Hijrah Bukti Islam Butuh Wilayah Muamalah, ditulis oleh Prima Mari Kristanto, akuntan publik berkantor di Surabaya.
PWMU.CO – Hadirnya Rasulullah SAW bersama sahabat di Yatsrib bukan tanpa diundang. Komunikasi dan dakwah kepada sekelompok masyarakat Yatsrib hingga melahirkan peristiwa Baiat Aqabah menunjukkan umat Islam hadir di Yatsrib bukan sebagai pendatang tidak sah.
Sebagian masyarakat Yatsrib yang telah tersentuh dakwah bersedia membukakan jalan untuk meluaskan dakwah Islam menyentuh segala sektor muamalah, bukan hanya sebagai agama ritual ibadah.
Secara bergelombang para sahabat utama hijrah menuju Yatsrib dengan harapan menjadi Muslim kaffah. Di Yatsrib para pendahulu Islam sebagian besar dari suku Quraisy mendapat gelar Muhajirin, berdampingan dengan suku asli Aus dan Kazraj bergelar Anshar setelah keislaman mereka.
Di luar kaum Muhajirin dan Anshar ada banyak suku umat Yahudi, Nasrani juga Aus, Kazraj, dan lain-lain yang belum menjadi Muslim.
Prioritas Masjid
Masjid menjadi prioritas pertama didirikan guna menyatukan umat Islam sebagai tempat ibadah, tarbiyah, dakwah, juga siyasah. Masjid pertama di Yatsrib menjadi bangunan ‘mewah’ mengingat selama di Makkah kegiatan ibadah dan dakwah dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari rumah ke rumah.
Setelah masjid berdiri, berlanjut pembuatan piagam untuk mengikat persatuan, kesatuan, serta kesepakatan masyarakat Muslim dengan yang belum muslim untuk bersama-sama menjaga kota (Madinah).
Piagam Madinah menjadi penanda sejarah tata kelola wilayah yang dihasilkan melalui proses musyawarah antara panguasa dengan masyarakat dari beragam suku, bangsa dan agama.
Piagam Madinah bukti kecerdasan Rasulullah dan sahabat utama menyajikan al-Quran sebagai sumber ide tata kelola masyarakat dan wilayah dengan indah, bukan menyajikan beragam konsep syariah yang memicu masalah.
Selanjutnya penegakan Piagam Madinah tidak mudah, beragam gangguan muncul bergantian dalam bentuk fitnah maupun kekerasan fisik.
Peradaban Islam yang berpusat di Madinah selanjutnya berkembang luas di banyak wilayah jazirah arab dengan proses futuhat (penaklukan) damai atau perang. Futuhat nan damai salah satunya ditunjukkan dalam penaklukan Makkah, Peradaban Islam yang berpusat di Madinah memperlakukan dengan baik para ‘mantan’ musuh, pembenci bahkan pembunuh sahabat awal.
Setelah periode Madinah, pusat peradaban Islam berpindah-pindah dari Damaskus, Baghdad, Cordoba, Isfahan, hingga Istambul. Peradaban yang hari ini diperingati, telah berusia 1443 tahun lamanya.
Perjalanan panjang peradaban agung dengan segala bentuk pasang surut, kejayaan hingga kemundurannya. Tahun Hijriyah sebagai catatan rentang waktu peradaban, sebagaimana peradaban Masehi, Konghucu, dan sebagainya.
Tahun baru Hijriyah sebagai tonggak sejarah peradaban indah, pergantian bulan-bulannya dari Dzulhijjah, Muharam, atau Safar, dari tahun ke tahun sayang jika hanya untuk mengingat kalender ritual ibadah shaum, haji, umrah, qurban dan lain-lain.
Satu Muharam harus bisa menjadi pembangkit ghirah mengulang kembali kejayaan sebuah peradaban yang dimulai dari penguasaan wilayah kota dengan sebuah piagam hasil musyawarah.
Piagam berdasarkan al-Quran dan sunnah yang bisa diterima luas ke sejumlah jazirah dan bermacam daulah. Umur peradaban Islam yang menginjak tahun ke 1443 Hijriyah dan 1399 Masehi terhitung sejak peristiwa hijrah tanggal 21 Juni 622 Masehi akankah mampu menorehkan sejarah kejayaannya kembali di akhir jaman ini dan nanti? allahu’alam bishawab.
Semoga Allah Azza wa Jala ridha menjadikan peradaban Madinah yang indah hadir kembali, peradaban yang mengedepankan musyawarah dan menjunjung tinggi akhlakul karimah, saling menghargai, toleransi di tengah keberagaman perbedaan suku, agama dan bangsa.
Semoga Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa bisa hadir nyata sebagaimana Piagam Madinah yang lahir karena peristiwa hijrah. (*)
Editor Mohammad Nurfaoni