PWMU.CO – Delapan Perbedaan UN dengan AN. Fasilitator Dit. Penilaian Direktorat SMA Kemendikbud Dikti RI Anim Hadi Susanto MPd menjabarkan dalam Webinar Nasional 2021 bertajuk “Sukses Menyongsong AKM yang Efektif dan Produktif”, Rabu (11/8/21) pagi.
Dalam webinar yang digelar Forum Silaturrahim Kepala Sekolah Muhammadiyah (Foskam) SD-MI Jatim itu hadir Ketua Majelis Dikdasmen PWM Jatim Dr Arbaiyah Yusuf MA. Selain itu, hadir pula Dr Endah Budi Rahaju MPd dari Pusat Studi Literasi Unesa.
Delapan Perbedaan UN dan AN
Anim menegaskan perbedaan AN (asesmen nasional) dengan UN (ujian nasional). Pertama, UN menilai hasil evaluasi belajar siswa pada akhir jengjang. Sementara AN dilaksanakan setahun sebelum anak lulus. Karena andai hasilnya rendah, masih bisa diperbaiki mengingat anaknya masih ada.
Kedua, UN mengukur capaian individu siswa sehingga ada laporan individual siswa (SKHUN). Sedangkan kini, memotret input, proses, dan hasil belajar satuan pendidikan, jadi adanya nilai kelompok berupa laporan satuan pendidikan.
Ketiga, UN pesertanya seluruh siswa di akhir jenjang. Kalau AN, pesertanya siswa kelas V, VIII, IX, guru, dan kepala sekolah.
Keempat, format soalnya berbeda. Di UN hanya berupa pilihan ganda dan isian singkat. Sedangkan di AN ada pilihan ganda (PG) kompleks yang menurutnya perlu belajar dan berlatih bersama mengembangkannya. Ada 3 bentuk, yaitu jawaban yang benar lebih dari satu, 1 true-false, dan lebih dari 1 true-false.
Selain itu, kini ada format soalnya menjodohkan. Di AKM selalu diawali stimulasi yang panjang. Kemudian dibuat dua kolom, untuk mencari pasangannya.
Komposisi Soal
Kelima, komposisi soalnya. Kalau di UN 40 persen pengetahuan dan aplikasi, sedangkan 20 persen penalaran. Kalau di AN cenderung ke aplikasinya (50 persen), sisanya pengetahuan (20 persen) dan penalaran (30 persen).
Anim mencontohkan, “Kalau angka 1 kalkulatornya rusak, apakah itu harus dibuang? Atau dipakai? Kalau dipakai bagaimana? Seharusnya kalkulator itu tidak perlu dibuang, karena angka 1 bisa didapat dengan menghitung 3 dikurangi 2.”
Keenam, ada konteks. Kalau di UN hanya 50 persen yang menggunakan konteks, di AN semuanya diberi konteks. Baik konteks personal, sosial-budaya, maupun sains.
Ketujuh, ada teks yang lebih panjang untuk stimulus soal. Ilustrasi di UN hanya sekitar 2-3 paragraf atau sekitar 100 kata. Hanya 1 teks untuk menjawab 1 soal.
Kalau di AN, panjangnya bergradasi sesuai jenjang kelas. Di kelas XI, panjang teks bisa mencapai 700 kata. Teks disertai ilustrasi dan infografis, dan terdapat soal-soal yang perlu pemahaman multiteks.
“Konsekuensinya, mau tidak mau, bagi anak yang tidak terbiasa membaca, maka dia sudah pusing pada soal keenam. Kalau di AN bisa mencapai 700 kata, itu satu soal!” ungkapnya.
Maka, menurutnya, perlu benar-benar dipikirkan bagaimana memotivasi anak-anak agar gemar membaca. Faktanya, saat ini justru anak-anak cenderung melihat di Youtube. “Bahkan cerita pun tidak mau membaca, tetapi diceritani di Youtube,” ujarnya.
Terakhir, format jawaban. Kalau di UN semua jawabannya tunggal, di AN ada soal dengan jawaban terbuka. Jawabannya bisa sama-sama benar, jika dijawab benar jika alasannya benar, dijawab salah juga akan benar jika alasannya benar. “Mulai membuat soal yang dijawab benar boleh, dijawab salah boleh,” katanya.
Dengan begitu, harapannya, toleransi antaranak bisa bagus, karena sejak kecil sudah paham bahwa yang benar itu tidak hanya satu. Bisa benar dari sisi yang lain, tergantung dari sudut mana dia melihatnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni