PWMU.CO – Siti Moendjijah dan Siti Hajinah, pejuang harkat dan martabat kaum perempuan yang lahir dari kampung Kauman, Yogyakarta.
Menurut Widyastuti SS M Hum dari Lembaga Kebudayaan Pimpinan Pusat Aisyiyah, kaum perempuan Kauman saat itu sangat jauh dari anak laki-laki. Mereka dipingit dan hanya boleh keluar untuk mengaji atau belajar di lingkungannya.
Hal itu dia sampaikan dalam Gerakan Subuh Mengaji Aisyiyah Jawa Barat melalui daring yang dipandu Tuti Kusmiati, Ketua Lembaga Kebudayaan PWA Jawa Barat, Ahad (8/8/2021)
Sebagaimana dikatakan Widyastuti, perempuan di Kauman tidak mendapatkan kesempatan belajar seperti halnya laki-laki. “Tidak diperbolehkan nyantri di luar kampung,” tandas Widyastuti.
Ditambahkannya, perempuan Kauman hanya boleh nyantri di dalam kampung kepada kyai-kyai yang memang memiliki langgar-langgar untuk belajar.
“Makanya kaum perempuan Kauman sangat jauh dari anak laki-laki,” papar Widyastuti.
Pernikahan Muda
Pernikahan muda perempuan Kauman di seputaran usia 20 tahun. Ketika Siti Walidah menikah dengan Mohammad Darwis pada usia 17 tahun.
“Perempuan yang sudah menikah hanya memiliki kewajiban mengabdi kepada suami tanpa diperhitungkan hak-haknya,” kata Widyastuti.
Ketika menyinggung Siti Moendjijah yang lahir di Kauman 14 April 1900, dikatakan Widyastuti, generasi Bani Hasyim it7 belajar dengan baik di rumahnya bersama ayahnya Lurah Hasyim Ismail.
“Saat anak-anak perempuan Kauman dipingit, Siti Moendjijah juga belajar pada Kyai Haji Ahmad Dahlan di rumahnya yang berdekatan dengan kediaman keluarga Hasyim,” terang Widyastuti.
Generasi Kedua Perempuan Kauman
Siti Moendjijah merupakan murid langsung Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Siti Walidah lewat kursus-kursus yang dilakukan di rumah Kyai Haji Ahmad Dahlan.
“Makanya, dia dibentuk secara khusus oleh Kyai Ahmad Dahlan untuk menjadi perempuan yang memiliki kemampuan agama,” ujar Widyastuti.
Sehingga, setelah selesai sekolah Diniyah, Siti Moendjijah langsung melanjutkan ke Qismul Arqa yang awalnya dilaksanakan di teras rumah Kyai Ahmad Dahlan.
Karena sering mendampingi Kyai Dahlan menghadiri undangan dakwah di luar kota, bisa dikatakan Siti Moendjijah memiliki kemampuan orasi yang baik. Ketika menghadiri acara Sarekat Islam di Kediri tahun 1921, Siti Moendjijah menjadi satu-satunya perempuan yang bicara dalam rapat tersebut.
Karena memiliki pemikiran yang baik tentang toleransi sehingga Siti Moendjijah sering diundang dalam berbagai pertemuan lintas agama.
Pemikiran Siti Moendjijah adalah perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam memajukan agama Islam. Bagi Siti Moendjijah, kebebasan perempuan itu dibatasi oleh nilai agama dan budayanya. Jadi, bukannya tanpa batasan.
Siti Moendjijah merupakan 1 dari 10 anak muda Kauman yang dididik langsung Kyai Ahmad Dahlan untuk menjadi pendakwah. Makanya, dia selalu menyampaikan soal kewajiban perempuan mengenakan hijab.
Sedangkan Siti Hajinah lahir di Kauman pada 1906. Putri dari HM Nardju, pengusaha batik sukses sekaligus aktivis Muhammadiyah.
Generasi kedua perempuan Kauman yang mulai berkiprah di Aisyiyah sejak 1925 dalam usia 19 tahun, pernah sekolah di Neutraal. Juga di Holland Inlandshe School (HIS) dan Fur Huischound School. Setelah itu mendapat ilmu nonformal dari KHA Dahlan dan Siti Walidah.
“Ketika di Aisyiyah waktu itu menjadi sekretaris mendampingi Siti Walidah yang menjadi President Hoofdbestuur Muhammadiyah Bahagian Aisyiyah,” kata Widyastuti.
Akhirnya, Siti Hajinah jadi Ketua Aisyiyah selama 5 periode tahun 1946-1962. “Dan dia salah satu perempuan yang menggawangi Suara Aisyiyah sejak terbit pertama kali,” papar Widyastuti.
Sebelumnya, menjadi Redaksi Surat Kabar Istri yang diterbitkan Perikatan Perempuan Indonesia yang menginisiasi Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 bersama Nyai Hadjar Dewantara, Ismoedijaji, Badiah dan Sunarjati.
Peduli Pendidikan Perempuan
Dikatakan Widyastuti, Siti Hajinah termasuk perempuan yang mengusulkan pendirian Bibliotheek bagi perempuan dalam Kongres Medan serta menggugah para perempuan untuk membaca dan menulis.
“Dia juga sangat peduli terhadap pendidikan bagi perempuan agar bisa belajar baca tulis,” terang Widyastuti.
Tradisi belajar yang sangat kuat di kalangan kyai atau juragan di Kauman, sangat memengaruhi keseharian Siti Moendjijah dan Siti Hajinah dalam belajar di sekolah formal. Dan semangat tersebut akhirnya membentuk mereka berdua bisa aktif bergerak dan menggerakkan.
Suasana homogen yang ada di Kauman menjadikan mereka berdua bisa fokus dalam bergerak di Aisyiyah. Apalagi adanya pengkaderan yang berjenjang di Kauman menjadi tradisi sejak berdirinya Muhammadiyah.
Karena perannya sehingga terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928 dan pemikiran keduanya dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan, kata Widyastuti, maka keduanya termasuk dalam kategori perintis kemerdekaan.
“Keduanya menyampaikan pemikiran tentang posisi perempuan dalam bidang pendidikan dan pernikahan, termasuk makna dari persatuan,” jelas Widyastuti.
Sampai saat ini belum ada tokoh penggerak Kongres Perempuan Indonesia I yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional. “Padahal kongres itu merupakan tonggak awal bergeraknya perempuan Indonesia secara terorganisasi dalam merebut kemerdekaan negara dan dirinya,” papar Widyastuti. (*)
Penulis Affan Safani Adham Co-Editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni