PWMU.CO – Jurnalis Itu Mengedukasi, Ini Rambu-rambunya. Redaktur Pelaksana Majalah Tempo Iwan Kurniawan mengungkapnya pada Sekolah Jurnalistik Vol.1 bertajuk Pelatihan Dasar Jurnalistik dan Penulisan Opini.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Situs Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) menggelarnya secara daring. Pesertanya tidak hanya dari mahasiswa Unair, tapi dari seluruh Indonesia. Sekitar 98 orang hadir dalam Zoom Meeting itu.
Jenis Nara Sumber
Iwan Kurniawan mengatakan ada perbedaan jenis nara sumber yang jurnalis perlu memperhatikan cara mendekatinya. Tiap jenis memberi keterangan informasi berbeda, karena kepentingannya berbeda.
Pertama, korban. Jurnalis tentu butuh menggali cerita korban, tapi tidak bisa memaksa korban menceritakannya begitu saja. Perlu sangat hati-hati, lebih berempati, dan menghargai. “Bagaimana pun, korban perlu dilindungi,” ungkap Iwan pada hari pertama pelatihan, Sabtu (7/8/2021).
Kedua, pelaku. Iwan mengimbau agar wartawan mengantisipasi saat wawancara pelaku. Pada kasus pelaku kriminal, pelaku biasanya tidak takut pada otoritas seperti polisi. Bahkan bisa berbuat apa saja, termasuk pada dirinya sendiri.
Dia lantas mengisahkan pengalamannya saat mewawancarai seorang pembunuh (preman) paling top se-Jawa Tengah. Meski orangnya dingin dan terkesan aneh, menurut Iwan wawancaranya tetap menarik.
Ketiga, saksi. Hanya saja, iwan menekankan perlu verifikasi kebenaran kesaksiannya. “Jangan hanya satu, sebaiknya 2-3, bagusnya 5 (saksi). Gimana verifikasinya kalau cuma satu?” ujarnya.
Keempat, otoritas (pihak yang bertanggung jawab). Seperti pemerintah atau polisi.
Terakhir, pihak terkait, yaitu orang di luar kejadian tapi punya kepentingan yang sama. Misal, ada kecelakaan kerja di gedung X. Meski bukan korban atau saksi, tapi penanggung jawab gedung itu bisa menjadi pihak terkait yang diwawancarai.
Verifikasi
Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada itu memaparkan contoh verifikasi kasus kecelakaan berdasarkan M Mencher M (News Reporting and Writing, 1991). Ternyata, perlu mengajukan tiga pertanyaan sederhana.
Untuk sumber dari saksi, kata dia perlu verifikasi apakah orang itu saksi pertama atau hanya mendengar dari orang lain. “Saksi yang penting itu saksi pertama, melihat langsung peristiwanya,” ujarnya.
Kemudian juga perlu verifikasi apakah orang itu saksi yang kompeten. Misal, dia menyaksikan langsung, tapi hasil verifikasi menunjukkan dia suka berbohong.
Kata Iwan, Mencher juga menyarankan verifikasi dapatkah saksi memberi rincian yang jelas dan konsisten dengan faktanya. Misal, saksi menjawab A ketika polisi bertanya, tapi saat kita bertanya menjawab A1, wartawan lain bertanya jawabannya A2.
Jika tidak konsisten jawabannya, Iwan menilai ada masalah di nara sumber. Menurutnya, tugas jurnalis sebenarnya menjernihkan jika ada masalah seperti ini. Di sinilah pentingnya jumlah saksi yang diwawancarai tidak hanya satu saja.
Jenis Pernyataan
Mengingat pernyataan nara sumber bermacam-macam, Iwan mengenalkan enam jenis pernyataan nara sumber. Pertama, on-the-record. Semua pernyataan yang nara sumber sampaikan boleh dikutip.
Kedua, sebaliknya, off-the-record. Selama apa pun dan semenarik apa pun yang nara sumber ucapkan, jika ujung-ujungnya dia bilang itu off the record, maka tidak satu pun ucapannya bisa dikutip.
Sebab, sebagai jurnalis harus menghormati kepercayaan nara sumber. “Kalau Anda melanggar atau memaksanya, berarti anda sudah melanggar etika jurnalistik!” tegas penulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001) itu.
Ketiga, background. Yaitu pernyataan dari orang yang paham isunya tapi tidak ingin namanya disebutkan. Mungkin dalam posisi terancam juga. Iwan mencontohkan, si A—bagian dari lingkaran penjahat yang kecil—paham keterkaitan si B, C, dan lainnya.
Menurut Iwan, background hanya sebagai bahan informasi awal untuk tahu gambaran besar cerita. Karena tidak bisa mengutip pernyataannya, artinya, untuk bisa menceritakan ini, maka jurnalis tetap harus mencari ke sumber lainnya yang bisa dikutip.
Keempat, unattributable. Menurut Iwan pernyataan ini tidak terlalu penting, karena masih meragukan statusnya on the record atau off the record, tapi kalau jurnalis mengutipnya akan membahayakannya.
Sebaliknya, kalau mengutipnya juga tidak berpengaruh. “Ada baiknya untuk informasi yang masih kabur begini, pastikan ke nara sumbernya boleh dikutip atau tidak,” tuturnya.
Co-founder Yayasan Multimedia Sastra itu menekankan, dalam hubungan jurnalis dan narasumber ada kepercayaan. Saling ketergantungan antara keduanya menciptakan hubungan yang unik dalam jurnalistik.
Karena hubungan unik ini, Iwan menegaskan, “Anda harus dengan jelas menyatakan kepada nara sumber Anda, termasuk kemungkinan ancaman, bahaya, dan dampak lainnya kepada dia!”
Jadi saat wawancara, dia menyarankan untuk membagun hubungan kepercayaan yang jelas dengan nara sumber. Sebab, tidak semua nara sumber menyadari dampak dari pernyataannya di media massa. Jurnalislah yang bertugas mengedukasi. Misal, tidak semua orang tahu kalau namanya disebut bisa terkenal. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni