PWMU.CO – Demokrasi Kita Penuh dengan Lumpur Buzzer. Belajar dari Kisah Raja Thailand Mencari Perdana Menteri Baik. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof Atip Latipulhayat SH LLM PhD mengisahkannya , Sabtu (7/8/21).
Awalnya, Prof Atip menegaskan, M Rizal Fadillah membuka borgol demokrasi melalui bukunya Lepaskan Borgol Demokrasi. Hanya saja menurut dia, kuncinya disembunyikan oleh penguasa lewat manipulasi-manipulasi.
Apa yang diborgol? Dia mengatakan, sebenarnya yang diborgol keadilan, kebenaran, kesejahteraan, penegakan hukum yang imparsial.
Dari esai-esai kritis Rizal Fadillah, dia menangkap pesan keharusan mendemokrasikan demokrasi. Karena demokrasinya terbelenggu, terborgol.
Demokrasi tanpa Demos
Menurut dia, demokrasi yang kini rezim praktikkan itu menuhankan kekuasaan. “Demokrasi tanpa ‘demos’ (rakyat). Padahal demos itulah intinya,” ujar pria kelahiran Tasikmalaya, 28 Juli 1964 itu.
Yang dia pahami setelah membaca esai Rizal, sebetulnya rakyat—dalam demokrasi—bukan sekumpulan manusia dalam pengertian kualitatif. Melainkan isi atau nilainya. “Rakyat asumsinya memiliki nilai-nilai universal dalam kehidupan bernegara,” ucap dia.
Prof Atip menerangkan, Rizal sebenarnya mengungkap rakyat itu memegang nilai keadilan, kebenaran, berisi aspirasi kesejahteraan, ketertiban, dan ketentraman. “Karena itu, rakyat di mana-mana selalu menjadi pihak kritis, yang mempertanyakan (dan) memperjuangkan kebenaran,” ungkapnya.
Rakyat—Rizal Fadillah wakili—menurutnya adalah suara kebenaran tentang nilai. Jadi, tanpa demos artinya demokrasi tanpa nilai-nilai itu. Akhirnya yang terjadi, ‘kratos’ (pemerintah) menindas kebenaran, keadilan, dan memanipulasi hukum.
Dia mencontohkan dalam beberapa esai, pembunuhan laskar FPI jelas perilaku biadab. “Itu tidak boleh terjadi di negara yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi,” tegasnya.
Prof Atip menyimpulkan, demokrasi itu sebenarnya tidak ada. Bukan saja tidak compang-camping. Karena elemen utama—nilai-nilai demosnya—tidak ada. Demokrasi hanya dipahami sebagai akumulasi secara kuantitatif (berdasarkan jumlah rakyat).
Kembalikan Fitrah Demokrasi
Agar demokrasi kembali ke fitrahnya (keasasiannya), maka pemerintah harusnya dinilai apakah masih berbasis nilai-nilai demos. Kalau tidak? “Harus diganti oleh mereka yang bukan saja berjanji, tapi dapat mengaktualisasikan pemerintahan berbasis demos,” jawabnya.
Pemerintah harus dikembalikan pada nilai-nilai itu. “Jika Bung Karno mengatakan ‘Pancasila digali dari bumi Indonesia’ itu sebenarnya nilai-nilai pada demos,” jelas Prof Atip.
Salah satu pintu masuk terbelenggunya demokrasi yaitu fitrah demos untuk berbicara diambil. Sekarang rakyat diselenggarakan dengan berbagai macam manipulasi, sehingga rakyat tidak lagi dapat memperlihatkan jati dirinya: suara keadilan.
Kisah Raja Thailand
Menutup pembahasannya, Prof Atip menceritakan ilustrasi, bercermin dari negara lain. “Konon katanya, karena Raja Thailand sudah pusing, susah mendapat perdana menteri yang baik, maka beliau mencari sendiri,” katanya.
Dengan menunggangi gajah yang kotor—berlumuran lumpur—beliau pergi disertai beberapa pengawal yang terbatas. Raja Thailand itu pergi tanpa memberi tahu kepada rakyat yang akan dia datangi, bahwa beliau sedang mencari perdana menteri yang baik. Baik di sini maksudnya bisa mengejawantahkan nilai-nilai demos.
Sampaikan beliau pada satu komunitas rakyatnya. Rakyat itu bersembah seraya mengatakan, “Yang Mulia Raja Thailand yang menunggangi gajah putih!”
Mendengar itu, Raja Thailand kecewa. Gajahnya berlumpur. Ternyata mata rakyatnya sudah pada buta, diliputi kultus yang luar biasa, sehingga mereka tidak berani mengatakan kebenaran.
Raja itu pergi lagi dengan menunggangi gajah yang sama dan menemui suatu komunitas masyarakat. Mereka mengatakan serupa, “Yang Mulia Raja Thailand, yang menaiki singgasana di atas gajah putih!”
Raja pun semakin kecewa mendengarnya. Dia hampir putus asa belum juga menemukan perdana menteri yang diinginkan. Hingga sampailah dia pada masyarakat terakhir, tanpa banyak berharap kepada masyarakat itu.
Dengar Anak Muda Berkata Jujur
Raja tercengang. Tiba-tiba dia mendengar anak muda bersuara lantang mengatakan, “Ya Raja Thailand yang menaiki gajah yang kotor penuh lumpur!”
Semua rakyat ketakutan mendengar anak muda itu. Tapi sang raja malah berhenti dan menunjukkan wajah gembira. Raja mengatakan, “Inilah yang saya cari untuk menjadi pemimpin!”
“Yang saya angkat sebagai perdana menteri adalah yang berani berkata jujur, meskipun kepada rajanya sendiri dia tidak takut. Karena kebenaran harus dikatakan,” sambungnya.
Dari kisah itu, Prof Atip mengajak refleksi, “Saya tidak tahu, apakah rakyat Indonesia seperti masyarakat Thailand yang mengatakan gajah putih padahal sebetulnya berlumpur?”
Karena demokrasi kita penuh dengan lumpur buzzer, dia pesimis akan lahir pemuda yang mengatakan kejujuran: “Yang Mulia Raja Thailand menaiki gajah yang berlumpur!” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni