PWMU.CO – Kenapa Tak Semua Dokter Terjun Edukasi Lawan Hoax Covid? Pertanyaan ini dijawab tiga dokter yang hadir—dr Adam Prabata, dr Tirta M Hudhi, dan dr RA Adaninggar Sp PD—pada kegiatan Pandemictalks bertema Senjata Pembunuh: Hoax Covid-19 Merajalela, Ahad (25/7/21) malam
Di tengah diskusi lewat Instagram Live itu, Firdza Radiany—Analis data dan praktisi komunikasi selaku moderator—bertanya, “Kenapa tidak muncul lagi orang-orang seperti Tirta, Adam, Ning, Decsa? Kenapa kehadiran segelintir dokter ini tidak menginspirasi ribuan dokter Indonesia lainnya untuk muncul ke permukaan?”
Firdza lantas membayangkan, andai ada satu sosok seperti dr Tirta, dr Adam, dan dr Ning di setiap provinsi, dia yakin masalah hoax dapat teratasi. “Apakah pola pendidikan kedokteran di Indonesia tidak bisa menyentuh kompas moral untuk terjun ke lapangan di saat seperti ini?” sambung dia.
Waktu dan Privacy Terganggu
Menurut dr Adam, sudah mulai ada yang muncul, mengedukasi soal Covid-19, di platform medsos lain—seperti Tiktok—yang jumlah pengikutnya pun sudah ribuan.
Di Instagram juga menurutnya sudah mulai ada dokter yang mau ikut mengedukasi, yang followers (pengikut)-nya ribuan. “Semakin ke sini, semakin banyak juga,” ungkap dokter dengan 312 ribu pengikut di Instragram itu.
Di antara mereka, lanjutnya, ada dokter yang memang terpanggil, sehingga mau menyempatkan waktu. Bahkan, kadang sampai privacy dan waktunya terganggu. “Waktu tidur jadi kurang. Harus buat konten dan lainnya. Ada yang mau mengorbankan waktu,” ujarnya.
Dokter Adam berharap, semoga semakin banyak dokter yang mau ikut terjun langsung di media sosial untuk memerangi hoax.
Ada Kuratif Langsung, Telemedicine, Kebijakan
Menurut dr Ning, ada peran dokter selain preventif (mencegah dengan mengedukasi), yaitu peran kuratif (mengobati). “Dokter itu bisa preventif bisa kuratif,” jelasnya.
Kalau semua dokter menjalankan peran edukasi saja, akan semakin kekurangan dokter yang langsung mengobati di rumah sakit. “Kalau semuanya kayak saya dan dr Adam, nanti yang di rumah sakit jadi gak ada,” tuturnya.
Selain itu, dr Ning menekankan, dokter lainnya yang langsung menangani pasien di rumah sakit itu tentu juga menjalankan peran edukasi ke pasien dan keluarganya. “Bertemu pasien dan keluarga pasti mengedukasi,” ujarnya.
Sejalan dengan dr Ning, dr Tirta juga menegaskan, tidak bisa menyamaratakan semua nakes harus bisa mengedukasi. “Memang ada yang bagiannya langsung di pasien, ada yang telemedicine, ada yang di kebijakan,” urainya.
Dia menyatakan, tidak semua orang bisa mengedukasi seperti itu. “Ada orang yang pintar tapi mereka nggak bisa untuk edukasi langsung, emang beda,” ungkapnya.
“Nggak semua orang sanggup kayak dr Dika yang bisa buat edukasi dengan lucu-lucu atau seperti dokter lain yang mengedukasi di Tiktok atau Tikdok (Tiktok dokter),” imbuhnya.
Banyak Teguran, Takut Salah
Dokter Tirta menyatakan, tidak semua dokter bisa seperti dr Adam yang selalu memakai jurnal. “Memang benar, banyak nakes itu malas ribet bukan karena mereka tidak mau ikut join edukasi, cuman mereka itu takut salah karena sudah banyak teguran,” ungkapnya.
Semenjak Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegur dr Bayu, katanya, jadi mereka takut salah. “Nggak semua sanggup kayak dr Adam,” kata dia.
Tak hanya itu, dr Tirta juga memahami, tidak semua dokter sanggup seperti dr Ning. “Luis aja diajak debat sampai 21 kali, lho saya hitung itu!” ucapnya.
Maka, dia menyatakan harus ada dr Adam dan dr Ning yang baru. Sebab, menurutnya, Indonesia kekurangan orang-orang yang di telemedicine. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni