PWMU.CO – Hoax Covid-19: Senjata Pembunuh. Dokter Adam Prabata menerangkannya pada Pandemictalks di Instagram Live, Ahad (25/7/21).
Firdza Radiany—Analis data dan praktisi komunikasi selaku moderator—menyinggung tema diskusi malam itu, Hoax Covid-19 sebagai Senjata Pembunuh. “Di fase sekarang ini apakah statement itu tepat? Benar nggak hoax bisa sampai membunuh atau cuma media yang berlebihan?” tanya dia.
Hoax, Senjata Pembunuh
Dokter Adam membenarkan hoax bisa sampai membunuh. Dia ingat cerita di Twitter, seseorang marah ketika bapaknya meninggal dunia karena termakan hoax. “Kalian bantu apa untuk papa saya? Kalian secara nggak langsung sudah membunuh!” twitnya.
Menurut dr Adam, sekarang memang demikian kondisinya. Dia lalu menerangkan, “Alur logikanya, ketika hoax bikin orang itu nggak mau ke rumah sakit, takut dicovidkan. Tapi ternyata dia sakit berat, telat ke rumah sakit. Telat Penanganan akhirnya meninggal.”
Begitu juga dengan kasus tertular, katanya. Awalnya tidak mau pakai masker karena percaya bagian dari hoax, pakai masker berbahaya. “Habis nggak pakai masker, tertular. Tau-tahu sakit berat, tahu-tahu meninggal,” tutur dokter dengan 315 ribu pengikut di Instagram itu.
Walaupun berkaitan secara tidak langsung dan perlu merunut lebih jauh, tapi menurutnya hoax sudah bisa membunuh.
Menurut kandidat doktoral di Kobe University itu, informasi ibaratnya seperti pedang mata dua. Kalau benar menggunakannya bisa bagus. Tapi kalau salah menggunakannya paling berat bisa membunuh orang—secara tidak langsung.
“Kalaupun tidak membunuh, kita bikin orang jadi sakit atau mengalami kerugian lain,” pungkasnya.
Firdza menyimpulkan, hoax kalau tidak dihentikan, maka seperti peluru: secara tidak langsung membuat orang tidak patuh prokes dan saat sudah sakit jadi terlambat mendapat penanganan.
Kenapa Tetap Maju Perang?
Firdza menyatakan, dr Ning telah berjuang di garis depan dan garis keras di kolom komentar Instagram yang serangannya luar biasa. Bahkan sempat ada upaya doxing terhadap data pribadi dr Ning.
Dilansir dari tirto.id, doxing merupakan kegiatan membongkar atau menyebarkan informasi pribadi seseorang yang dilakukan oleh orang tidak berwenang atau tanpa izin dari pihak yang bersangkutan.
“Saya merasa kita berjuang tapi tidak dapat perlindungan hukum. Ibarat disuruh perang tapi nggak dikasih perlindungan asuransi,” ujarnya.
“Kenapa tetap memutuskan maju perang lagi? Setelah beberapa kali berperang di kolom komentar, ada upaya doxing, dicaci-maki,” sambungnya.
Dokter Ning menekankan, sejak awal niatnya hanya ingin meluruskan hoax. Dia pun membernarkan upaya doxing yang dia terima. “Kalau dibilang takut, saya berhenti. Tapi saya tidak berhenti!” tegasnya.
Menurutnya, itu risiko dan konsekuensi yang harus dia terima. Karena memang dia berniat mengedukasi dan melawan hoax. Dia berpendapat, mungkin upaya itu dia terima karena dia seorang perempuan. Mereka mengira dia lemah, padahal tidak.
Dia sudah memikirkan risikonya. Dulu memang sempat terpengaruh, tapi dia tidak terganggu seiring emosinya semakin matang. Jika menemui komentar yang tidak sopan, mudah saja menurutnya, ada pilihan blokir.
Kenapa Hoax Makin Subur?
Dalam diskusi itu, Firdza bertanya, kenapa hoax makin subur, padahal sudah banyak webinar dan klarifikasi.
Dokter Adam menerangkan, data hasil penelitian tentang hoax Covid di pertengahan tahun lalu. Di seluruh dunia, 82 persen atau 8 dari 10 itu hoax tentang Covid-19. Bulan lalu, peneliti yang sama update, ternyata malah naik 1 persen, jadi 83 persen. Padahal dr Adam berharap turun tingkat hoaxnya.
Meski hoax sudah ada counter (bantahannya), tetap muncul hoax yang baru. Di penelitian sebelumnya, Indonesia termasuk salah satu dari 6 negara produsen hoax utama. “Mungkin di Indonesia hoaxnya lebih dari 8 banding 10, perbandingannya bisa 9. Saya nggak tahu, tapi cukup tinggi lah!” duganya.
Menurut dia, penyebabnya banyak. Pertama, pelakunya semakin bertambah. “Ada orang orang yang memang mengeluarkan hoax,” terangnya.
Di samping itu, ada yang tertarik dengan hoax-nya. Selain itu, juga ada yang membagikan. “Jadi, makin ke sini makin parah!” tutur lulusan Universitas Indonesia itu.
Firdza menimpali, Kominfo menyatakan setiap hari ada 7-10 hoax. Hoax-nya itu-itu saja, misal Covid tidak ada.
Hoax Bentuk Pelampiasan Terdampak Covid
“Kenapa menurut dr Ning pelaku penyebar hoax ini memunculkan lagi isu yang lama? Akhirnya ada pelaku yang dilepas, tidak ditangkap. Apa perlu efek jera?” tanya Firdza.
Dokter Ning menerangkan, hoax berulang terus terkait dengan masyarakat yang secara psikis butuh pelampiasan. Karena terdampak Covid.
“Tiap orang punya cara pelampiasan atau manajemenn stres masing-masing. Sebenarnya mereka takut dan frustasi. Tetapi akhirnya mereka pro sama teori yang ada. Kayak meghibur diri sendiri,” jelasnya.
Dia menyebut ini sebagai mekanisme pembelaan ego. Menurutnya, sebagian besar pelaku yang ikut menyebarkan hoax lebih terdampak secara sosial atau ekonomi.
Terlepas dari tingkat pendidikan, selama kondisi ini masih tidak jelas, menurutnya hoax pasti ada terus. Dia pun sepakat, harus ada efek jera, terutama untuk pelaku utamanya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni