Kepada pwmu.co, salah seorang peserta memberi kesaksian. “Saya sempat 1 minggu tidak ingin memegang bayi karena merasa diacuhkan oleh keluarga dan suami. Mereka lebih perhatian kepada bayi saya, yang merupakan cucu pertama dari keluarga suami,” ungkap Tri Wahyuning Tyas SPsi, mahasiswa pascasarjana psikologi UMM. “Padahal saya sudah sangat berjuang dan hampir kehilangan nyawa dalam proses persalinan tersebut.”
Tri mengalami Baby Blues Syndrome saat melahirkan secara Caesar anak pertamanya. Waktu itu, usianya baru 25 tahun. Dia mengalami pendarahan hebat selama 1 minggu prakelahiran dan pascamelahirkan di Rumah Sakit Aisyiyah, Madiun, 7 tahun silam.
(Baca: Bangkit dari Kelesuan, Nasyiah Kota Malang Langsung Adakan Darul Arqam)
Menurut Ketua Panitai Nadiya Istighfaara, seminar yang diselenggarakan untuk menyambut Musyawarah Wilayah ke-11 Nasyiatul Aisyiyah Jatim ini, bertujuan untuk membekali para calon ibu dan ayah, serta para orang tua. “Agar kita bisa mencegah dan mengatasi gangguan psikologi pascapersalinan, yang sering terjadi di tengah masyarakat namun tidak banyak disadari,” ungkapnya.
Sayang, kata Nadya, seminar yang diikuti oleh 100-an peserta dari NA, IMM, dan IPM, serta masyarakat umum ini tidak banyak dihadiri oleh laki-laki. “Padahal peran suami sangat besar dalam mencegah gangguan psikis istri setelah melahirkan bayinya.
(Baca juga: Demi Perkaderan Nasyiah Gresik Rela Arungi Lautan)
Baby Blues Syndrome, atau sering juga disebut Postpartum Distress Syndrome adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami oleh sekitar 50-80 persen wanita setelah melahirkan bayinya.
Perbedaan keduanya terletak pada frekuensi, intensitas, serta durasi berlangsungnya gejala-gejala seperti menangis tanpa sebab, mudah kesal, lelah, cemas, tidak sabaran, enggan memperhatikan si bayi, idak percaya diri, sulit beristirahat dengan tenang, dan mudah tersinggung. Pada Postpartum Depression, semua gejala lebih sering, lebih hebat, serta lebih lama. (*)
Kontributor Niki Cahyani