PWMU.CO – Diaspora Bawean Singapura di Mata Dosen National University of Singapore. Pandangan itu mengemuka dalam focus group discussion (FGD) yang digelar Departemen Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Sabtu (24/7/2021) lalu.
FGD bertema Diaspora Bawean di Singapura itu menghadirkan nara sumber antara lain Azhar Ibrahim PhD—Dosen Malay Studies di National University of Singapore (NUS) dan Haji Morni bin Sulaiman, salah seorang pengurus Persatuan Bawean Singapura (PBS).
Acara ini juga diikuti beberapa tokoh Bawean di berbagai tempat, seperti Jakarta, Surabaya, Gresik, Tanjungpinang, dan yang ada di Pulau Bawean.
Berdasarkan catatan sejarah, seperti dicatat di buku Ponthuk Bawean di Singapura terbitan PBS 2018, pendatang dari Pulau Bawean mulai tiba di Singapura pada tahun 1824 dengan menggunakan perahu-perahu Bugis.
Motivasi orang Bawean merantau ke Singapura adalah mencari uang. Hal ini adalah hasil dari kajian Dr Jacob Vredenbregt, ilmuwan Belanda yang mengkaji sosial budaya masyarakat Bawean di Singapura (1964).
Vredenbregt menyatakan, motivasi orang Bawean memilih Singapura dengan ungkapan: “Kalau mahu makan enak-enak pergi Jawa. Kalau mahu dikubur ke Malaya, tetapi kalau mahu cari wang dan pakaian, ke Singapura.”
Perkembangan Etnis Bawean di Singapura
Haji Morni bin Sulaiman, warga Singapura keturunan Bawean, menerangkan jumlah orang Bawean di Singapura pada tahun 1849 adala 763 orang. Terdiri dari laki-laki sebanyak 720 orang, dan 43 orang perempuan.
Pada tahun 1957, sebagaimana data statistik yang ditunjukkan Dr Azhar Ibrahim, jumlah warga Melayu di Singapura berjumlah 197.060,. Dari jumlah itu etnis Bawean berjumlah 22.167 orang atau sebesar 11 persen dari keseluruhan warga Melayu, terdiri dari 11.580 laki-laki dan 10.587 perempuan.
Adapun saat ini, jumlah etnis Bawean di Singapura sudah tidak bisa lagi dihitung dengan pasti, mengingat asal usul etnis tidak lagi dicantumkan dalam kartu identitas penduduk Singapura.
Etnis Bawean hanya dikenali sebagai orang Melayu, seiring perbauran etnis Bawean dengan etnis Melayu lainnya di Singapura, seperti etnis Melayu (Malaysia), Jawa, Bugis, Banjar, dan Minang.
Namun demikian, Haji Morni—sebagaimana perbincangan dengan penulis di sebuah hotel di Gresik pada 2019— memperkirakan jumlah etnis Bawean di Singapura antara 15 sampai 20 persen dari sekitar 500.000 jumlah warga Melayu di Singapura.
Ciri Bawean Singapura
Dalam kesempatan FGD itu, Azhar Ibrahim menerangkan ciri khas orang Bawean di Singapura sebagai orang yang kuat persatuannya (bersatu hati), senang bergotong royong, mempertahankan dialek/ bahasa Bawean dan kuat dalam menjalankan agama.
Menurutnya, dari sekian banyak etnis Melayu di Singapura, hanya orang Bawean yang masih mempertahankan penggunaan bahasa daerahnya. Terutama percakapan yang berlaku di kalangan orang-orang tua. Sementara etnis Melayu lainnya seperti Jawa, Bugis, Banjar, dan Minang sudah tidak lagi berbicara dengan bahasa daerah mereka.
Dalam hal kehidupan keagamaan, pada umumnya etnis Bawean di Singapura menganut paham ahli sunnah wal jamaah. Menurut Azhar, beberapa tokoh Islam di Singapura lahir dari komunitas Bawean seperti Kiai Kassim Adnan, Ustadz Embek, atau Haji Pasuni Maulan.
“Cara keagamaan orang Bawean hampir sama dengan masyarakat Melayu lainnya, seperti kenduri kawin, majelis khitan, tahlil, doa selamat dan lain-lain,’ terangnya.
Tokoh penting lainnya dari kalangan orang Bawean di Singapura adalah Hawazi Daipi dan Ridzwan Dzafir (mantan Direktur Singapore Trade Development Board).
Menurut Azhar, masyarakat Bawean di Singapura dalam tahun 1970-an dan 1980-an makin lama makin terintegrasi dengan masyarakat Singapura pada umumnya.
Karakteristik migran Bawean yang khas seperti bertempat tinggal di dalam Ponthuk (rumah penampungan warga Bawean yang datang ke Singapura), orientasi ke Indonesia, sifat kesementaraan dari pemukiman mereka dan sebagainya sudah hilang.
Penghapusan Ponthuk dan kepindahan dalam rumah-rumah flat (semacam apartemen) serta sistem sekolah yang berubah, telah mengubah struktur sosial dan ekonomi di Singapura, termasuk terhadap masyarakat Bawean Singapura.
Yang Muda Krisis Identitas
Sebagai akademisi di luar etnis Bawean, Azhar Ibrahim memiliki catatan kritis terhadap etnis Bawean Singapura, khususnya di kalangan muda. Menurutnya anak-anak muda Bawean Singapura mulai kehilangan kebanggaan dirinya sebagai etnis Bawean.
“Mereka mengalami krisis identitas,” ujarnya. Oleh karena itu menurutnya, usaha-usaha yang dilakukan oleh Persatuan Bawean Singapura di dalam mempertahankan budaya dan tradisi Bawean di Singapura patutlah didukung.
Dihubungi terpisah, Pradana Boy ZTF PhD, Asisten Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang menyelesaikan S-3 di NUS, mengaku kenal dekat dengan Dr Azhar Ibrahim.
“Bahkan seperti saudara,” ujarnya. Di mengungkapkan, Dr Azhar adalah dosen sekaligus kawan buatnya. Boy juga memiliki kenangan khusus dengan diaspora Bawean di Singapura.
“Saya kos selama setahun di rumah warga Melayu Singapura keturunan Bawean. Namanya Mustafa. Dari ceritanya, dia sangat menghormati asal muasalnya, dan akar budaya Bawean. Meskipun dia belum pernah sekalipun berkunjung ke Pulau Bawean” kata Boy. (*)
Penulis Kemas Saiful Rizal Editor Mohammad Nurfatoni