PWMU.CO– Ulama Bawean Singapura diungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) virtual yang diadakan Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Sabtu (7/8/2021).
FGD virtual seri ketiga ini terkait penelitian Diaspora Bawean di Asia Tenggara. Tema diskusi kali ini Dakwah Diaspora Bawean di Singapura. Menampilkan tiga narasumber yang ketiganya merupakan Diaspora Bawean di Singapura, yaitu Ustadz Jakfar Embek, Ustadz Muhammad Bahrul Ulum, dan Sundusia Rosdi.
FGD dibuka oleh Dr Abdurakhman, Ketua Departemen Ilmu Sejarah FIB UI. Sedangkan pengantar disampaikan oleh Dr Yon Machmudi, Ketua Tim Peneliti. Peserta berasal dari diaspora Bawean Singapura, tokoh Bawean di Jakarta, Tanjung Pinang, Gresik, dan peserta dari Pulau Bawean.
Ustadz Jakfar Embek pembicara pertama, mengulas posisi Singapura yang sejak dulu menarik disinggahi orang dari nusantara. Pertama, Singapura adalah pusat hubungan lalu lintas barang dagangan sebelum menuju ke negara-negara lain.
Kedua, Singapura adalah tempat transit kapal-kapal haji dari nusantara menuju Makkah. Di masa lalu, transit kapal haji ini bukan dalam bilangan hari atau pekan melainkan bilangan bulan. Antara 3 hingga 6 bulan. Sehingga tidak jarang calon jamaah haji sempat bekerja dulu di Singapura. Bahkan ada pula yang menikah dengan wanita setempat.
”Faktor nomor ini pula yang menjadi sebab banyak orang Bawean berniat pergi berhaji, menjadikan Singapura sebagai tujuan antara untuk menuju Makkah,” katanya.
Ustadz Embek Ali
Menurut Ustadz Jakfar Embek, pada tahun 1930-1940-an banyak ulama Bawean yang menjadi mursyid tarekat di Singapura. Sementara pada tahun 1970-1980-an jumlahnya hanya tinggal 1-2 orang.
Dia juga menceritakan peran ayahnya, yaitu Ustadz Embek Ali yang merupakan salah satu ulama Bawean di Singapura yang terkenal. Embek Ali bukan nama sebenarnya. Nama aslinya Samawi bin Idrus.
Sang kakek, Idrus, orang Bawean keturunan Bugis yang tinggal di Sangkapura, salah satu kota kecamatan di Bawean. Lalu Idrus merantau ke Singapura dan memiliki tujuh anak. Salah satunya adalah Samawi alias Embek Ali yang lahir di Singapura pada Agustus 1929 sebagai anak kelima.
Embek Ali hanya bersekolah di Sekolah Rakyat Agama sampai umur 10 tahun. Setelah itu belajar secara talaqi dan mengabdikan diri sebagai anak angkat Syeikh Syed Abdullah Balfaqeh dari Hadramaut. Syeikh ini mudir Madrasah Al Junied Al Islamiyah hingga awal 1960. Dari madrasah inilah Embek Ali bisa menjadi ulama Bawean di Singapura.
Jakfar menuturkan, awal tahun 1960-an Ustadz Embek Ali bersama dengan Tuan Guru Haji Said Ibrahim, Ustadz Zakaria Wahab, Ustadz Daud Ali, Ustadz Osman Jantan dan ulama lainnya melakukan gerakan pemurnian akidah dari ajaran sesat di kalangan warga muslim Singapura. Ustadz Embek Ali meninggal tahun 2008.
Haji Buang
Narasumber kedua, Ustadz Muhammad Bahrul Ulum menceritakan peran Haji Buang bin Masadin, yang tidak lain adalah ayahnya dalam menjalankan aktivitas dakwah di Singapura.
Haji Buang lahir di Pulau Bawean pada tahun 1930. Merantau ke Singapura saat berusia 18 tahun. Menikah dengan perempuan asal Bawean dari Kampung Teluk Dalam, Kecamatan Sangkapura. Perkawinannya dikaruniai 8 anak yang semuanya tinggal di Singapura. Bahrul Ulum adalah anak kedelapan alias anak bungsu.
Diterangkan, Haji Buang adalah lurah di Kampung Jantai, Singapura. Dia berperan sebagai ketua panitia pembangunan Masjid Omar Salmah, yang sebagian besar dananya berasal dari bantuan keluarga Arab.
Sebagai seorang ulama terkenal di Singapura, dia memiliki pergaulan yang cukup luas. Bahkan dengan Perdana Menteri Singapura saat itu, Lee Kuan Yew, hubungannya sangat dekat. Kedekatan yang tetap dijaga oleh anak Lee Kuan Yew, yaitu Lee Hsien Loong, Perdana Menteri Singapura saat ini.
Dalam acara itu Bahrul sempat menampilkan sebuah foto saat Lee Hsien Loong menyempatkan hadir saat ulang tahun Haji Buang pada 20 Februari 2000. Sementara Lee Kuan Yew bahkan mengabadikan nama Haji Mashhor , nama Haji Buang setelah pulang dari haji sebagai nama jalan di Kampung Jantai.
Haji Buang juga dikenal dekat dengan ulama dari Makkah, yaitu Kiai Zen. Setiap berkunjung ke Singapura, Kiai Zen selalu menginap di rumah Haji Buang. Demikian pula ketika anak Haji Buang, Bahrul Ulum yang kuliah di Kuwait selama 6 tahun, setiap musim haji selalu ke Mekkah, dan setiap kali ke Mekkah, tinggalnya di rumah Kiai Zen.
Tidak hanya dikenal sebagai ulama, Haji Buang juga dikenal sebagai pendekar silat dan ahli pengobatan tradisional. Dia berkawan dekat dengan Basri Alang, seorang pendekar silat terkenal di Singapura.
Amalan Haji Buang yang terus dikenang oleh Bahrul Ulum adalah setiap hari selalu bangun pukul 03.00 untuk shalat tahajud. Kemudian membangunkan seluruh anggota keluarga untuk shalat Subuh berjamaah. Selesai shalat Subuh meneruskan dzikir hingga pukul 07.00. Bahrul menduga, oleh sebab amalannya inilah ayahnya memiliki banyak kelebihan.
Haji Buang juga pernah menjadi Presiden Persatuan Bawean Singapura (PBS) periode 1977 – 1989. Dia wafat tahun 2009 pada usia 79 tahun. Banyak keistimewaan Haji Buang yang diteruskan oleh Bahrul Ulum, yang juga seorang ustadz, pendekar silat, naib (wakil) Presiden PBS, serta pengurus berbagai organisasi lainnya.
Pondhuk Bawean
Pembicara ketiga, Sundusia Rosdi, seorang pustakawan bercerita tentang Pondhuk Bawean atau rumah komunal masyarakat Bawean di Singapura. Jumlahnya mencapai 150 buah. Keberadaan Pondhuk memiliki peran sangat penting dalam menanamkan disiplin dan ketaatan beragama bagi anak-anak Bawean Singapura.
Sundusia menyebut ulama terkenal Singapura berasal Bawean pada masa 1920 hingga 1965. Pada masa itu ada 10 kitab yang ditulis ulama ini dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Bawean, Jawa, dan Melayu. Manuskrip kitab-kitab itu kini tersimpan di Central Public Library Singapura.
Yon Machmudi menjelaskan, penelitian berjudul Diaspora Bawean di Asia Tenggara ini merupakan Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi yang dibiayai oleh Kemendikbud Ristek Republik Indonesia.
Pemilihan Bawean sebagai objek penelitian didasarkan pada realitas masa lalu, bahwa Bawean terkenal di manca negara karena posisi pulau yang strategis ditopang oleh sistem pelayaran yang maju. (Bawean tempo dulu secara rutin dilalui oleh maskapai pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij/KPM, penulis).
Menurut Yon, Bawean juga banyak menghasilkan ulama ternama di perantauan. (Seperti Syekh Muhammad Zainuddin Al Baweani, penggerak nasionalisme ulama nusantara di Makkah, sekitar tahun 1934, penulis).
Ternyata kini perkembangan Pulau Bawean berjalan stagnan dan tidak banyak mengalami perubahan, lanjut Yon. Penelitian ini berusaha mengkaji tradisi merantau masyarakat Bawean dan pengaruhnya bagi masyarakat di Pulau Bawean dan di perantauan.
Menurut Yon, penelitian juga melihat sejauh mana warisan budaya mereka berperan dalam memperkuat eksistensi mereka di perantauan, serta sejauh mana potensi diaspora itu dapat dimanfaatkan untuk memperkuat hubungan dan kerja sama antara Indonesia dan negara-negara tempat perantauan orang Bawean. (*)
Penulis Kemas Saiful Rizal Editor Sugeng Purwanto