PWMU.CO – Kisah Sekretaris Lazismu Berjuang Hidup di Yogyakarta. Kisah ini dituturkan oleh Dr Mahli Zainuddin Tago MSi kepada PWMU.CO pada Sabtu (31/7/2021).
Menurut Mahli, sapaan akrabnya, pertengahan tahun 1985 dia baru saja tamat SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Udara terasa cerah dan suasana gembira mencuat di mana-mana. Baju seragamnya diserbu tanda tangan teman-teman sekelasnya. Kegembiraan berlanjut dengan konvoi sepeda motor. Sesuatu yang belum terlarang kala itu.
“Tapi kegembiraan saya hanya berlangsung dalam hitungan jam. Beberapa hari sebelumnya datang surat dari Upoak dan Indok. Pada intinya mereka menyerah. Tidak sanggup lagi membiayai studinya,” kenangnya.
Sedangkan Buw kakaknya nomor 4 di Kerinci yang membawanya ke Yogyakarta dan rencananya mau membiayai kuliahnya, entah sedang berada di mana.
“Maka ketika teman-teman sekelas sibuk merencanakan rekreasi perpisahan kelas ke Bandung, saya diam-diam menghilang dari sekolah,” ujarnya.
Kembali dia berhadapan dengan realitas. Di Asrama Mas Mansur tempat kosnya, dia kemudian menulis surat kepada ketua kelas III IPA-5 SMA Muhammadiyah 1 (Muhi) Yogyakarta angkatan 1985,
“Saya pamit tidak bisa melanjutkan kegembiraan bersama teman-teman sekelas untuk rekreasi perpisahan kelas ke Bandung,” ungkap pria yang juga Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.
Dititipkan Teman Dekat oleh Kakaknya
Kesulitan ekonomi sebenarnya dirasakannya sejak beberapa tahun sebelumnya. Pada November 1983, Buw meninggalkan Yogyakarta bersama istrinya yang datang menjemputnya dari Kerinci.
“Dengan tiket kereta api seharga Rp. 8.600, Buw dan istrinya berangkat dari Stasiun Tugu menuju Jakarta. Sebelum meninggalkan Yogyakarta, Buw menunaikan kewajibannya sebagai seorang kakak yaitu mencarikan tempat kos untuk saya,” jelasnya.
“Awalnya saya sempat kos di Patangpuluhan. Di sebuah rumah kos di belakang warung Soto Cabang Pak Marto. Saya sempat tinggal di sana selama dua pekan bersama beberapa teman,” tambah Mahli yang menerangkan salah satu temannya adalah Irfan Ahadi, adik kelasnya di SMA Muhi yang berasal dari Sidareja Cilacap Jateng.
Menurutnya Buw tidak begitu yakin melepasnya kos di sini. Itu karena lokasinya jauh dari masjid.
“Akhirnya saya dititipkan Buw pada teman dekatnya Uda Wil, orang Bukittinggi yang menikah dengan orang Kauman Gondomanan Yogyakarta. Atas bantuan Uda Wil, saya bisa kos di rumah Pak Juzan Mursyidi. Persis di sebelah barat Pengulon, rumah Penghulu Keraton Yogyakarta, yang juga adalah mertua Uda Wil. Alamat lengkapnya adalah Kauman GM IV/124 Yogyakarta,” urainya.
Dibangunkan Adzan Masjid Gedhe
Bagi Mahli satu tahun di Kauman sungguh masa yang menyenangkan. Hari-harinya selalu diawali suara Toa Masjid Gedhe untuk membangunkan dari tidurnya. Azan awal dengan suara khas Mbah Djundi yang terdengar merdu.
“Tempat kos saya memang hanya sepelemparan batu dari pintu masuk Masjid Gedhe. Maka saya bisa sering shalat berjamaah. Minimal subuh, maghrib dan isya di masjid bersejarah ini. Beberapa teman SMA saya juga tinggal di sini. Sebagian anak kos, sebagian lagi penduduk asli Kauman,” papar Mahli.
Salah satu teman akrab yang diingatnya adalah Luthfi, anak bapak kosnya. Sesekali dia tidur di kamar Luthfi.
“Bapak dan ibu kos juga baik dan hangat padaku. Mereka memanggilku dengan Mahalli,” kelakarnya.
Ronda Kampung Kauman
Setiap malam Ahad, ujar Mahli, ikut ronda di kantor Rukun Kampung (RK) Kauman. Salah satu daya tarik ronda ini adalah tersedianya makan besar. Dananya diperoleh dari konversi denda warga yang terjadwal tetapi berhalangan ronda. Setelah keliling kampung, lewat dinihari, peronda menutup kegiatan ronda dengan melihat suasana malam di Alun-alun Utara Yogyakarta.
“Walaupun agak jauh dari SMA Muhi saya merasa nyaman saja karena bisa menjangkaunya setiap hari dengan bersepeda,” terangnya.
Guru Privat Ngaji dan Jual Rambak
Semasa tinggal di Kauman, ungkapnya, kondisi ekonomi keluarga di kampung halaman makin sulit. Apalagi untuk membiayai studin di Yogyakarta. Wesel datang tidak rutin.
“Akhirnya saya mulai mencari pekerjaan untuk tambahan penghasilan. Saya menjadi guru privat mengaji pada murid-murid Buw, keluarga Pak Suparjiman di Muja-muju,” kata Mahli yang menerangkan waktu itu ada lima muridnya yaitu Atik, Erry, Didik, Nina dan Ita.
Selain itu, sambungnya, juga mengajari mereka matematika. Saat itu Mahli kelas dua SMA dan murid terbesarnya adalah Atik siswi kelas tiga SMP.
“Saya juga menjual stiker SMA Muhi. Stiker ini diproduksi atas bantuan Pak Hussein Dahlan guruku yang berasal dari Palembang. Pak Hussein Dahlan telah mencetak ribuan stiker. Dan saya menjualnya ke teman-teman sekolah,” kisahnya.
Sedangkan pekerjaan rutin adalah mendistribusikan rambak (kerupuak jangek ) yang diproduksi keluarga Uda Wil. Dengan ransel besar penuh, Mahli pun berkeliling Kota Yogyakarta naik sepeda untuk menitipkan kerupuk itu di warung-warung makan.
“Saya distribusi rambak pakai sepeda balap. Sepeda itu pemberian paling berharga dari Buw untuk saya dari dana Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang didapatkan dari Bank BNI,” tuturnya.
Tak Bisa Perpanjang Kos
Memasuki tahun berikutnya situasi makin menantang. Kiriman dari orangtua dan uang hasil bekerja sambil sekolah ternyata tidak cukup untuk memperpanjang kos.
“Untungnya pada hari-hari terakhir datang surat Buw disertai surat khusus untuk sahabat akrabnya Pak Suroso. Saya diminta Buw menumpang di rumah Pak Suroso,” terangnya.
Dengan naik becak dari Kauman, dia hijrah kembali ke Pengok. Tetapi kali ini di blok A, tidak di blok G sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Maka setidaknya dia bisa menghemat uang kos.
“Pak Suroso sangat baik. Sesekali saya diajak makan bersama. Saya pun membalasnya dengan membersihkan halaman yang cukup luas dari rumah pejabat PJKA ini,” ujarnya.
Karena Blok A dengan Blok G berbatasan langsung maka dia bisa kembali berinteraksi dengan teman-temannya semasa SMP di Blok G. Juga kembali menjadi jamaah Masjid Nurul Huda yang berada di Blok G.
“Kebaikan Pak Suroso yang menampung saya pada masa-masa sulit itu semoga menjadi tabungan pahala di sisi Allah SWT. Amin,” panjatnya.
IPM Penguat Masa Sulit
Setelah memiliki cukup dana, dia kemudian kembali pindah kos. Dari Pengok ke asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Kerinci (IPMK) di Ledok Tukangan, Danurejan, Yogyakarta. Asrama ini persis berada di samping bawah jembatan Kali Code, yang menghubungkan Kotabaru dengan Malioboro dan sekitarnya.
“Di asrama ini beberapa orang Kerinci tinggal bersama. Sebagian besar mereka adalah mahasiswa. Ada Wo Urpan Dani, Wo Irfan, Wo Syafri Januk, dan Musdi saudara saya yang masih SMA dan bersama saya dulu berangkat ke Yogyakarta pada 1979,” ujarnya.
Baginya asrama ini menjadi pusat kegiatan IPMK. Berbagai musyawrah dan pertemuan diselenggarakan di sini. Termasuk juga pelantikan pengurus. Pada dua periode kepengurusan dia menjadi pengurus IPMK seksi pelajar.
“Situasi di sekitar asrama selalu ramai. Bahkan suasana kehidupan malam Malioboro pun sayup terdengar dari kamar. Alhamdulillah saya berhasil bertahan. Tetapi sesungguhnya saya babak belur. Ibarat anak ayam, saya kehilangan induk,” ungkapnya.
Bayangkan dalam setahun Mahli pindah kos sampai tiga kali. Maka prestasi akademiknya pun ikut terlunta-lunta.
“Tetapi saya bersyukur bahwa dalam periode pertumbuhan dan mencari identitas diri yang berat ini masih berada di jalan yang lurus. Ini barangkali berkat pilhan kegiatanku sebagai aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah,” sambungnya.
IPM, menurutnya, menjadi katarsis sekaligus penguat dalam menjalani masa-masa sulit tersebut. Tentu godaan pergaulan dan lingkungan tidaklah ringan.
Terdampar di Asrama Mas Mansur
Pada bagian terakhir dari masa sulit kelas tiga SMA ini, Mahli akhirnya terdampar di Asrama Mas Mansur. Asrama ini didirikan oleh Pimpinan Pusat IPM dalam rangka membina para pelajar. Sebagai pilot proyek para penghuninya adalah siswa SMA Muhi Yogyakarta.
“Ada beberapa keuntungan bagi saya tinggal di asrama ini. Pertama dari sisi pembayaran ada kelonggaran. Kedua kembali bisa berdekatan dengan masjid karena tembok belakang asrama menyatu dengan tembok Masjid Nurahawwin. Ketiga, bisa berinteraksi langsung dengan para senior yang merupakan fungsionaris Pimpinan Pusat IPM. Sebagian dari mereka menjadi pembina asrama,” urainya.
“Ada Syahrial mahasiswa Teknik Pertambangan STTNAS. Ada Ismail mahasiswa Filsafat UGM yang menjadi Sekjen PP IPM. Lalu ada Ketua PP IPM kala itu Haedar Nashir yang kini menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Maka meskipun hanya pengurus di tingkat daerah, saya dekat dengan Pimpinan Pusat. Hubungan kami lebih seperti abang dan adik,” imbuhnya.
Kerja di Muallimiin karena Bisa Ngetik
Pada bulan Agustus 1985 Mahli tamat SMA. Baginya ada dua kebahagiaannya. Pertama akhirnya bisa bergabung dengan acara perpisahan kelas di Bandung.
“Setelah membaca surat saya, teman-teman sekelas berempati dan meminta saya tetap berangkat tanpa bayar,” kenangnya.
Kebahagiaan kedua karena bisa bekerja di Muallimin. Cerita berawal saat suatu sore ketika dibonceng salah satu Ketua PP IPM dan guru Muallimiin Muhammadiyah Yogyakarta Pak Hamdan dengan si pitung merah dalam perjalanan pulang dari sebuah acara IPM.
“Sepanjang perjalanan saya bercerita pada Pak Hamdan bahwa saya sudah tamat SMA Muhi. Dan saya diminta surut sementara ke kampung halaman. Tapi saya akan bertekad bertahan di Yogyakarta di luar tanggungan keluarga. Saya memelihara cita-cita untuk bisa lanjut kuliah di tahun-tahun berikutnya,” ungkapnya.
“Kamu bisa ngetik?” potong Pak Hamdan.
“Bisa Pak. SMP saya dulu bekas SMEP. Jadi kami diajari mengetik sepuluh jari,” jawab Mahli.
“Kalau begitu mulai besok kamu masuk kerja di Muallimin ya,” ajak Pak Hamdan.
Baginya kalimat terakhir Pak Hamdan itu langsung membuat dunia sore itu terasa kembali cerah. Sebuah era baru hidupnya segera bisa dimulai.
“Alhamdulillaah, Allahu Akbar,” ucap Mahli, yang sekarang tinggal di kawasan Tamantirto, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. (*)
Kisah Sekretaris Lazismu Berjuang Hidup di Yogyakarta. Penulis Affan Safani Adham. Editor Sugiran.