasien tolong di WA dia ya!” imbau influencer relawan Covid-19 itu.
Selain itu, dr Tirta bisa langsung meluruskan penyebar hoax-nya melalui telepon WhatsApp. Berbeda jika di medsos, penyebar hoax memungkinkan pakai akun palsu dan menyembunyikan identitasnya. Jadi dia tidak bisa langsung meluruskan hoax-nya.
“Aku sekarang nggak mau lagi berdebat di medsos, karena seru banget debat di WA!” komentar dokter yang sudah follow up (memantau) 3.650 pasien di program telemedicine gratisnya.
Dampak Tangkal Hoaks Jalur WhatsApp
Dampak menangkal hoax via WhatsApp itu, menurut pengakuan dr Tirta, akhirnya satu per satu orang yang tidak percaya Covid-19 melulu.
Tak hanya itu, berita mengenai lansia yang kritis karena dehidrasi sudah diangkat beberapa media. Sedangkan berita tentang obesitas juga sudah diangkat Deddy Corbuzier.
Akhirnya, netizen sekarang mulai paham risiko obesitas dan dehidrasi terhadap Covid-19. “Oh ternyata kalau gua obesitas, gue berisiko ya,” ujarnya menirukan netizen. Netizen yang obesitas pun mulai berolahraga.
Berani Bicara
Melihat maraknya hoax yang beredar di WhatsApp Group, dr Ning mengingatkan, hoax termasuk hal yang perlu kita perhatikan dan lawan.
“Karena sudah memberikan dampak yang berbahaya, jadi kita harus bantu dan berani melawan hoaks, paling tidak di grup WA,” tuturnya.
Dia memahami mengedukasi keluarga itu sulit. Karena budaya, kalau yang lebih muda menegur orang tua tidak sopan. Tapi menurutnya, harus berani bicara dengan baik jika menemui hoax.
“Nggak harus marah tidak sopan. Kalau diam aja, nanti di dunia ini dipenuhi orang-orang tidak waras. Kalau yang waras ngalah terus,” ujarnya.
Dokter Ning menyatakan, “Kita tidak bisa mengubah kehidupan orang banyak. Kalau kita mengubah kehidupan sau orang saja yang ada di grup itu lebih baik, daripada anda diam saja.”
Saring sebelum Sharing
Dokter Ning lalu menyarankan agar menyebarkan konten-konten dokter dan edukator untuk menginformasikan ke masyarakat. “Misal nge-share dari konten dokter Adam jadi gak perlu bantah-bantahan di situ,” tuturnya.
“Kalian tinggal forward itu, saring dulu sebelum sharing!” tambahnya.
Dokter Tirta pun menekankan pentingnya informasi yang bertanggung jawab. Menurutnya, perlu mengenali informasi hoaks yang biasanya bergaya provokatif.
“Yang sebar broadcast itu ada, ciri khasnya provokatif,” ungkap dia.
Jadi, dia juga menyarankan, ketika menerima broadcast, baca sampai utuh dulu dan mengecek dulu sumbernya. “Kalau dokter memang nggak bisa sembarang ngomong, kecuali ceplas-ceplos. Jadi kalau ada dokter ceplas-ceplos tanpa jurnal, itu dipertanyakan!” terangnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni