
PWMU.CO – Misterius, Jangan Mudah Sebut Takdir Allah! Din Syamsuddin mengatakannya pada Pengajian Virtual Orbit yang digelar Yayasan Orbit Lintas Karya, Kamis (29/7/21) malam.
Bertema “Takdir Ilahi”, pengajian rutin binaan Prof M Din Syamsuddin MA PhD malam itu menghadirkan penceramah Ustadz Ali Hasan al-Bahar Lc MA. Para artis dan pakar lintas karya juga ikut hadir menyimak.
Posisi Manusia terhadap Takdir Ilahi
Din Syamsuddin menerangkan, ada perbedaan penafsiran tentang posisi manusia terhadap takdir Ilahi. Sehingga muncul dua kutub pemikiran yang sampai sekarang belum sepakat. “Kita kenal dengan aliran Jabariyah dan aliran Qadariyah,” ungkap Din.
Ada aliran Jabariyah, berpendapat takdir manusia telah ditentukan Allah, sehingga setiap langkahnya berdasarkan ketentuan Allah. Dalam bahasa Inggris istilahnya fatalism.
Di sisi lain, ada aliran Qadariyah, berpendapat manusia memiliki kebebasan, free will (kehendak bebas).
Dari penjelasan Ali Hasan, Din mengaku mendapat pencerahan titik temu antara qadha (yang telah Allah tentukan) dengan qadar (yang menjadi kenyataan).
Dalam salah satu ayat al-Quran dijelaskan, “Apa yang menimpa kita berupa kebaikan adalah dari Allah dan apa yang menimpa kita berupa keburukan adalah dari diri kita sendiri.”
Sehingga, menurutnya, ayat itu menunjukkan Allah pasti menginginkan yang terbaik bagi kita. Ketika manusia belum berbuat, maka qadhanya tidak diketahui. “Memang misterius, maka jangan mudah mengatakan ini takdir Allah!” ujarnya.

Ikhtiar, Ubah Mentalitas
Din Syamsuddin ingat pernyataan baik Umar bin Khattab, “Sesungguhnya kehidupan bergerak dari satu takdir ke takdir yang lain.” Maka, Din menyimpulkan, kita harus menyebut hidup kita di dunia ini sebagai takdir yang terbaik.
Din menyatakan, sunnatullah (ketentuan Allah) tentang kematian dalam al-Quran tidak mengalami perubahan dan pergeseran. “Qadha sudah ada di Lauhul Mahfuz, tapi manusia mempunyai tugas dan tanggung jawab ikhtiar!” ucapnya.
Kemudian dia mengingatkan ayat al-Quran, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu bangsa atau umat, kecuali bangsa atau umat itu mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri.”
Yang ada dalam diri manusia adalah mentalitas atau mindset (pola pikir), itulah yang menurut Din harus berubah.
Dia berpesan, agar menerima ketentuan Allah sebagai qadha-Nya, husnudzan (berprasangka baik). “Jangan sekali-kali suudzan (berprasangka buruk) kepada Allah, apalagi dalam suasana pandemi dan musibah,” tuturnya.

Doa dan Ketetapan Takdir
Menjelang akhir pengajian, seorang santri Pondok Pesantren Dea Malela bertanya, “Madza alaqah baina du’a wal ikhtiar bi takdiirillah?” (Apa hubungannya antara doa dan ikhtiar dengan takdir Allah?)
Ustadz Ali Hasan al-Bahar Lc MA menerangkan, Rasulullah SAW bersabda:
الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
Artinya, doa adalah sumsum (saripati) ibadah. Doa adalah saripati penghambaan kepada Allah SWT. Ketika seseorang berdoa, akan mendapatkan ketenangan. “Ada nafas yang dia dapat untuk bisa lebih lapang,” ujarnya.
Menurut para ulama, Nabi Muhammad SAW mengatakan, begitu sayangnya Allah SWT, doa itu bisa mengubah ‘takdir’. Ini menandakan betapa sayangnya Allah dan ini semua tidak akan keluar dari ketetapan Allah.
Nabi Muhammad SAW mengatakan, kekuatan, dahsyat, dan dikabulkannya doa orangtua untuk anaknya seperti doa nabi untuk umatnya. Doa seorang ibu tidak ada hijab lagi.
“Lalu apakah mungkin seorang ayah ibu ayah yang ingin anaknya menjadi tokoh yang hebat apakah cukup dengan doa atau (perlu) usaha?” tanya dia.
Bagaimana jika berdoa terus tapi anaknya tidak diberi pendidikan? Tidak disekolahkan? “Doa ‘menggeser takdir, tapi semua harus dengan usaha!” tegasnya.
Dia berpesan, “Doa diucapkan, lalu yang berdoa berusaha sesuai dengan doanya. Jangan sampai doa tinggal doa, tidak sinkron (dengan usahanya)!”
Ustadz Ali Hasan menekankan, “Siapa yang berusaha tanpa doa, sombong! Siapa yang berdoa tanpa usaha, pengkhayal!” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni