PWMU.CO – Pengalaman Spiritual Ary Ginanjar Agustian saat Isoman Covid-19. Motivator itu membagikannya dalam Pengajian Virtual Orbit bertema “Mentalitas Prima Hadapi Covid”, Kamis (12/8/21) malam.
Saat Ary berhaji pada tahun 2013, ada ulama yang bertanya kepadanya, “Kapan saat paling indah yang dialami Nabi Ibrahim?”
Ary jujur mengaku tidak tahu, lalu ulama itu menjawab, “Ketika Nabi Ibrahim dibakar. Karena pada saat Nabi Ibrahim tidak bisa mengadu ke siapa-siapa lagi, dia hanya bisa mengadu kepada Allah.”
Terkena Covid-19, saat Paling Indah
Ary pun teringat ketika dia terkena Covid-19 pada bulan Januari. Saat isoman di kamar, anak-anaknya yang masih kecil tidak berani mendekat. Dengan polosnya, si anak bungsu mengatakan, “Jangan masuk ke kamar Bapak, nanti kita mati semua!” Ary tertawa menceritakannya.
Saat merasa seperti dalam penjara itu, dia memanfaatkan energinya dengan baik. Sehingga ketika kini ditanya kapan saat paling indah dalam hidupnya, dia bisa menjawab ketika terkena Covid-19. Saat sendirian dan suhu tubuhnya mencapai 39-40 derajat, Ary merasakan keindahan yang luar biasa.
Sebab, saat itu dia tidak tahu harus mengadu ke siapa, mengingat istrinya tidak berani masuk ke kamar isoman. Dia hanya terhubung dengan keluarga dan temannya melalui WhatsApp. Saturasinya saat itu hanya 76.
Kendalikan Jiwa dan Pikiran yang Masih Dimiliki
Dalam cuplikan video, Ary mengisahkan kondisinya saat terkena Covid-19. Yaitu golongan menengah menuju ke berat. Golongan menengah ia gambarkan, merasakan serangan virus yang sangat menyakitkan. Berupa demam, segala sakit badan, batuk, dan masih bisa bernapas. Sedangkan golongan berat merasakan sesak napas, sempurna sakitnya.
Dalam kondisi itu, Ary menilai tidak lagi memiliki tubuhnya. “Tubuh kita sudah dimiliki sepenuhnya oleh sang Covid-19. Badanmu demam, matamu berkunang-kunang, kulit serasa terbakar,” ungkapnya.
Lalu apa yang kamu miliki? “Bukan tubuhku lagi, tapi jiwamu! Ya, hanya itu yang bisa kamu kendalikan,” tutur motivator itu.
Kata Ary, kalau gagal mengendalikan pikiran dan jiwa, maka perjalanan diri akan selesai, bahkan lebih buruk lagi.
Yang Perlu Dikuasai saat Terkena Covid-19
Dia pun membagikan tips menguasai mental dan spiritual saat terkena Covid-19 berdasarkan pengalamannya. Pertama, pastikan gelombang otak berada di mode alfa. Gelombang 7-14 Hz yang damai dan tenang.
Dia ‘meringankan’ otaknya dengan melihat konten alam dan perjalanan. “Saya hanya melihat burung-burung, lautan; mendengar dzikir lambat,” kata penulis buku itu.
Kemudian, dia juga mengondisikan otaknya agar ada di gelombang theta (4-8 Hz). Gelombang ini lebih dalam dari gelombang alfa, deep meditation. “Saya mulai berdzikir perlahan, bertafakur mendalam, sampai diri merasa hilang atau fana, di situ kita merasa kebahagian dan kedamaian yang tidak terkira,” ungkapnya.
Dengan begitu, suhu tubuhnya yang semula 38 menjadi 35 derajat. Setelah selesai, Ary mengingatkan agar tidak melanjutkan, tapi segera sadar dan berwudhu. Lalu shalat di sepertiga malam.
“Munajat, taubat! Mungkin selama ini ada hal-hal yang salah. Mungkin ada rasa syukur yang kurang kita sampaikan. Mungkin ada dosa yang kita lakukan,” kata dia.
Hindari Beta dan Gamma
Selain itu, hindari gelombang beta 13-30 Hz yang membuatnya berpikir keras. Dia pernah mencoba rapat 2 jam. Usai rapat, panas tubuhnya naik menjadi 38 derajat. “Ketika otak dipaksa pada gelombang beta, maka kita akan mengalami permasalahan luar biasa,” terang Ary.
Apalagi, lanjut Ary, ketika otak dipaksa di gelombang gamma (32-100 Hz). “Di situ ada panik, bingung, khawatir. Anda membayangkan hal-hal yang seharusnya tidak anda bayangkan,” jelas presiden direktur dari PT Arga Bangun Bangsa itu.
Dia menggunakan strategi mengendalikan gelombang otak ini dengan tidak nonton film, berita, dan konten media sosial yang buruk. “Saya tidak menonton film yang ada kisah seram, pembunuhan, sedih, marah, perang,” ujarnya.
Yang terakhir, baca ayat suci al-Quran. Setelah itu, tarik napas dalam-dalam. Dalam keadaan berwudhu, tidur terlentang dan tersenyum. “Saat itu gelombang otak anda masuk ke delta stage, yaitu 0,5-4 Hz,” terang pria kelahiran Bandung, 24 Maret 1965 itu.
Sebelum tidur, atap tulisan Allah dan Rasul-Nya yang sengaja ia pasang di tembok. Lalu dia mengucap, “I love you Allah, I love you so much!”
Gelombang Destruktif
Berdasarkan riset Dr David Hawkins, Ari memaparkan, gelombang otak kita memiliki energi sendiri. Gelombang otak di bawah 200 Hz bersifat destruktif (merusak). Sedangkan di atas 200 Hz bersifat konstruktif (membangun).
Saat isoman, Ary mengatakan mungkin saja mengalami malu, di mana gelombangnya 20 Hz dan sangat bahaya. Sebab menurut riset, lanjutnya, malu itu satu level di atas mati.
Yang menyedihkan saat isoman, kata dia, ‘diusir’ oleh keluarga sendiri. “Dimasukkan ke dalam kamar, tidak dilihat, dikirimi makanan seperti di penjara. Ini yang justru akan lebih cepat mematikan,” ungkapnya.
Yang termasuk gelombang destruktif juga adalah perasaan bersalah, galombangnya 30 Hz. Ary mengisahkan saat Ibnu Sina meletakkan 2 ekor kambing dan seekor serigala yang dipisah kandangnya. Dalam risetnya itu, 1 kambing bisa lihat serigala, sedangkan satunya tidak.
Beberapa saat kemudian, yang tidak lihat serigala tetap hidup, yang melihat serigala mati padahal tidak diterkam karena ada kandang. Ini menunjukkan dampak emosi ketika di level 20-30 Hz.
Kemudian, Ary mengingatkan ucapan Ibnu Sina, “kegelisahan adalah separuh dari penyakit. Ketenangan adalah separuh dari obat. Kesabaran adalah awal dari kesembuhan.”
Selain itu, ada apatis. Dia menekankan ini berbeda dengan pasrah. Apatis merupakan duka mendalam. “Sedih sekali, lagu Tenda Biru diulang-ulang,” contohnya.
Cinta dunia, ingin pamer, dan dibanggakan (125 Hz) juga termasuk sifat destruktif. Sebab, ketika yang dia banggakan hilang, dia merasa terhina. “Marah akan membuat benci, hasrat membuat cinta dunia, takut membuat gelisah. Ini energi destruktif!” urainya.
Gelombang Konstruktif
“Minimum 200 (Hz), berani!” tegas Ary. Keberanian terkait keteguhan. “Ketika sudah tauhid, laa ilaaha illa Allah, maka kita netral menghadapi apapun! Karena hanya Allah,” sambungnya.
Jika bisa menaikkan gelombang otak lagi, maka sampailah pada ikhlas (300 Hz). Yaitu mampu menerima takdir baik dan buruk dari Allah. Dengan begitu, bisa mengatakan semua yang baik dari Allah. Inilah yang istimewa.
Jika mampu mencapai gelombang di atasnya, maka termasuk cerdas. Ketika tenang, otaknya berpikir. Ary mencontohkan Rasulullah SAW dalam perang Badar dan Uhud yang sangat menekan dan mengancam. Tapi logikanya tetap berjalan, bahkan beliau bisa memberi makan kepada orang yang menyakiti. Emosinya masih positif.
Termasuk juga ketika sedang suka cita (500 Hz), penuh cinta, dan damai. Ini bisa dicapai dengan berdzikir. Ary pun mengingatkan lewat surat ar-Rad (78):
Alladzina amanu watathmainnu qulubuhum bi dzikrillahi ala bi dzikrillahi tathmainnul qulubu. Artinya: ” (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Kemudian jika sampai level atas, merasa tenang, maka memiliki mental yang prima. Di kondisi demikian, menurut Ary eseorang bisa seperti dalam surat al-Fajr ayat 27-30, “Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’i ila rabbiki radhiyatam mardhiyyah Fadkhuli fii ‘ibadi. Wadkhuli janaati.”
Artinya, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhai-Nya), Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”
Orang-orang cerdas seperti Isaac Newton dan Archimedes berhasil menemukan teorinya ketika dalam kondisi tenang. “Itulah mengapa kita shalat 5 waktu, berpuasa, berdzikir, tidak lain membuat posisi otak kita berada pada posisi optimum!” tutur Ary. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni