PWMU.CO – Salah satu faktor yang membuat umat Islam “bingung” dengan hukum peringatan Maulid Nabi Muhammad saw (maulidan) adalah ketiadaan contoh Nabi sendiri tentang praktik ini. Bukan hanya itu, kesimpangsiuran ternyata juga terdapat dalam masalah asal-usul peringatan maulid Nabi untuk pertama kalinya. Dalam masalah ini ternyata tidak hanya satu versi.
Menurut Wakil Ketua PWM Jatim yang membidangi Tajjih, DR Syamsuddin, naskah tertua tentang perayaan maulid berasal dari karya Jamaluddin Ibn al-ma’mun (wafat tahun 517/1123). Dia adalah putra al-Ma’mun Ibn Bata’ihi yang pernah menduduki jabatan perdana menteri di istana khalifah Dinasti Fatimi.
(Baca juga: Bukan Boleh Tidaknya Hukum Memperingati Maulid Nabi, tapi Inilah Masalahnya dan Hadits-hadits Seputar Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw)
Al-Maqrizi dalam kitab Mawa’iz al-I’tibar fi Khitat Misr wa al-Amsar, banyak mengutip data-data dari al-Ma’mun terkait asal usul perayaan maulid di dunia Islam.
“Bahwa pada zamannya perayaan maulid Nabi merupakan perayaan penting dari empat macam maulid. Yaitu maulid Nabi Muhammad saw, Ali bin Abi Thalib, Fatimah binti Rasulullah Muhammad saw, serta si kembar cucu Nabi Muhammad Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib.”
Al-Maqrizi menceritakan: “Pada hari ketigabelas bulan rabi’ al-awwal, khalifah berkenan merayakan hari kalahiran Nabi akhir zaman, dengan membagikan uang sebanyak 6000 dirham, 40 piring kue, gula-gula, caramel, madu dan minyak wijen. Juga 400 liter manisan dan 100 liter roti pada tiap-tiap kuburan keramat”
(Baca juga: Rambu-rambu yang Perlu Diperhatikan dalam Maulidan)
“Dari deskripsi al-Maqrizi tersebut dapat dimengerti bahwa asal-usul maulid adalah perayaan keagamaan yang diselenggarakan oleh dinasti Fatimiyyah di Mesir yang beraliran Syi’ah Ismailiyah, dan mulai muncul pada abad ke-5 H/11 M,” jelas Syamsuddin.
Perayaan ini dirayakan pada setiap tanggal 12 atau 13 bulan Rabi’ al-Awwal. Sejarah menunjukkan bahwa pemerintah memegang peranan penting dalam penyelenggaraannya. “Dalam praktiknya ada ceramah agama, pembacaan ayat suci al-Qur’an, hadiah-hadian untuk tokoh masyarakat, dan masyarakat secara umum,” tambah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya itu.
(Baca juga: Adakah Tuntunan Islam tentang Rebu Wekasan?)
Dalam perkembangannya, meskipun Dinasti Fatimiah jatuh, perayaan maulid tetap diadakan oleh dinasti-dinasti ahli Sunnah wal Jamaah (sunni) penguasa Mesir. Sebab, acara itu dianggap sebagai media yang efektif untuk menumbuhkan kecintaan kepada Nabi saw dan Islam, serta menggelorakan semangat jihad melawan musuh-musuh Islam.
Kemudian ada pendapat yang menyatakan bahwa Maulid ini pertama kalinya diperingati pada masa Dinasti Ayyubiyah pada abad V H/XI M. Motivasinya adalah membangkitkan semangat untuk mencontoh keteladanan Nabi karena kondisi umat Islam terbelakang akibat dijajah oleh tentara Salib Eropa. Untuk membangkitkan semangat baru umat Islam agar terlepas dari belenggu penjajah, maka maulid Nabi dijadikan sebagai salah satu media menciptakan kebangkitan baru.
(Baca juga: Masih Bingung Ibadah Nishfu Sya’ban? Inilah Penjelasan Lengkapnya dan Hadits-Hadits Palsu Seputar Nishfu Sya’ban)
Sementara catatan sejarah lain mengatakan ia diadakan pada masa khalifah al-Malik al-Mudhaffar di Irak. Berbeda dengan perayaan yang diisi dengan berbagai ceramah keagamaan, peringatan pada Dinasti ini lebih banyak bersifat festival.
Menurut Guru Besar Ilmu Hadits, Prof Zainul Arifin, peringatan maulid Nabi yang diselenggarakan al-Mudhaffar bukanlah acara keagamaan. “Bahkan bukan layaknya pengajian, tetapi lebih tepat disebut pasar malam.”
Pada puncak acara, berbagai kota di Irak biasanya penuh sesak dibanjiri manusia yang datang dari segala penjuru kota dan daerah-daerah sekitarnya dengan membawa barang-barang dagangan dan hasil kerajinannya.
(Baca juga: Doa Memasuki Bulan Rajab dan Bagaimana Tuntunan Puasa Rajab?)
“Sebenarnya masyarakat Irak atau Baghdad mayoritas penganut Syi’ah. Mereka menyebar hingga masuk di Indonesia, hanya saja masyarakat tanpa sadar melakukan kebudayaan Syi’ah,” terang Zainul.
Perayaan tersebut dimulai pada bulan Safar, sedang puncak acara diadakan pada 12 Rabi’ul Awwal. Pada puncak acara itu, ribuan binatang ternak diarak keliling dengan diiringi bunyi-bunyian genderang, terompet dan lainnya.
Sementara orang-orang mengikutinya dari belakang sambil menyebarkan bendera bermacam-macam warna. Bahkan, diantara binatang itu ada yang disembelih untuk diolah sebagai konsumsi acara maulid.
(Baca juga: Hukum Oral Seks dan Bolehkah Masturbasi Menurut Islam?)
“Setelah shalat Isya’, al-Malik al-Mudhaffar keluar dari istana dengan membawa lilin besar dengan diikuti para pengikutnya dan masyarakat dengan membawa obor,” ujar anggota Majelis Tarjih PWM Jatim ini.
Keesokan harinya, al-Malik al-Mudhaffar di panggung kehormatan bersama pejabat pemerintah lain. Acara perayaan dimulai dengan parade militer, kemudian berturut-turut disusul jama’ah kaum sufi, penyair, pelajar dan rakyat.
Setelah semua berkumpul di lapangan, para penceramah tampil berpidato, kemudian para penyair. Al-Malik al-Mudhaffar menyiapkan hadiah-hadiah menarik untuk mereka. Acara tersebut ditutup dengan makan bersama.
(Baca juga: Adakah Tuntunan Puasa Tarwiyah sebelum Idul Adha, 8 Dzulhijjah? dan Bagaimana Tuntunan Puasa Sya’ban?)
Al-Mudhaffar dikenal sebagai pemimpin yang adil dan dermawan. Dia tidak hanya membantu orang-orang miskin, mendirikan rumah sakit, dan penginapan gratis, melainkan juga tercatat sebagai orang pertama yang menyediakan air ketika jama’ah haji kekurangan air pada waktu wukuf di Arafah. (kholid)