PWMU.CO – Panci Beranak Abu Nawas dan Akal Manusia yang Terbatas. Ustad Ali Hasan al-Bahar Lc MA menerangkannya pada Pengajian Orbit bertema “Takdir Ilahi”, Kamis (29/7/21) malam.
Pengajian via Zoom Cloud Meeting itu digelar Yayasan Orbit Lintas Karya yang dibina Prof M Din Syamsuddin MA PhD. Kajian rutin dua minggu sekali ini dihadiri para artis maupun ahli lintas karya.
Akal Manusia seperti Mulut Anak Kecil
Ali Hasan melontarkan sebuah pernyataan yang menurutnya perlu diuji: “Sekarang kan kita punya akal, gunakan akal saja, nggak usah pakai yang lainnya!”
Dia lalu bertanya retoris, “Apakah akal mampu mengungkap segalanya? Ataukah akal manusia kadang-kadang seperti mulut anak kecil?”
Seperti mulut anak kecil, maksud dia, semuanya dimakan. Dianggap semua bisa, padahal akal manusia terbatas. “Seringkali, kalau akal tidak mendapat binaan atau bimbingan akan liar. Akal bisa digunakan untuk ngakal-ngakali,” ungkapnya.
Kisah Abu Nawas, Panci Beranak
Ali Hasan mengisahkan sastrawan Abu Nawas yang pengetahuan fikihnya selevel dengan Imam Abu Hanifah. Tapi karena sering nyeleneh, jadi berprofesi menghibur yang penuh makna.
Ceritanya, Abu Nawas pinjam panci kecil ke tetangganya. Tapi pancinya tidak dikembalikan hingga tetangga itu menagihnya, “Abu Nawas, mana panci saya?”
Abu Nawas menjawab, “Wah aku lupa, sebentar!”
Panci yang kecil itu ternyata melahirkan panci yang besar. “Ini panci kamu menjadi dua. Panci kamu beranak di rumah saya,” sambungnya.
“Terima kasih, Masyaallah!” Pinjam-meminjam itu pun berakhir.
Meski tak masuk akal, tetangganya menerima begitu saja. Dia tidak mempermasalahkan karena menguntungkan. Dia tidak bertanya kenapa panci itu bisa beranak.
Selang beberapa saat, Abu Nawas pinjam panci lagi ke tetangga yang sama. Ketika meminjamkan yang kedua kali, tetangganya berharap panci itu akan beranak lagi.
Menurut Ali Hasan, begini gambaran akal manusia kalau tidak dibina. Manusia yang katanya berakal itu akan menerima yang menguntungkan dan akan mengakali.
Tepat! Tetangga itu meminjamkan pancinya lagi. Abu Nawas lagi-lagi lama tidak mengembalikan. Akhirnya si tetangga mendatangi Abu Nawas. “Abu Nawas, mana pancinya kok lama?” tanya dia.
Pancinya Meninggal
Tetangganya membayangkan, kalau kemarin anak pancinya satu, berarti kalau lebih lama begini anaknya bisa dua atau tiga.
Tapi dia malah mendapat jawaban Abu Nawas, “Innalillahi wainnailaihi rajiun. Panci kamu meninggal di rumah saya.”
“Nggak mungkin panci meninggal! Mana ada panci meninggal!” Tetangganya marah.
“Inilah manusia, kalau yang menguntungkan diterima, kalau yang tidak menguntungkan ….” jawab Abu Nawas.
Tetangganya menyahut, “Mana mungkin panci bisa meninggal?”
“Kamu pikir panci bisa beranak? Kenapa waktu panci beranak kamu nggak berkomentar, tapi ketika panci mati kamu berkomentar?” tanya Abu Nawas balik.
Hikmah Kisah Abu Nawas
“Inilah manusia. Kalau menguntungkan pura-pura tidak masalah. Kalau merugikan, mulailah dia menggunakan akal, kesadaran, atau kewarasannya,” sambungnya.
Ali Hasan menerangkan, dalam bahasan takdir, manusia punya akal yang sangat terbatas. Sementara Tuhan dan ciptaan-Nya tidak terbatas. “Apalah yang terbatas ini mampu menguraikan semua yang tidak terbatas?” tanya Ali retoris.
Terkait takdir, lanjutnya, ketika membaca basmalah kita sadar semua ketetapan Allah tidak ada yang buruk. Hanya kadang, kita seperti tetangga Abu Nawas.
Dia menerangkan, dalam al-Quran sudah banyak arahan dan petunjuk. Terutama terkait ketetapan yang tidak enak. “Berapa banyak pahit yang kamu tidak suka, di situ banyak kebaikan. Dan berapa banyak yang kamu sukai, ternyata di balik yang manis itu banyak masalah dan bahaya,” ungkapnya.
Salahkan BJ Habibie Tidak Pergi ke Matahari
Seseorang pernah menyalahkan BJ Habbie. “Pak BJ Habibie ini orang pintar, kenapa bapak nggak bisa pergi ke matahari? Kan Amerika sudah ke bulan,” ujarnya.
Dengan gaya khasnya Habbie menjawab, “Matahari jaraknya sekian … Matahari adalah sumber energi yang suhu panasnya sekian …. “
“Pak, matahari memang panas. Berangkatnya jangan siang pak, malam saja!” tuturnya lagi. Dia berpikir kalau malam sudah tidak panas.
Ali menyimpulkan, begini contoh manusia yang tertipu dengan fenomena sebatas apa yang dia lihat saja. Dia mengingatkan, akal memang ciptaan dan nikmat dari Allah yang terbatas. Tapi keterbatasan ini membantu.
Dia mengupamakan akal seperti lampu senter. Di saat malam, lampu senter sangat bermanfaat. Tapi senter hanya mampu mengungkap apa yang terkena sinarnya. Kalau menyoroti bawah, atas dan tengah tidak terlihat.
Kalau matahari sudah terbit, lampu senter sudah tidak dipakai. “Kalau dipakai, kewarasan akalnya perlu diperiksakan!” ujarnya bercanda.
Jika akal ibarat lampu senter, lanjutnya, maka wahyu ibarat matahari. Dia menegaskan akal membantu, tapi akal bukan segalanya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni