PWMU.CO – Tiga Mantra Agung untuk yang Ingin Menulis. Pemimpin Redaksi mojok.co Agung Purwandono membagikannya pada pelatihan di Sekolah Jurnalistik Vol.1, Ahad, (8/8/2021).
Agung Purwandono mengungkap alasan Phutut EA—Kepala Suku Mojok—mewakilkan ke dia untuk memberi pelatihan menulis. “Dari 10 tahun yang lalu Mas Phutut EA tidak mau memberi pelatihan menulis. Menurutnya kalau mau menulis, ya menulis. Tidak perlu bertanya-tanya ke orang lain,” terangnya.
Pada pelatihan yang digelar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Situs Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) itu, Agung mengutip pesan Phutut EA:
“Kalau Anda ingin menjadi penulis, berhentilah bertanya yang sebetulnya pertanyaan itu tak perlu Anda tanyakan kepada penulis siapapun. Anda tahu jawabannya. Sesungguhnya yang Anda perlukan hanyalah duduk, diam, lalu mulailah menulis. Menulis. Dan Menulis,” tulis Puthut EA dalam bukunya Buku Latihan untuk Calon Penulis.
Tiga Mantra Agung
Agung percaya menulis tidak bisa berdiri sendiri. Ada tiga kata yang selalu dia sampaikan ke komunitas penulisnya sebagai bekal menulis: membaca, menulis, dan cangkeman.
Ketiga hal itu menurutnya harus dikuasai ketika belajar menulis. Bahkan, kata dia, bisa menjadi bekal dan mantra untuk menjalani hidup mandiri.
Pertama, membaca. Bukan hanya membaca teks, Agung menekankan untuk membaca dengan mengaktifkan seluruh panca indera. Jadi bisa juga membaca menggunakan telinga atau kulit untuk merasakan.
Dengan cara itu, seseorang akan berpikir dan berefleksi atas apa yang dia baca. “Ketika seseorang bisa membaca lingkungan, dia bisa tahu atau menduga dalam pikirannya,” ujar Pemimpin Redaksi KRjogja.com 2016-2020 itu.
Kedua, menulis. Dengan menulis berarti seseorang melewati proses berpikir untuk merefleksikan apa yang dia lihat, dengar, dan rasakan.
Ketiga, cangkeman. Maknanya bukan bisa bicara di depan publik, melainkan bagaimana karya yang kita buat bisa berbicara ke banyak orang, bahkan bisa mengubah sesuatu.
Ragam Opini
Agung menerangkan, ada beragam opini dan esai di media massa. Setiap media punya bermacam-macam istilah. Dia lantas memaparkan definisinya menurut kamus.
“Esai itu karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya,” ungkap wartawan Kedaulatan Rakyat 2004-2020 itu.
Sedangkan opini itu pendapat, pikiran, dan pendirian. Pada opini, tambahnya, ada istilah kolom. Biasanya ditulis orang yang punya kepakaran, membahas hal tertentu yang dia kuasai.
Agung menyatakan, opini dan esai itu bersifat subjektif, tergantung dari siapa yang menulis. “Bahasa esai lebih luwes. Bahkan cerita pengalaman personal yang kita alami bisa jadi esai. Kalau opini bahasanya lebih serius,” imbuhnya.
Dia menegaskan, kalau mengirim karya, perlu mengenal media yang ingin dituju. Misal, Mojok memuat tulisan ringan dan sangat dekat dengan penulisnya. “Yang kita tidak perlu berpikir jauh, tapi apa yang dirasakan,” sambungnya.
Selain itu, tulisan memotret kecacatan berpikir orang-orang, tapi itu bisa jadi lucu-lucuan dan refleksi juga. Kalau memakai gaya bahasa Mojok, akan ada satire dan gaya bercanda yang nakal. “Mojok kan punya tagline ‘Sedikit Nakal Banyak Akal’. Tapi unsur jurnalistiknya ada,” ucapnya.
Dia menekankan, media massa punya karakter masing-masing. “Opini di Kompas beda dengan di Mojok, di Kompas lebih formal,” ujarnya.
Opini di media massa umumnya melampirkan data, sehingga menjadi tulisan ilmiah populer. “Kajian teori gak ada tapi menggunakan analisis pendapat pribadi,” tutur lulusan Manajemen Universitas Negeri Yogyakarta tersebut.
Kenali Karakter Media
Menurut Agung, media di era digital menyesuaikan karakter pembaca. Dia akui, keputusan membaca artikel di media online ditentukan mata dan jempol. Misal, membuat judul clickbait mendorong orang mengklik atau memilih sebuah artikel yang dia inginkan. “Karena di era sekarang tidak terlepas dari like. Itu mengubah gaya tulisan,” terangnya.
Ketika akan menulis, Agung menegaskan harus tahu akan mengirim ke media online atau cetak. Di media cetak, tidak boleh ada tanda tanya di judulnya. Sedangkan di media online justru tidak boleh menjawab pertanyaan pembaca pada judulnya. Sebab, jempol pembaca diminta mengklik artikel itu.
Apa yang membuat orang tiga detik pertama memutuskan untuk membaca? “Judul dan paragraf pertama harus menarik!” jawab pria kelahiran 23 September itu.
Dulu orang berpikir menulis di media cetak terbatas kolom, jadi sangat terbatas untuk tulisan panjang. Tapi ini tidak membuat menulis di media online bisa berpanjang-panjang.
Ada hal lain yang bikin orang malas membaca di gadget. “Ada hubungannya dengan lelah mata, radiasi, maka karakter di media online (juga) pendek-pendek,” ungkapnya.
Dia mengatakan, tulisan panjang di media online harus kuat secara cerita, agar membuat orang tidak lelah membaca. “Ketika panjang harus punya kekuatan cara bercerita menarik, yang bikin orang terus membaca,” sambungnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni